Ketika seorang pemuda dihantui oleh teka-teki atas hilangnya sang Ayah secara misterius. Bertahun-tahun kemudian ia pun berhasil mengungkap petunjuk dari buku catatan sang Ayah yang menunjuk pada sebuah batu prasasti kuno.
Satrio yang memiliki tekad kuat pun, berniat mengikuti jejak sang Ayah. Ia mulai mencari kepingan petujuk dari beberapa prasasti yang ia temui, hingga membawanya pada sebuah gunung yang paling berbahaya.
Dan buruknya lagi ia justru tersesat di sebuah desa yang tengah didera sebuah kutukan jahat.
Warga yang tak mampu melawan kutukan itu pun memohon agar Satrio mau membantu desanya. Nah! loh? dua literatur berbeda bertemu, Mistis dan Saint? Siapa yang akan menang, ikuti kishanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Deni S, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 20. Jejak 8 ilmuan
Setelah melalui malam yang kelam, Satrio mulai tersadar di sebuah kamar kecil berdinding kayu. Matanya sayu, melirik ke sekeliling dengan penuh tanda tanya. "Di mana, aku?" gumamnya perlahan, masih terhanyut di antara kenyataan dan sisa mimpi.
Ia sadar hari telah berganti, sinar pagi menyusup dari celah-celah jendela kecil, menyoroti perabotan sederhana di dalam ruangan. Samar-samar, terdengar suara beberapa orang tengah berbincang di ruangan sebelah.
"Saya masih tidak percaya, orang asing itu berhasil menyelamatkan Nava."
"Bukankah rumah itu dijaga Mpong dan Mantir?"
"Mereka tak sadarkan diri."
"Begitu juga Ekot, dan kedua orang tua Nava."
"Walau ada tujuh orang terluka dalam kejadian itu. Tapi syukurlah, mahkota Nava tidak sampai direnggut."
"Itulah yang paling penting."
"Kita yang dibesarkan dengan naluri berburu, tetap tak bisa menandingi pemuda itu."
"Betul, Pak Kades. Kita hanya mengandalkan kekuatan dan amarah."
Satrio mengernyitkan alis, sedikit bingung mendengar suara-suara tersebut. "Mengapa ramai sekali di luar sana?" gumamnya, masih merasa lemah.
Suara lainnya terdengar dengan nada getir, "Saya pernah berhadapan dengan kutukan itu. Malam itu, tak ada yang bisa saya lakukan. Jangankan untuk membantu korban, untuk berpaling pun kami tak sempat."
Mendengar kata-kata itu, Satrio teringat sosok pria yang bersamanya malam itu. Rasa penasaran membawanya untuk bangkit, meski masih terhuyung. Dengan susah payah, ia berjalan keluar kamar.
Ketika Satrio muncul di ruang tengah, beberapa orang yang berkumpul di sana langsung tertegun melihatnya. Pandangan mereka beralih kepadanya, seakan tak percaya pemuda itu sudah bisa berdiri setelah malam yang berat.
Balewa segera menyergah langkah Satrio yang masih goyah. “Ageo…," katanya dengan khawatir sambil menopang lengannya. "Kondisimu masih belum pulih, kenapa tidak beristirahat saja?"
Satrio menoleh pelan ke arah Balewa, namun matanya tampak gelisah. "Di mana Ekot? Apakah dia baik-baik saja?"
Pak Kades yang duduk tak jauh darinya menjawab dengan nada penuh harapan. "Dia belum sadarkan diri, mungkin sesaat lagi ia kembali pulih."
Sebelum Satrio sempat berbicara lagi, Pak Janjan bertanya dengan khawatir, "Apa kau terluka, Penjelajah?"
Satrio pun akhirnya menurunkan tubuhnya, duduk di antara mereka. Dengan senyum ramah, ia pun menjawab. "Mungkin aku orang yang paling beruntung. Sejauh ini, Kondisiku baik-baik saja. Aku berharap yang lain pun begitu." ucapnya. Dalam sekejap, matanya melirik lirih pada sebuah jam tangan usang yang tergantung di dinding kayu, seolah-olah ada sesuatu yang mengusik pikirannya.
Dengan nada pelan, ia pun bertanya, "Mungkin hanya Pak Kades yang bisa menjawab pertanyaanku."
Pak Kades menatap dalam ke mata Satrio, menyadari bahwa ada hal penting yang ingin disampaikan pemuda ini. "Apapun itu, Nak," ujar Pak Kades sambil menunggu dengan sabar.
Satrio menarik napas sejenak, lalu menatap lurus pada Pak Kades. "Apa Pak Kades masih mengingat… tentang beberapa orang luar yang datang ke desa ini?"
Pak Kades terdiam sejenak, matanya tampak menerawang jauh seiring lamunan yang seolah membawanya kembali ke masa lalu. Ia melirik ke arah jam tangan usang di dinding, seakan benda itu mengingatkannya pada waktu-waktu kelam yang pernah dilewati. Dengan senyum mendalam, ia akhirnya berkata, "Kumpulan orang-orang baik itu telah menyelamatkan kami dari kematian. Tentu saja aku masih mengingatnya dengan baik."
Satrio menatapnya penuh perhatian, dan Pak Kades menyadari, jika pemuda itu belum puas dengan jawabannya. Ia pun menghela napas panjang sebelum melanjutkan. "Kurang lebih dua puluh tahun lalu. Saat itu, desa kami dilanda penyakit aneh. Rasanya sekujur tubuh kami seperti terbakar, dan buruknya lagi, wabah itu begitu cepat menjalar. Segala upaya sudah kami coba, tapi tak ada satu pun obat tradisional kami yang mampu melawannya. Satu per satu warga kami kehilangan nyawanya. Saat itu kami benar-benar berada di ujung tanduk. Hingga akhirnya orang-orang itu datang membawa keajaiban."
Pak Janjan mengangguk pelan, matanya juga tampak menerawang saat mengenang peristiwa itu. "Saya ingat betul," katanya lirih. "Mereka memberikan ramuan ajaib pada kami, dan setelah itu… tubuh kami berangsur-angsur membaik."
Pak Kades menatap Satrio, ada kekaguman dalam suaranya saat ia melanjutkan. "Mereka adalah pahlawan desa ini. Bukan hanya menyembuhkan kami, tapi setelah kami pulih, mereka juga mengajari banyak hal yang sangat berguna. Ilmu yang mungkin tak akan pernah kami ketahui jika tidak bertemu mereka."
Satrio mendengarkan dalam diam, tubuhnya terasa kaku, namun hatinya tersentuh oleh cerita itu. Matanya mulai berkaca-kaca, menyadari bahwa di balik cerita itu, ada sosok yang selama ini ia rindukan.
Pak Kades terdiam. Alisnya mengerut tipis, saat ia menatap wajah Satrio dengan seksama, seperti berusaha menghubungkan sesuatu yang sudah lama terlupakan. “Tunggu-tunggu, Ageo… Kau mengingatkanku dengan…” gumamnya pelan. Suara Pak Kades terdengar ragu namun sarat akan keingintahuan. Mata tuanya menelusuri setiap detail wajah Satrio, seolah mencari kepastian di sana.
"Terima kasih atas cerita itu Pak Kades," ucap Satrio pelan, membiarkan nada suaranya terdengar tulus tanpa ada petunjuk apa pun. Pandangannya menatap kosong pada jam tangan usang. “Desa ini dan cerita itu. Mungkin tak akan pernah saya lupakan.”
Pak Kades mengangguk, meski tatapannya masih menunjukkan kebingungan. “Kau ini aneh sekali, Ageo. Tatapanmu... entah mengapa seperti membawa kenangan yang telah lama terlupakan. Atau mungkin saya yang sudah terlalu tua untuk mengingat.”
Senyum kagum dan bahagia terpancar dari raut wajah Satrio. Merasa dorongan kuat dalam dirinya, Satrio pun memutuskan untuk segera kembali ke gua leluhur.
"Pak Kades," dengan perlahan ia mencoba bangkit dari duduknya. "Aku harus mencari jawaban atas semua ini. Bolehkah aku kembali ke gua leluhur?"
Balewa dengan cepat menyela, "Ageo! Kau masih dalam keadaan buruk! Tidak untuk hari ini."
Pak Kades mengangguk setuju. "Betul itu, Ageo. Kau butuh memulihkan tenagamu."
Namun Satrio menggeleng pelan, tatapannya menerawang ke luar rumah, seolah ada yang memanggilnya dari kejauhan. "Kita tidak memiliki banyak waktu, Pak Kades," ucapnya pelan namun tegas. "Sebelum matahari tenggelam."
Pak Kades dan Balewa pun terdiam, tak mampu menahan tekad di balik sorot mata Satrio.
Di sela-sela ketegangan itu, beberapa warga mendekat, merebutkan kesempatan mengajak Satrio makan di rumah mereka.
"Penjelajah, sebelum pergi, makanlah di rumahku?" ajak Pak Janjan penuh harap.
"Di rumahku saja!" sela yang lain.
"Aku punya daging terbaik untukmu!" seru seorang ibu yang berdiri di dekat pintu.
Satrio terdiam sejenak, merasa sangat tersentuh dengan kebaikan para warga. Di tengah ketegangan dan misteri yang menyelimuti desa ini, perhatian tulus mereka membangkitkan rasa cintanya pada desa yang mulai dianggapnya rumah.
lanjut nanti yah