Sequel Belenggu Cinta Pria Bayaran.
Dikhianati sang kekasih dan melihat dengan mata kepalanya sendiri wanita yang dia cintai tengah bercinta dengan pria yang tak lain sahabatnya sendiri membuat Mikhail Abercio merasa gagal menjadi laki-laki. Sakit, dendam dan kekacauan dalam batinnya membuat pribadi Mikhail Abercio berubah 180 derajat bahkan sang Mama sudah angkat tangan.
Hingga, semua berubah ketika takdir mempertemukannya dengan gadis belia yang merupakan mahasiswi magang di kantornya. Valenzia Arthaneda, gadis cantik yang baru merasakan sakitnya menjadi dewasa tak punya pilihan lain ketika Mikhail menuntutnya ganti rugi hanya karena hal sepele.
"1 Miliar atau tidur denganku? Kau punya waktu dua hari untuk berpikir." -Mikhail Abercio
----
Plagiat dan pencotek jauh-jauh!! Ingat Azab, terutama konten penulis gamau mikir dan kreator YouTube yang gamodal (Maling naskah, dikasih suara lalu up seolah ini karyanya)
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Desy Puspita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 32 - Tentang Zia
"Kenapa dia bisa begitu, Tante?"
"Entahlah ... sebelumnya Tante yang mau tanya sama kamu, kamu yang lebih mengenal dia."
Untuk kali ini Edgard tidak paham sebabnya, jika memang karena Sera rasanya itu tidak mungkin. Wanita itu sudah lama menghilang dari hidup Mikhail, lagipula menurutnya pria itu sudah sembuh dari luka masa lalu itu.
"Apa dia punya pacar tanpa sepengetahuan kami, Edgard?"
"Rasanya tidak, Tante ... akhir-akhir ini kami memang tidak pernah bertemu, jadi aku juga tidak terlalu paham kehidupannya."
Edrgard menjawab seadanya, karena pada kenyataannya wanita yang sempat dekat dengannya tidak pernah dianggap kekasih oleh Mikhail. Melihat dia yang begini, Edgard membayangkan seberapa banyak wanita yang bersyukur melihat dia terbaring lemah.
"Kamu yakin?"
"Hm, sangat-sangat yakin!"
Kanaya menghela napas perlahan, ponsel Mikhail yang diamankan mati total dan dia tidak bisa memeriksa isinya saat ini. Meski dugaan Ibra ini hanya kecelakaan biasa, namun hati Kanaya berpikir lain.
Tentu ada sebab kenapa putranya bisa begini, dan sebab paling masuk akal hanya tentang wanita. Putranya ini memang sedikit lemah jika berurusan dengan perasaan, hati Mikhail tak sekuat raganya.
Edgard menatap sedih pria itu, meski Mikhail adalah pria menyebalkan yang terkadang tak punya perasaan. Tetap saja, jika sudah begini dia akan khawatir juga.
Hanya bisa meminta agar Kanaya sabar, menguatkan sebagai sahabat Mikhail dan untuk kali pertama Edgard memeluk Kanaya untuk memberikan kekuatan. Semua benar-benar spontan dan dia tidak sadar jika tingkahnya bisa membangunkan macam Asia.
"Astaga, Tante maaf ... untung Om tidak ada di sini."
Kanaya juga yang tenggelam dalam kesedihan lupa keadaan, untung saja suaminya tengah mendampingi Syakil yang kini mulai pulih akibat tubuhnya tidak stabil usai mendonorkan darah pada sang kakak.
Jika Kanaya dan Edgard menjaga Mikhail, lain halnya dengan Ibra. Pria itu tengah berada di ruang rawat putra bungsunya dan kini hanya memandangi interaksi sang putra dengan beberapa sahabat yang mengunjunginya.
Baru dua hari sakit tapi hebohnya luar biasa, pikir Ibra menggeleng kala teman-teman putranya memperlihatkan reaksi yang luar biasa berlebihan. Kedudukan Syakil sebagai presdien mahasiswa dengan ketampanan di luar nalar membuatnya bisa mendapatkan simpati begitu cepat dari banyak orang.
Setelah tadi segerombolan gadis tengil datang dengan membawa oleh-oleh yang membuat kamar terasa penuh, kini giliran teman-teman Syakil yang sebenarnya masuk.
"Zia mana?"
"Zia lagi Zia lagi ... nggak ada Zia di sini, Syakil."
Andai saja tidak ada papanya di sudut sana, mungkin Niko akan menjitak kepala Syakil berkali-kali. Entah sampai kapan dia akan terus mengharapkan gadis itu.
"Gue tanya Zidan, bukan lo Okin!!" sentak Syakil yang kini sepertinya sudah baik-baik saja, sempat menimbulkan tanya Syakil memang sakit atau pura-pura.
"Ditanya tuh sama pengagum rahasia cewek lo, Zia dimana?" Niko menggerakkan alis seraya bertanya pada Zidan yang sejak tadi hanya diam tanpa suara.
"Ah? Zia ... nggak tau, gue putus sama Zia."
"Hah?!"
Tidak hanya satu, tapi seluruhnya bahkan Ibra turut menoleh kala pengakuan Zidan terdengar begitu jelasnya. Seru sekali sepertinya pembahasan anak muda, pikir Ibra.
"Lo serius? Becanda nggak?" tanya Niko ragu, rasanya tidak mungkin pasangan ter-sweet sekampus ini kandas sebelum wisuda.
"Gue serius."
"Alasannya apa? Kurang perhatian kali lo," tebak Niko asal sebut, padahal saat ini Zidan bahkan begitu sulit mengutarakannya.
"Udah nggak cocok aja, Zia mungkin lebih nyaman sendiri sementara gue juga pengen sendiri."
Apapun sebabnya, seburuk apapun Zia padanya Zidan takkan sama sekali mengatakan alasan hubungannya retak. Dia menyayangi Zia lahir dan batin, kalaupun putus itu takkan menjadikan alasan Zidan menghilangkan Zia dalam hidupnya.
"Nggak yakin gue, pasti ada sebabnya lah ... lo selingkuh ya?"
Zidan menggeleng, dia memang bukan tipe pria yang suka bercanda dan banyak bicara. Lagipula jika dia terus menjawab takutnya lidahnya tak sengaja mengatakan apa yang tidak boleh disampaikan.
"Lo nggak nyakitin dia kan, Zidan?" tanya Syakil menatap tajam Zidan, sejak tadi dia menelisik gelagat temannya itu.
"Aneh lo, dia cewek gue ... ngapain gue sakitin."
Syakil terdiam, ini harusnya berita baik. Namun entah kenapa hatinya justeu merasa semakin tak baik-baik saja setelah mendengarnya. Suasana yang tadinya sedikit hangat, mendadak dingin seolah-olah turut berduka dengan kandasnya hubungan Zia dan Zidan.
-
.
.
.
Kehidupan berjalan sebagaimana mestinya, praktik kerja lapangan yang mereka jalani akhirnya usai kini. Kembali pada kehidupan kampus dengan meninggalkan perusahaan dalam keadaan yang tidak baik-baik saja. Kecelakaan yang dialami Mikhail bahkan tersebar ke media, dan itu menciptakan banyak pertanyaan dalam benak Erika terkait hilangnya Zia.
Erika memandang kursi sebelahnya, berharap dia akan bertemu dengan Zia di sini. Ricko tidak tahu kemana sang kakak, sementara Erika tak punya siapa-siapa yang bisa dia hubungi untuk mencari keberadaan Zia.
"Kamu kemana sih, nggak takut ngulang tahun depan, Zia?"
Baru saja merasa tenang kala kehidupan sahabatnya sedikit lebih baik, kini Erika kembali dibuat bingung dengan apa yang terjadi.
Zidan bukan lagi bagian hidup Zia, itu artinya percuma saja dia bertanya mau bagaimanapun jawaban Zidan akan sama. Dia tidak mengetahui apapun tentang Zia lagi, ada sedikit kekecewaan kala Zidan berkata enggan ikut campur kehidupan Zia.
"Zidan, kamu kenapa santai banget dia hilang begini?" Erika frustasi sembari menatap kesal Zidan yang kini fokus dengan ponselnya.
"Itu pilihan Zia, aku nggak punya hak lagi, Erika."
Tidak ada senyuman di sana, Zidan benar-benar kehilangan dirinya. Perubahan mereka sukses membuat Erika sakit kepala.
"Kamu benar-benar melepas dia? Nggak khawatir Syakil gantiin kamu dalam hidup Zia?" tanya Erika dengan alisnya yang kini menajam, kesal luar biasa ketika Zidan memang benar-benar tampak biasa.
"Zia nggak akan pernah menerima siapapun dalam hidupnya, kalaupun Syakil berhasil menggantikanku ya nggak masalah! Syakil sepertinya kaya juga."
Zidan menarik sudut bibirnya tipis, ada sejuta kekecewaaan dalam diri pria yang kini menggunakan hodie putih itu. Dia sejenak berhenti dengan ponselnya, memasukkan ke saku celana dan memejamkan mata demi bisa menerima pahitnya kenyataan yang harus dia terima.
"Maksud kamu apa?!"
"Hahaha nggak ada, aku bercanda." Zidan tertawa sumbang kemudian beranjak dari tempat duduknya, sebenarnya mata kuliah mereka sudah selesai tadi. Namun, keduanya masih tetap di kelas dengan alasan yang sama.
"Kaya?"
Semakin kuat keyakinannya, wajar saja Mikhail mencari Zia sebelum kecelakaan itu terjadi. Sebab putusnya Zidan dan Zia perlahan bisa dia simpulkan, pihak ketiga dengan dugaan kuat karena uang.
"Kamu kenapa sebodoh itu, Valenzia."
Tbc