Ketika cinta hadir di antara dua hati yang berbeda keyakinan, ia mengajarkan kita untuk saling memahami, bukan memaksakan. Cinta sejati bukan tentang menyeragamkan, tetapi tentang saling merangkul perbedaan. Jika cinta itu tulus, ia akan menemukan caranya sendiri, meski keyakinan kita tak selalu sejalan. Pada akhirnya, cinta mengajarkan bahwa kasih sayang dan pengertian lebih kuat daripada perbedaan yang ada.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Faustina Maretta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kecelakaan
Arman melangkah dengan mantap memasuki kantor Tama. Dia mengedarkan pandangannya ke sekeliling, merasakan suasana yang asing namun akrab baginya. Arman jarang datang ke tempat kerja anaknya, tetapi hari ini ada sesuatu yang berbeda. Sesuatu yang harus diselesaikan.
Tama, yang sedang sibuk dengan laporan di mejanya, terkejut saat melihat sosok ayahnya berdiri di ambang pintu.
"Ayah?" ucapnya heran, tidak menyangka pria itu akan datang tanpa pemberitahuan.
"Bagaimana kabarmu, Nak?" tanya Arman, suaranya terdengar lebih lembut daripada biasanya. Tama hanya mengangguk, sedikit bingung dengan perubahan sikap ayahnya yang biasanya keras dan penuh tuntutan.
Arman duduk di kursi di depan meja Tama, menarik napas panjang. "Kamu tahu, aku sudah memikirkan banyak hal belakangan ini. Tentang kamu, tentang Freya ...," Ia terdiam sejenak, seolah mencari kata-kata yang tepat. "Ayah tahu, selama ini Ayah terlalu memaksakan kehendak. Ayah ingin yang terbaik untukmu, tapi mungkin Ayah lupa bahwa kebahagiaanmu adalah yang paling penting."
Tama menatap ayahnya dengan mata terbelalak, tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. "Apa maksud Ayah?"
Arman menatap Tama dengan mata yang tak lagi dipenuhi dengan ambisi dan ego, tetapi dengan kasih sayang seorang ayah yang akhirnya mengerti. "Jika Freya yang membuatmu bahagia, maka bawa dia ke rumah. Ayah ingin bertemu dengannya. Ayah ingin memberikan restu untuk kalian berdua."
Tama merasa seolah beban besar yang selama ini menyesakkan dadanya hilang dalam sekejap. "Ayah... terima kasih," ucapnya lirih, suaranya bergetar. Air mata hampir jatuh dari matanya, namun ia menahannya, tidak ingin menunjukkan kelemahan di hadapan ayahnya.
Arman mengangguk pelan. "Ayah minta maaf karena sudah terlalu lama menahanmu. Mungkin sudah saatnya Ayah belajar bahwa kamu sudah dewasa, dan berhak menentukan hidupmu sendiri."
Tama berdiri dan menghampiri ayahnya, memeluknya erat. Ini adalah momen yang selama ini ia harapkan, momen di mana ayahnya bisa menerima pilihannya tanpa syarat. "Aku sangat berterima kasih, Ayah. Aku tidak bisa menjelaskan betapa bersyukurnya aku."
Arman menepuk-nepuk punggung Tama, seolah memberi dukungan penuh. "Bawa Freya ke rumah, Nak. Kita akan menyambutnya sebagai bagian dari keluarga kita."
Dengan senyum lebar di wajahnya, Tama merasakan hatinya dipenuhi rasa syukur. Dia tidak sabar untuk menghubungi Freya dan memberitahunya tentang berita baik ini. Dia tahu, ini adalah awal dari bab baru dalam hidup mereka, dan semuanya akan berjalan jauh lebih baik dari sebelumnya.
***
Freya sedang duduk di depan laptopnya, mengetik cepat, terbenam dalam pekerjaannya. Suasana di apartemennya tenang, hanya suara ketikan dan detak jam yang terdengar. Tiba-tiba, ponselnya berdering, menampilkan nama yang sudah sangat dikenalnya, Tama.
"Sayang?" Freya mengangkat teleponnya dengan sedikit heran. Biasanya, Tama tidak menelepon di tengah hari seperti ini.
“Hei, Freya,” suara Tama terdengar lebih ceria dari biasanya. “Aku punya kabar bagus.”
Freya merasa jantungnya berdetak lebih cepat. “Kabar bagus apa?” tanyanya penuh rasa ingin tahu.
Tama menarik napas sebelum berkata, “Aku baru saja bicara dengan Ayah. Mereka sudah menerima kita, Sayang. Ayah bilang, aku bisa membawamu ke rumah, dan mereka ingin bertemu denganmu.”
Freya terdiam sejenak, mencoba mencerna apa yang baru saja dia dengar. Matanya perlahan berkaca-kaca, bibirnya mengembang membentuk senyuman bahagia. “Tama ... benarkah?” tanyanya, suaranya sedikit gemetar.
“Benar,” jawab Tama dengan nada penuh kepastian. “Kita bisa bersama tanpa ada halangan lagi. Orang tuaku ingin bertemu denganmu sebagai bagian dari keluarga.”
Freya tidak bisa menahan rasa syukurnya. “Alhamdulillah,” bisiknya, bersyukur kepada Tuhan atas jawaban dari doanya selama ini. “Aku sangat bahagia, Tama. Terima kasih sudah memperjuangkan kita.”
“Kamu layak mendapatkannya,” jawab Tama lembut. "Aku juga sangat bersyukur, Freya."
Dengan senyum yang tidak pernah hilang dari wajahnya, Freya merasakan hati yang penuh dengan kebahagiaan dan cinta. Ini adalah hari yang selalu dia nantikan, dan kini kebahagiaan itu datang padanya.
Malam harinya, Tama dan Freya berangkat menuju rumah orang tua Tama dengan rasa campur aduk. Freya berusaha menenangkan dirinya, sementara Tama terlihat bersemangat. Mereka berdua tahu bahwa pertemuan ini sangat penting untuk hubungan mereka.
Setibanya di rumah, mereka disambut oleh Arman dan Rini yang sudah menunggu. Rini segera menghampiri mereka dengan senyuman lebar. "Tama! Freya! Selamat datang!" ia memeluk keduanya, kebahagiaan terpancar dari wajahnya.
“Terima kasih, Bu,” jawab Freya dengan tulus. Rini melepaskan pelukannya dan memandang Freya dengan penuh kasih.
"Cantik sekali, Nak Freya. Pantas Tama tergila-gila sama kamu," Rini menanyakan sambil tertawa lembut, matanya berkilau dengan kebahagiaan.
Freya tersenyum malu. “Terima kasih, Bu.”
Setelah mereka masuk ke dalam, suasana menjadi semakin hangat. Rini dengan antusias mulai bercerita tentang masa kecil Tama, bagaimana Tama selalu menjadi anak yang ceria dan penuh energi. Tama, yang duduk di samping Freya, ikut tertawa mendengarkan cerita-cerita itu.
“Melihat kalian berdua membuat Ibu sangat bahagia,” kata Rini sambil memandang mereka dengan penuh kasih sayang. “Kemesraan kalian terlihat jelas. Ibu berharap kalian bisa selalu saling mendukung dan mencintai satu sama lain.”
Tama dan Freya saling berpandangan, tersenyum dengan rasa syukur yang mendalam. Mereka merasa diterima dan dicintai oleh orang tua Tama, yang kini mulai melihat betapa pentingnya hubungan mereka.
Malam itu, mereka menghabiskan waktu bersama, berbagi cerita dan tawa. Freya merasakan kehangatan dalam keluarga ini, dan dia tahu bahwa ini adalah langkah awal dari perjalanan indah yang akan mereka jalani bersama.
***
Setelah makan malam yang hangat bersama keluarga Tama, Freya merasa tenang dan bahagia. Semua ketakutannya sebelumnya lenyap, digantikan oleh rasa syukur dan cinta. Tama, seperti biasa, mengantarnya pulang. Malam itu, bintang-bintang bersinar terang, menambah keindahan suasana hati Freya.
Di dalam mobil, Freya masih tersenyum, tangannya menggenggam erat jemari Tama. "Aku nggak nyangka semua ini bisa terjadi, Sayang. Rasanya seperti mimpi," ucap Freya dengan suara lembut.
Tama melirik Freya, sambil tetap fokus pada jalanan. "Aku sudah bilang, semuanya akan baik-baik saja, kan? Sekarang, kamu resmi jadi bagian dari hidupku dan keluargaku."
Mereka tertawa kecil, menikmati momen kebahagiaan itu. Namun, tiba-tiba, dari kejauhan terlihat lampu depan yang menyilaukan. Sebuah truk besar melaju dengan kecepatan tinggi di arah berlawanan, mendekat dengan sangat cepat. Mata Tama membelalak. "Freya, pegang erat!" serunya sambil mencoba mengendalikan mobilnya.
Freya menjerit saat truk itu melaju ke arah mereka. Dalam hitungan detik, bunyi benturan keras terdengar memecah keheningan malam. Truk itu menghantam sisi mobil Tama dengan kuat, membuat mobil mereka terpental ke sisi jalan.
Segala sesuatu terjadi begitu cepat. Freya merasa tubuhnya terhempas, diikuti oleh suara kaca pecah dan logam berderit. Kepalanya membentur sesuatu, membuat pandangannya kabur. Ada suara klakson yang panjang, dan rasa sakit yang mulai menjalar ke seluruh tubuhnya.
Saat semuanya hening, Tama membuka matanya perlahan. Dia merasa pusing dan kesulitan untuk bergerak. "Freya..." bisiknya, suaranya hampir tak terdengar. Kepalanya menoleh ke sisi tempat Freya duduk, dan ia melihat wajah kekasihnya mengalir darah dari dahinya.
"Sayang ..." Tama mencoba meraih tangan Freya, tapi tubuhnya terlalu lemah. Air mata mulai mengalir di wajahnya, rasa panik dan takut mulai merasuk. "Jangan tinggalkan aku ..." isaknya.
Lampu truk yang rusak menerangi tempat kejadian, dan suara sirene dari jauh mulai terdengar. Tama tahu bantuan sedang menuju, tetapi saat ini yang terpenting baginya hanyalah keadaan Freya dan apakah dia akan baik-baik saja.