Kirana, seorang wanita lembut dan penyabar, merelakan hidupnya untuk menjadi istri dari Dion, pria pilihannya. Namun, kebahagiaan yang diharapkan tak kunjung datang. Sejak awal pernikahan, Kirana dibayangi oleh sosok mertuanya, seorang wanita yang keras kepala dan suka mengontrol. Mertuanya tak pernah menganggap Kirana sebagai bagian dari keluarga, selalu merendahkan dan mencampuri setiap keputusan Kirana.
Kirana merasa seperti boneka yang diatur oleh mertuanya. Setiap pendapatnya diabaikan, keputusannya selalu ditolak, dan kehidupannya diatur sesuai keinginan sang mertua. Dion suaminya, tak pernah membela Kirana. Ia terlalu takut pada ibunya dan selalu menuruti segala permintaan sang ibu. Ditengah konflik batinnya, akankah Kirana kuat mengarungi bahtera rumah tangganya? Atau akhirnya ia menyerah dan memilih berpisah dengan suaminya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon rose.rossie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 32
Ketegangan dalam ruangan itu begitu pekat hingga nyaris bisa kurasakan. Andi menarikku lebih dekat ke arah sudut tersembunyi, sementara aku memegang erat lengannya, mencoba meredam getaran di tubuhku. Dion berdiri di ambang pintu, suaranya yang tenang dan berbahaya membuat seluruh bulu kudukku meremang.
"Kukira kau cukup pintar untuk menyadari ini, Kirana," suara Dion menggema, seolah berbicara langsung ke arahku meskipun matanya masih menyapu seluruh ruangan. "Kau bisa berlari, tapi aku selalu tahu di mana mencarimu."
Aku menahan napas, takut suara sekecil apa pun akan mengungkap keberadaan kami. Andi melirik ke arahku, isyarat dari matanya mengingatkan untuk tetap tenang. Namun, bayangan Dion yang mendekat perlahan membuat darahku serasa membeku. Aku hanya bisa berharap Dion tidak melihat kami di balik tumpukan kotak yang menumpuk di sudut.
"Jangan buat aku bermain-main lebih lama, Kirana," lanjut Dion, kini dengan suara lebih keras. "Aku tidak keberatan membereskan masalah ini... dengan cara yang sedikit berantakan."
Andi menarik napas dalam, lalu berbisik pelan di telingaku, "Kita harus keluar dari sini. Saat dia bergerak lebih jauh ke dalam ruangan, aku akan berusaha menarik perhatian. Kamu lari ke arah mobil dan langsung pergi, mengerti?"
Aku merasakan desakan Andi yang mendesak untuk menyetujui rencananya, namun ketakutan menyelimuti pikiranku. Meninggalkannya untuk menghadapi Dion sendirian terasa seperti keputusan yang kejam. Tapi aku tahu, menentang Andi hanya akan membuat situasi ini makin berbahaya.
Aku menggenggam tangannya erat, menatap dalam matanya dengan harapan bisa meyakinkannya agar tidak melakukan sesuatu yang terlalu gegabah. "Andi, jangan lakukan ini. Kita bisa pergi bersama," bisikku, namun Andi hanya mengangguk pelan, seolah tahu betapa sulitnya bagiku untuk mematuhi permintaannya.
"Kirana," suaranya lembut namun tegas. "Percayalah padaku."
Langkah Dion makin mendekat. Andi memberi isyarat terakhir untuk bersiap. Aku menguatkan diri, mengatur napas, bersiap mengikuti rencana yang sangat berisiko ini. Dion tampak lengah, mengira tempat persembunyian kami ada di sisi ruangan lain.
Saat Dion berpaling, Andi melompat keluar dari balik kotak, bergerak cepat ke sisi lain ruangan untuk menarik perhatiannya. "Dion!" teriaknya, suara yang lantang bergema di ruangan kosong itu. Dion langsung berbalik, matanya menyala penuh kebencian.
"Akhirnya muncul juga," ejek Dion, sambil melangkah dengan langkah mantap ke arah Andi.
Seketika itu, aku memanfaatkan kesempatan. Aku merangkak cepat keluar dari balik kotak dan langsung berlari menuju pintu belakang yang telah kami buka sedikit tadi. Langkah-langkahku pelan namun pasti, berharap tak terdengar. Napasku sesak, namun aku terus berjalan, menjauh dari ketegangan yang mendidih di ruangan itu.
Saat aku mencapai pintu belakang, aku menoleh sejenak dan melihat Andi berdiri tegak di hadapan Dion, kedua tangan terkepal di sisi tubuhnya, siap menghadapi segala kemungkinan. Rasanya bagai mimpi buruk. Aku ingin berteriak, menyuruhnya untuk mundur, tapi aku tahu suara sekecil apa pun bisa membuat rencana ini berantakan.
Aku membuka pintu sedikit lebih lebar dan melangkah keluar, langsung menuju ke mobil yang terparkir di balik pepohonan. Namun, saat aku hampir sampai, suara benturan keras terdengar dari dalam bangunan. Hatiku mencelos, ingin sekali berbalik dan kembali untuk memastikan Andi baik-baik saja. Tapi janji yang kubuat pada Andi membuat kakiku tetap melangkah.
Begitu sampai di mobil, tanganku gemetar saat memasukkan kunci dan menyalakan mesin. Namun, sebelum sempat melaju pergi, aku melihat sosok Dion berdiri di pintu belakang, matanya tajam menatapku. Tubuh Andi tak terlihat di belakangnya.
Aku menelan ludah, mencoba mengendalikan diri. Tidak ada tanda-tanda perlawanan dari Andi, dan ketakutan terburuk mulai merayapi pikiranku.
Dion tersenyum tipis, senyum yang mengancam, dan berjalan mendekat ke arahku, seperti pemburu yang tahu mangsanya terjebak. Aku menginjak pedal gas, namun kakiku terasa gemetar. Pikiran berkecamuk, antara pergi atau kembali dan mencoba menyelamatkan Andi.
Dion berdiri tepat di depan mobil, tangannya menunjuk ke arahku seolah memperingatkan. "Kirana," panggilnya tenang namun menyeramkan. "Kau takkan pernah benar-benar bisa lari dariku."
Aku menatapnya dari balik kaca depan, tubuhku diliputi ketakutan dan marah yang bertumpuk. Satu sisi ingin segera melaju pergi, sementara sisi lainnya mengingatkan bahwa Andi masih ada di dalam sana.
Ketika Dion bergerak mendekat, seakan dia tahu aku masih ragu, suara samar terdengar dari samping mobil. Aku melirik sekilas, mendapati Andi muncul dengan goyah dari arah samping bangunan. Wajahnya sedikit terluka, tapi matanya bersinar penuh tekad.
"Pergi sekarang, Kirana!" teriak Andi dengan suara yang lebih kuat dari sebelumnya. "Jangan biarkan dia mendapatkanmu!"
Itu adalah dorongan yang kubutuhkan. Tanpa ragu lagi, aku menekan pedal gas sekuat tenaga, mobil melaju dengan cepat meninggalkan Dion dan Andi di belakang. Dari kaca spion, aku melihat Dion berlari menuju Andi, namun Andi tetap tegak berdiri, menghadang jalannya.
Tanganku mencengkeram setir erat, air mata mulai mengaburkan pandanganku saat melaju menjauh dari tempat itu. Pikiranku dipenuhi dengan kekhawatiran akan keadaan Andi. Namun, aku tahu, jika aku tetap tinggal, Dion akan mendapatkan apa yang ia inginkan – dan itu akan menghancurkan kami berdua.
Perasaan bersalah dan ketakutan mengalir deras, namun aku terus melaju, jauh dari bayang-bayang Dion. Aku tahu, ini bukan akhir dari semua ini. Dion takkan berhenti sampai dia puas, sampai dia melihatku menderita.
Dengan pandangan terakhir di kaca spion, bayangan Andi perlahan memudar di tengah hutan. Kegelapan mulai menyelimuti, dan aku hanya bisa berharap Andi baik-baik saja, meskipun hatiku terus bergejolak.