Buku ini adalah lanjutan dari buku Tabib Kelana.
Menceritakan perjalanan hidup Mumu yang mengabadikan hidupnya untuk menolong sesama dengan ilmu pengobatannya yang unik.
Setelah menikah dengan Erna akan kah rumah tangga mereka akan bahagia tanpa ada onak dan duri dalam membangun mahligai rumah tangga?
Bagai mana dengan Wulan? Apa kah dia tetap akan menjauh dari Mumu?
Bagai mana dengan kehadiran Purnama? Akan kah dia mempengaruhi kehidupan rumah tangga Mumu.
Banyak orang yang tidak senang dengan Mumu karena dia suka menolong orang lain baik menggunakan ilmu pengobatannya atau menggunakan tinjunya.
Mumu sering diserang baik secara langsung mau pun tidak langsung. Baik menggunakan fisik, jabatan dan kekuasaan mau pun melalui serangan ilmu yang tak kasat mata.
Akan kah hal tersebut membuat Mumu berputus asa dalam menolong orang yang membutuhkan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Muhammad Ali, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kambing Hitam
Mumu baru saja hendak melakukan teleportasi ketika suara seseorang memanggilnya, menghentikan niatnya.
"Dokter Mumu, tunggu!" Panggil sang perawat dengan napas tersengal-sengal.
"Ada apa, Sus?" Tanya Mumu dengan nada datar, berusaha kelihatan tenang meskipun dalam hatinya sudah dilanda kegelisahan.
"Ada pasien kritis di IGD, Dok. Dokter Santoso minta bantuan Anda. Barusan beliau nelpon, tapi nomor Bapak sedang sibuk." Ujar sang perawat dengan nada memohon, matanya berkaca-kaca, mencerminkan urgensi situasi.
"Maaf, Sus. Saya ada keperluan mendesak. Jika sudah selesai nanti, saya ke sini lagi."
Mumu merisaukan keadaan Erna. Ia ingin cepat-cepat memeriksa keadaannya.
Bagai mana pun juga dia sedang mengandung dan kondisinya jelas agak rawan.
Perawat itu tampak terkejut.
"Tapi, Dok... pasiennya sangat kritis. Saya mohon, Dok..."
Mumu menghela napas panjang. "Minta tolong dokter yang lain dulu, ya, Sus. Permisi."
Sebelum perawat itu sempat membalas, Mumu segera beranjak ke tempat yang lebih sepi. Dalam hitungan detik, ia melakukan teleportasi, menghilang dari sana.
...****************...
Sementara itu, di tempat lain, setengah jam setelah penolakan Mumu tadi, suasana di ruang pimpinan Rumah Sakit sedang panas.
Dokter Santoso berdiri di hadapan pimpinan dengan wajah tegang. Di sebelahnya, seorang perawat tampak gelisah, terus-menerus melihat jam di pergelangan tangannya.
"Bagaimana ini, Pak?" Kata Dokter Santoso, suaranya serak.
"Dokter Mumu menolak saat saya meminta bantuannya. Pasien sudah dalam kondisi sangat kritis. Saya... saya tidak tahu harus bagai mana lagi."
Pimpinan Rumah Sakit, seorang pria paruh baya dengan wajah keras, duduk di kursinya dengan kedua tangan bertaut di atas meja.
"Dokter Santoso, ini masalah serius. Pasien itu berasal dari keluarga terpandang. Jika kita tidak berhasil menanganinya, Rumah Sakit ini bisa menghadapi tuntutan besar."
"Keluarganya sudah sangat marah, Pak." Tambah perawat yang menemani dokter Santoso.
"Mereka terus bertanya kapan penanganan dari dokter spesialis akan datang. Saya sudah berusaha menghubungi semua dokter lain, beberapa dari mereka sudah mulai menangani tapi tidak ada yang berhasil."
Pimpinan Rumah Sakit mengerutkan kening.
"Kita tidak bisa membiarkan ini terjadi. Apa yang terjadi dengan dokter Mumu? Dia biasanya selalu siap sedia saat ada keadaan darurat."
Dokter Santoso menghela napas berat.
"Saya juga tidak tahu, Pak. Ketika saya coba hubungi, perawat melaporkan bahwa Dokter Mumu mengatakan dia punya keperluan mendesak. Saya... tidak bisa memaksa lebih jauh."
Pimpinan itu memandang dokter Santoso dengan tajam.
"Mengapa dokter tidak memaksanya? Seharusnya dokter Mumu mengutamakan kondisi pasien dari pada urusan lain."
"Saya… saya tak berani, Pak." Ujar Dokter Santoso akhirnya, suaranya nyaris berbisik.
"Status Dokter Mumu di sini agak istimewa. Saya rasa tidak adil jika saya mengambil tindakan ini."
Pimpinan Rumah Sakit mengernyitkan dahi, ekspresi kesal tampak jelas di wajahnya.
"Tidak ada perbedaan status di sini, Dokter Santoso. Semua dokter memiliki tanggung jawab yang sama."
"Jika dokter Mumu tidak datang juga, maka biarkan saja pihak keluarga pasien menyalahkannya. Dia yang menolak datang, dia yang harus bertanggung jawab."
Dokter Santoso membuka mulut hendak membalas, tapi tertahan.
Dia tahu ada sesuatu yang lebih dari sekadar formalitas di balik absennya dokter Mumu.
Namun, alasan pribadi atau urusan lain yang tidak diketahui banyak orang tetap tidak bisa menjadi pembenaran dalam situasi seperti ini. Ia menelan ludah, rasa bersalah mulai menyelubungi pikirannya.
"Bagaimana mungkin, Pak?" Sela perawat tadi dengan nekad.
"Status Dokter Mumu di sini kan hanya membantu kita. Dia bukan bagian dari tim inti di IGD. Bagaimana bisa dia dikambinghitamkan jika ada yang salah? Apakah itu adil?"
Pimpinan Rumah Sakit mengalihkan pandangan tajamnya ke perawat itu, membuatnya terdiam.
"Jadi, kalau begitu, kamu yang ingin dituntut oleh keluarga pasien yang terpandang itu?" Tanya dia dengan dingin.
"Karena itulah yang akan terjadi kalau kita tidak berhasil menangani pasien ini. Keluarga mereka sudah menunjukkan tanda-tanda akan membawa masalah ini ke ranah hukum. Dan jika tuntutan itu datang, siapa yang bertanggung jawab? Kamu? Dokter Santoso?"
Seketika, suasana ruangan menjadi lebih sunyi. Semua orang terdiam, saling bertukar pandang dengan raut wajah penuh kecemasan.
Tidak ada yang berani membantah Pimpinan Rumah Sakit. Mereka semua tahu bahwa keluarga pasien tersebut memiliki pengaruh besar, dan jika masalah ini berakhir di pengadilan, bisa dipastikan reputasi Rumah Sakit akan runtuh. Apalagi jika nyawa pasien tidak terselamatkan.
"Ini situasi yang sulit, Pak. Saya mengerti posisi Bapak, tapi jika kita menyalahkan dokter Mumu tanpa memahaminya, apakah itu tidak akan menciptakan masalah baru? Bagaimana jika dia punya alasan kuat untuk absen kali ini?"
Pimpinan rumah sakit mendesah keras.
"Kita tidak dalam posisi untuk memahami alasan pribadi saat ini. Pasien sudah dalam kondisi kritis. Jika dokter Mumu tidak bisa memenuhi tugasnya, maka dia harus siap menerima konsekuensi. Kita tidak bisa mengambil risiko disalahkan oleh keluarga yang berpengaruh ini. Dokter Mumu harus bertanggung jawab."
Rasa frustrasi tampak jelas di wajah setiap orang di ruangan itu. Mereka semua tahu bahwa menyalahkan dokter Mumu bukanlah solusi yang ideal, tetapi juga tidak ada yang bersedia mengambil risiko menanggung tanggung jawab penuh atas kegagalan dalam penanganan pasien kritis ini.
Nyawa pasien yang sedang berjuang di IGD tampak seperti beban berat yang siap menghantam siapa pun jika situasi tidak segera diatasi.
"Tidak ada pilihan lain." Ujar Pimpinan Rumah Sakit dengan nada tegas.
"Jika dokter Mumu tidak muncul dalam satu jam, kita siapkan pernyataan bahwa dia tidak dapat hadir dan dia yang bertanggung jawab."
"Saya tidak mau Rumah Sakit ini yang disalahkan. Jika perlu, kita jelaskan kepada media bahwa dokter tersebut yang lalai. Rumah sakit tidak akan menanggung tuntutan dari keluarga pasien."
Semua orang terdiam. Mereka saling memandang, tapi tidak ada yang berani membantah.
Dalam hati mereka, sebagian besar tahu bahwa keputusan ini tidak sepenuhnya adil.
Dokter Mumu hanya sekedar membantu di sela-sela tugasnya di Poli Akupuntur, tapi di saat hampir timbul masalah seperti ini, malah Mumu yang akan disalahkan seolah-olah dia yang bertanggung jawab.
Dunia ini memang aneh!
...****************...
Sementara itu, Mumu membaringkan istrinya di meja ruangan Erna.
Setelah menutup pintu, Mumu langsung mengedarkan kekuatan spiritualnya untuk memblokir energi negatif yang sudah terlanjur masuk ke dalam tubuh Erna.
Energi itu mulai menyebar ke seluruh tubuh Erna.
Bahkan energi tersebut sudah hampir mengenai janin.
Jika Mumu tidak langsung berteleportasi ke sini tadi niscaya kandungan istrinya tidak bisa diselamatkan.
"Tahan, Nda. Bawa bertenang. Semoga ini tidak apa-apa."
"Iya, Yah. Tapi Bunda lemes."
"Sabar, Nda...."
Kalau cuma dipukul tidak sampai babak belur tidak akan kapok.
padahal masih bisa dilanjut....😄👍🙏
bersambung...