Istri yang tak dihargai adalah sebuah kisah dari seorang wanita yang menikah dengan seorang duda beranak tiga
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sulastri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Jalan keliling kampung
Setelah malam yang penuh dengan gelora persetubuhan, Dody terbangun di pagi hari dan kembali meminta layanan dari Hesti. Sementara Hesti merasa lelah dan emosional, dia tetap berusaha memenuhi permintaan Dody, meskipun dalam hatinya ada rasa frustrasi dan kelelahan.
Hesti berjuang untuk menjaga keharmonisan rumah tangga mereka, tetapi dia juga menyadari bahwa ada kebutuhan untuk komunikasi yang jujur dan terbuka mengenai harapan dan tanggung jawab dalam hubungan mereka. Dengan sikap yang sabar, Hesti mulai merencanakan cara untuk berbicara dengan Dody tentang perasaannya dan apa yang dia butuhkan dari hubungan mereka ke depan.
Di sisi lain, Dody harus menyadari bahwa hubungan mereka memerlukan lebih dari sekadar pemenuhan kebutuhan fisik. Keterlibatan emosional dan dukungan yang konsisten adalah kunci untuk membangun kembali kepercayaan dan keharmonisan dalam rumah tangga mereka.
Di sisi lain, Dody masih tertidur pulas di kamar, seolah tidak peduli dengan perjuangan Hesty setiap harinya. Sinar matahari mulai menembus jendela, tetapi Dody belum juga bangun, menikmati kenyamanan tidur tanpa beban.
Sementara itu, Hesty, dengan tubuh yang masih terasa lelah dan pegal, terus melangkah untuk berjualan. Setiap kali ia teringat bagaimana Dody bisa tidur dengan tenang tanpa memikirkan kebutuhan rumah tangga, hatinya terasa berat. Namun, Hesty menahan semuanya. Dia tidak ingin mengeluh. Baginya, tanggung jawab sebagai seorang ibu lebih penting daripada memikirkan egonya sendiri.
Hesty tahu, perjuangannya belum selesai. Dia harus terus bertahan, meski Dody tidak memberikan dukungan yang seharusnya. Di dalam hati, ada keinginan kuat untuk berubah, untuk memperbaiki keadaan, dan untuk mencari jalan keluar dari kehidupan yang seakan-akan semakin membebaninya.
Hesty berjalan menyusuri jalanan kampung dengan membawa keranjang berisi dagangannya. Setiap beberapa langkah, ia berteriak dengan semangat, meski tubuhnya masih terasa lelah.
"Sayur, Bu... sayur segar! Sayur Bu!" teriaknya sambil melangkah di antara rumah-rumah warga.
Wajahnya menampilkan senyum meski hatinya sedang penuh dengan beban. Setiap kali ada ibu-ibu yang menghampiri, Hesty melayani dengan ramah, menjelaskan kualitas sayurnya, dan memberikan harga yang pantas.
Walau kehidupannya tidak mudah, Hesty tetap tegar. Baginya, berjualan adalah cara untuk bertahan hidup dan menafkahi anaknya. Dengan semangat yang tak pernah padam, ia terus berjalan dari satu rumah ke rumah lainnya, berharap dagangannya habis terjual sebelum hari menjelang siang.
Setelah beberapa jam berkeliling, dagangan Hesty mulai menipis. Tubuhnya mulai terasa letih, namun ia tetap bertahan dengan langkah tegap. Sesekali, Hesty berhenti di bawah pohon untuk mengelap keringat yang membasahi wajahnya.
"Alhamdulillah, tinggal sedikit lagi," gumamnya sambil mengatur napas. Pikiran Hesty kembali ke rumah, bayinya, dan semua tanggung jawab yang menunggu. Bayinya pasti sudah menanti dirinya, haus dan lapar, sementara Dody mungkin masih tertidur pulas di rumah.
Saat ia melanjutkan langkahnya, seorang ibu mendekat dan membeli sayur terakhir yang ia bawa. Hesty tersenyum lega. "Terima kasih, Bu," ucapnya sambil memberikan sayur dan menerima uang.
Dengan langkah cepat, Hesty mulai berjalan pulang. Di kepalanya hanya ada satu hal—segera sampai rumah dan menyusui bayinya. Namun, di setiap langkah, bayangan tentang kehidupan rumah tangganya dan perlakuan Dody terus menghantui pikirannya. Hesty tahu bahwa perjuangannya belum berakhir, dan meskipun ia lelah secara fisik, semangatnya untuk bertahan tetap kuat.
Hesty berhenti di sebuah warung kecil di pinggir jalan, menyandarkan tubuhnya yang lelah di kursi plastik yang ada di sana. Dengan napas yang sedikit tersengal, ia memesan sebotol air mineral kepada penjual warung.
"Saya ambil satu air minum, Bu," katanya dengan suara yang hampir berbisik karena kelelahan.
Setelah menerima botol itu, Hesty membuka tutupnya dan langsung meminumnya dengan cepat. Segarnya air yang mengalir di tenggorokan sedikit membantu meredakan haus yang menggerogoti tubuhnya. Namun, gemetar karena lapar masih terasa. Sambil meneguk air, Hesty menyadari bahwa sejak pagi, ia belum sempat makan apa pun.
"Bu, ada gorengan?" tanya Hesty, mencoba mengisi perutnya walau hanya sedikit. Penjual warung menyodorkan beberapa potong pisang goreng yang masih hangat.
Hesty mengambil satu dan mulai memakannya perlahan. Perutnya mulai merasa lebih nyaman, tapi pikirannya masih penuh dengan beban kehidupan sehari-hari. Sambil makan, ia menghela napas panjang, sejenak meresapi ketenangan singkat di warung kecil itu sebelum kembali ke kenyataan yang menunggunya di rumah.
Setelah beristirahat sebentar dan mengisi perut, Hesty mengucapkan terima kasih kepada penjual warung dan kembali melangkahkan kakinya menuju rumah. Rasa haus yang sebelumnya menyiksa kini sudah terobati, dan meski rasa lapar belum sepenuhnya hilang, tubuhnya mulai terasa lebih bertenaga.
Dengan semangat yang tersisa, ia melanjutkan perjalanan, membawa keranjang dagangannya yang sudah hampir kosong. Pikiran Hesty mulai terfokus kembali pada bayinya di rumah. Ia mempercepat langkahnya, berharap bisa segera sampai dan merawat anaknya yang masih kecil.
"Semoga dia nggak terlalu lama nangis kelaparan," gumam Hesty dalam hati sambil berjalan cepat di bawah terik matahari yang semakin menyengat.
Perasaan lega sedikit menghangatkan hatinya, setidaknya dagangannya habis terjual hari ini. Meskipun perjalanan hari ini terasa berat, Hesty tetap bersyukur masih bisa berjuang untuk keluarganya.