✰Rekomendasi Cerita "Introspeksi"✰
Nero, seorang pewaris perusahaan ternama, menikahi Aruna, gadis desa sederhana yang bekerja di perusahaannya. Cinta mereka diuji oleh keluarga Nero, terutama ibu tirinya, Regina, serta adik-adik tirinya, Amara dan Aron, yang memperlakukan Aruna seperti pembantu karena status sosialnya.
Meskipun Nero selalu membela Aruna dan menegaskan bahwa Aruna adalah istrinya, bukan pembantu, keluarganya tetap memandang rendah Aruna, terutama saat Nero tidak ada di rumah. Aruna yang penuh kesabaran dan Nero yang bertekad melindungi istrinya, bersama-sama berjuang menghadapi tekanan keluarga, membuktikan bahwa cinta mereka mampu bertahan di tengah rintangan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Detia Fazrin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
She's My Wifeꨄ
...»»————> Perhatian<————««...
...Tokoh, tingkah laku, tempat, organisasi profesi, dan peristiwa dalam cerita ini adalah fiktif dan dibuat hanya untuk tujuan hiburan, tanpa maksud mengundang atau mempromosikan tindakan apapun yang terjadi dalam cerita. Harap berhati-hati saat membaca....
...**✿❀ Selamat Membaca ❀✿**...
Pagi yang Cemas
Pagi itu, suasana di rumah Adrianus terasa tegang. Semua orang tampak cemas karena Amara, putri satu satunya keluarga, belum juga pulang. Padahal, sudah pukul sepuluh pagi. Regina, ibu Amara, mondar-mandir di ruang tamu dengan wajah penuh kecemasan. Aron, adik Amara, yang biasanya tenang, juga tampak gelisah. Dia tahu betul bahwa kakaknya sangat cantik dan berasal dari keluarga terpandang, hal itu membuatnya semakin khawatir.
Aron duduk di sofa, mencoba menghubungi teman-teman Amara yang pergi bersamanya ke klub malam itu. Beberapa panggilan dijawab, tetapi jawabannya sama.
"Amara sudah pulang tadi malam."
Namun, ada hal aneh. Mobil Amara masih terparkir di dekat klub. Menurut pihak klub, malam itu memang lebih ramai dari biasanya.
"Nero, kita harus segera melakukan sesuatu!" desak Regina. "Sudah berjam-jam, dan kita masih tidak tahu di mana Amara berada."
Nero, yang duduk di meja makan, terlihat tenang. "Ibu... kamu tahu prosedurnya. Kita tidak bisa melapor ke polisi sebelum 24 jam berlalu sejak seseorang dinyatakan menghilang. Kita harus menunggu."
"Tunggu? Kau ingin kita duduk di sini menunggu hal buruk terjadi?" Regina melirik Nero anak tiri nya dengan tatapan tajam.
"Kita tidak bisa membiarkan ini berlalu begitu saja! Aku tidak peduli dengan prosedur polisi, keluarkan semua orang di rumah ini untuk mencari Amara!"
Nero mendesah panjang. "Sudah cukup orang yang aku tugaskan untuk mencarinya, Ibu. Tidak perlu mengeluarkan semua orang. Amara pasti baik-baik saja."
Regina ingin membantah, tetapi sebelum sempat membuka mulutnya, ponsel Aron bergetar. Sebuah pesan muncul di layar.
"Itu Amara!" seru Aron, penuh kelegaan. "Dia bilang dia baik-baik saja dan sedang dalam perjalanan pulang."
Regina hampir tidak percaya. "Apa katanya?"
"Dia akan tiba sebentar lagi."
Regina menarik napas dalam, tetapi rasa lega itu tidak sepenuhnya menghapus kekhawatirannya. Setengah jam kemudian, Amara akhirnya muncul di depan pintu. Dengan santai, dia berjalan masuk, wajahnya tenang dan seolah tidak ada yang perlu dikhawatirkan.
"Maaf sudah membuat kalian semua cemas," katanya dengan senyum ringan.
"Aku lupa mengabari Ibu. Aku tadi malam bersama teman baru di rumahnya, dan ternyata aku ketiduran."
Regina memandang Amara dengan tajam, merasa tidak puas dengan penjelasan itu. "Amara, kau seharusnya tahu bahwa kami sangat khawatir. Kau tidak boleh seenaknya menghilang tanpa kabar."
Amara tersenyum tanpa bersalah dan mengangkat bahu. "Aku baik-baik saja, Bu. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Sekarang, aku mau naik ke kamar."
Tanpa menunggu jawaban, Amara melangkah ke tangga dan menghilang di balik pintu kamarnya. Regina hanya bisa menghela napas panjang, mencoba menenangkan dirinya, sementara Nero hanya menggelengkan kepala.
"Ibu aku pergi ke kantor." kata Nero, namun sebelum Nero melangkah jauh Regina menghentikan nya.
Regina masih belum sepenuhnya tenang. Meskipun Amara sudah pulang dan mengaku baik-baik saja, ada sesuatu yang membuat Regina merasa ada yang tidak beres.
Regina menghampiri Nero. "Aku tidak yakin dengan cerita Amara."
Nero menatap ibunya, mengangkat alis. "Maksudmu?"
"Dia bilang dia bersama teman barunya. Tapi kenapa dia tidak bilang dari awal? Dan kenapa dia terlihat begitu santai, seolah tidak ada yang terjadi?"
Nero tersenyum tipis, "Ibu Regina, Amara sudah dewasa. Kita tidak bisa terus-menerus mengawasi setiap gerakannya. Jika dia bilang dia baik-baik saja, kita harus percaya."
"Tapi aku merasa ada yang disembunyikan," ujar Regina, suaranya lebih rendah. "Kita harus tahu dengan siapa dia bergaul."
"Kenapa ibu baru mengkhawatirkan nya sekarang?"
Nero menatap ibunya dengan tajam. "Amara berhak punya privasi, Ibu. Jangan terlalu mencampuri urusannya."
Regina hanya bisa menghela napas. Nero selalu begitu, terlalu santai menghadapi situasi yang menurutnya serius. Ada sesuatu tentang malam itu yang mengganggu perasaannya.
"Aku harus segara mencarikan jodoh untuk Amara." pikirnya.
✎﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏
Adrianus Corporation
Bianca dan Luna, dua sahabat yang bekerja di perusahaan Adrianus, bertemu secara tidak sengaja di depan gedung kantor. Mereka berdua berusaha menjaga sikap profesional meskipun hubungan mereka sudah tidak seakrab dulu.
"Bianca," sapa Luna dengan senyum kecil, meskipun matanya tampak penuh tanya. "Apa kabar?"
Bianca membalas senyum itu, namun ada sesuatu dalam tatapannya yang tampak dingin. "Baik, terima kasih. Ada kunjungan lagi? Atau mau bertemu Nero."
Luna sedikit terkejut dengan ucapan itu, tetapi dia mengangguk. "Tentu... aku memang datang untuk kunjungan, dan untuk bertemu Nero mengenai pekerjaan, "
"Sepertinya kita harus berbicara," lanjut Luna.
"Tentu saja," jawab Bianca.
Mereka melangkah keluar, duduk di kafe kecil tak jauh dari kantor. Setelah memesan kopi, Bianca memandang Luna dengan tatapan penuh rasa ingin tahu.
"Ada apa, Luna? Mengapa tiba-tiba ingin bicara denganku?"
Luna tersenyum, namun senyum itu terasa hambar. "Sebenarnya selain aku ada urusan pekerjaan, aku sudah merencanakan ingin mengajakmu liburan ke pantai."
Bianca tertegun. "Liburan? Pantai? Mengapa tiba-tiba?"
Luna mengambil napas dalam sebelum menjawab. "Karena... kita sudah kalah."
Bianca mengerutkan kening, tidak mengerti. "Kalah? Kalah dari apa maksudmu?"
"Kau ingat taruhan kita dulu?" Luna menatap Bianca dengan serius. "Siapa pun yang kalah menjadi jodoh Nero harus siap meninggalkan perusahaan Adrianus. Tapi ternyata, tak satu pun dari kita yang dipilih. Nero telah memilih Aruna."
Bianca terdiam sejenak, mencoba mencerna kata-kata Luna. "Jadi... kau ingin mengingatkan aku untuk tidak mengusik hubungan mereka?"
Luna mengangguk pelan. "Aku tahu bagaimana perasaanmu terhadap Nero, Bianca. Aku juga sempat berharap. Tapi kenyataannya, dia sudah bersama Aruna. Tidak ada gunanya lagi mencoba merebutnya."
Bianca tertawa kecil, meskipun tawanya tidak sepenuhnya tulus. "Aku rasa... aku masih punya waktu. Lagipula, belum ada janur kuning melengkung, bukan?"
Luna menggelengkan kepalanya dengan lelah. "Bianca, itu tidak akan berhasil. Percayalah, aku sudah mencoba. Nero dan Aruna sudah terlalu dekat sekarang. Lebih baik kita mundur dengan anggun, dan taruhan itu gugur."
Bianca menatap Luna dengan penuh keyakinan. "Aku tidak akan menyerah semudah itu. Kau mungkin sudah menyerah, tapi aku tidak."
"Dan segera lakukan surat resign... " lanjut Bianca menatap tajam.
Luna menatapnya sejenak, lalu menghela napas panjang. "Tentu, Bianca. Tapi jika kau berubah pikiran, aku punya tiket pesawat. Aku akan pergi liburan minggu depan. Kau bisa ikut jika mau."
Luna meletakkan tiket itu di atas meja, lalu bangkit dari kursinya. "Pikirkan baik-baik, Bianca. Kadang, melepaskan lebih baik daripada berjuang untuk sesuatu yang sudah tidak mungkin."
Tanpa menunggu jawaban, Luna berbalik dan pergi, meninggalkan Bianca yang masih duduk dengan tatapan kosong. Bianca memandang tiket itu, berpikir keras. Apakah benar lebih baik melepaskan? Atau mungkin dia masih punya kesempatan merebut Nero dari Aruna?
✎﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏
Blanca kembali ke kantor dengan perasaan campur aduk. Percakapan dengan Luna tadi terus bergema di pikirannya. Dia masih belum bisa memutuskan apakah akan menyerah atau tetap berjuang. Namun, ketika langkah kakinya menginjak lantai lobi gedung perusahaan Adrianus, hatinya terasa semakin berat.
Begitu matanya mengarah ke sudut ruangan, dia melihat pemandangan yang membuat perutnya terasa mual. Nero dan Aruna sedang berjalan beriringan, tertawa bersama. Mereka terlihat begitu bahagia. Nero, dengan senyum yang lebar, menatap Aruna dengan tatapan hangat, seolah-olah dia tidak peduli dengan siapa pun di sekeliling mereka. Aruna balas menatap Nero dengan mata berbinar, tawa kecilnya memenuhi ruangan.
Blanca berhenti di tengah langkahnya. Hatinya menegang. Pasangan yang serasi, pikirnya dengan getir. Terlihat jelas betapa mereka saling mencintai. Momen itu membuat Bianca merasakan kekalahan yang selama ini berusaha ia tolak. Betapa pun dia mencoba menyangkalnya, Nero dan Aruna memang tampak sempurna bersama.
sekarang sudah sibuk takut pergaulan anaknya.
bentar mereka keluarga tiri Nero kan? apa bedanya dengan Mereka yang hanya menikmati kekayaan ayahnya Nero
jangan sampai jadi fitnah kalau cuma berdua dengan Aron.
tetap semangat ya thor..