Yaya_ gadis ceria dengan sejuta rahasia.
Ia selalu mengejar Gavin di sekolah,
tapi Gavin sangat dingin padanya.
Semua orang di sekolah mengenalnya sebagai gadis tidak tahu malu yang terus mengemis-ngemis cinta pada Gavin. Namun mereka tidak tahu kalau sebenarnya itu hanya topengnya untuk menutupi segala kepahitan dalam hidupnya.
Ketika dokter Laska memvonisnya kanker otak, semuanya memburuk.
Apakah Yaya akan terus bertahan hidup dengan semua masalah yang ia hadapi?
Bagaimana kalau Gavin ternyata
menyukainya juga tapi terlambat mengatakannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mae_jer, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 29
Yaya tersenyum senang saat melihat Gavin telah berdiri didepannya. Ternyata pria itu yang mengangkatnya tadi dari posisi jeleknya di lantai tadi. Gadis itu tidak berhenti-berhenti tersenyum merasa bahagia sebab orang yang menolongnya adalah cowok yang ia sukai. Ekspresi cowok itu datar. Ia menatap Yaya sebentar lalu melirik Bintang di sebelahnya.
"Lo urus dia." katanya dengan nada rendah kemudian pergi meninggalkan mereka. Yaya menghembuskan nafas panjang.
Gavin sungguh tidak asyik jadi cowok, pikirnya. Bintang mendecakan lidah menatap penampilan Yaya, lalu mendekat untuk memapahnya.
Keadaan mulai sepi, siswa-siswi yang tadinya berkumpul menertawai gadis itu mulai pergi satu persatu dan akhirnya tersisa Garrel, Manda, Bintang dan Yaya tentu saja.
Wajah Bintang naik turun melihat penampilan berantakan Yaya. Ada luka dibagian lututnya. Ia berdecak pelan lalu melingkarkan tangannya dilengan Yaya, memapah gadis itu.
"Lo tuh ya, ceroboh mulu." omelnya selama perjalanan. Ia tidak habis pikir pada gadis itu. "Sekarang liat, kebalikan? Malah kita yang ngurusin lo."
Yaya mendelik tajam ke cowok itu. Mana dia tahu kalau dirinya akan terjatuh. Pandangannya pindah ke Garrel dan Manda yang berjalan sedikit dibelakang mereka.
"Lombanya udah selesai?" tanyanya ke mereka.
Garrel mengangguk mengiyakan.
Yaya manggut-manggut. Matanya berpindah ke Manda. Iya ingin bicara ke gadis itu tapi tidak jadi karena dipotong oleh Bintang.
"Bisakan lo nggak usah gerak-gerak dulu. Susah nih gue papah lo."
Yaya menatap sebal pria itu. Lama-lama nih Bintang jadi kayak ibu-ibu yang suka sekali ngomel-ngomel sama anaknya. Sabar Yaya... sabar. Katanya dalam hati. Akhirnya gadis itu memilih diam.
Sekarang ini mereka berlima sudah duduk di kursi aula pelaksanaan olimpiade. Lombanya sudah selesai dan pemenangnya telah keluar. Sekolah mereka dapat juara satu. Sekarang tinggal tunggu panggilan pemberian piagam bagi para peserta yang menang.
Di tempat duduknya, Yaya terlihat mencak-mencak sendiri sejak tadi. Ia merasa sebal karena Bintang tidak berhenti mengomelinya dan sikap Gavin padanya jadi lebih dingin. Lebih kesalnya lagi, tadi saat dia mau duduk di sebelah Gavin, ehh malah keduluan Bintang. Sial, sial, sial. Bintang sialan. Pokoknya hari ini dia resmi bermusuhan dengan cowok itu sekalipun ia sahabatnya Gavin.
Ketika nama sekolah mereka dipanggil untuk menerima penghargaan, Garrel yang maju mewakili mereka karena cowok itu adalah ketua kelas. Yaya bersorak senang. Ia baru tahu ternyata sekolah mereka yang juara. Iyalah dia baru tahu, kan tadi dia tidak ikut lihat lombanya sampai akhir.
Tiba-tiba hpnya bergetar. Yaya berhenti tepuk tangan dan merogoh hp dari saku seragamnya membaca notifikasi yang masuk. Ternyata itu pesan What's up dari dokter Laska.
"Temui aku sekarang, atau aku akan menyeretmu dari rumahmu."
Gadis itu menarik nafas lelah. Memang sudah berhari-hari dia mengabaikan dokternya itu. Wajar kalau isi pesannya seperti mengancam begitu.
Diam-diam Gavin memperhatikannya dari sebelah Bintang. Cowok itu mendengus pelan, ada kekesalan dalam hatinya. Pikirannya tentang gadis itu berubah. Sepertinya Yaya tidak benar-benar menyukainya. Kalau ia menyukainya bagaimana mungkin bisa mesra-mesraan sama orang lain. Mungkin seperti di drama atau di novel-novel, gadis itu hanya mau menaklukkan cowok-cowok yang sulit ditaklukan. Atau seperti kebanyakan perempuan lain, menyukainya hanya karena dirinya mempunyai latarbelakang dari keluarga yang baik, basi.
***
Gavin bergegas pulang setelah acara penyerahan piagam selesai, pastinya bersama Bintang. Ia tidak tahu kenapa tapi ia terlalu malas melihat Yaya sekarang. Padahal gadis itu berharap sekali Gavin akan mengantarnya pulang, eh cowok itu malah menolaknya dengan tegas dan pergi begitu saja. Yaya menunduk pasrah. Pupus sudah harapannya untuk berduaan dengan Gavin.
"Kalo lo mau, lo bisa nebeng gue." tawar Garrel. Mereka bertiga bersama Manda masih setia di parkiran sekolah. Sepertinya tinggal mereka penghuni yang tersisa di tempat itu. Yang lain sudah pulang.
Yaya menatap Garrel sekilas dan melirik Manda.
"Tapi Manda gimana?" tanyanya. Ia merasa tidak enak kalau Garrel mengantarnya terus Mandanya di tinggalin.
Garrel melirik Manda sekilas. Dibanding gadis kutubuku itu, ia lebih leluasa mengobrol dengan Yaya. Tentunya karena ia merasa lebih cepat akrab dengan gadis itu ketimbang Milka. Makanya dia menawarkan ke Yaya. Ia dan Manda sama-sama pendiam dan keduanya tipe orang yang kaku. Menurutnya kalau ia mengantar Manda pulang, mereka pasti akan jadi awkward sepanjang perjalanan. Garrel juga tahu Manda adalah gadis mandiri dan pintar, jauh berbeda dengan Yaya yang begitu ceroboh. Mungkin lebih baik kalau ia memilih mengantar gadis itu bukan.
"Nggak bisa yah kita bertiga di motor kamu gitu?" pertanyaan polos Yaya sukses membuat Garrel tertawa pelan. Yah nggak bisalah. Walau motornya besar, tetap saja tidak bisa buat tiga orang. Ia juga tidak mau kena tilang di tengah jalan. Bikin malu.
"Udah nggak pa-pa kok. Gue udah pesan taksi online tadi. Lo aja yang bareng Garrel." tolak Manda halus.
Sama seperti Garrel yang merasa canggung, Manda pun merasakan hal yang sama. Apalagi kalau hanya berdua. Ia pendiam, Garrel juga pendiam, apa jadinya kalau mereka sama-sama diam? Pasti akan canggung sekali kan? Itu sebabnya ia lebih milih pulang pakai taksi online saja.
"Tap..." Yaya mau melanjutkannya lagi tapi buru-buru dipotong Manda karena taxinya sudah ada.
"Tuh taksi gue." mereka sama-sama menoleh ke sebuah taksi yang berhenti didepan gerbang.
Manda melirik Garrel dan Yaya lagi.
"Gue duluan yah." pamitnya.
Yaya melambai ke gadis itu dengan dahi berkerut. Apa Manda memang selalu kaku begitu yah sifatnya? Atau karena gadis itu tidak suka sama dia. Tidak mungkin, Yaya menggeleng-geleng kepala berdebat dengan dirinya sendiri. Ia bisa merasakan mana orang-orang yang tidak suka sama dia dan yang lebih tidak peduli dengan hal-hal sekitarnya. Kayak Manda itu.
"Jadi gimana, mau nebeng nggak?"
Karena terlalu sibuk memikirkan Manda membencinya atau tidak, ia jadi lupa sama Garrel. Gadis itu berbalik menatap cowok itu dan mengangguk. Garrel lalu menyodorkan sebuah helm berwarna hitam padanya.
"Anterin aku ke RS Medistra aja yah." pintanya membuat pria yang sudah bersiap-siap menggas motornya itu menoleh kebelakang dengan alis berkerut seolah bertanya kenapa gadis itu mau pergi ke Rumah Sakit.
Yaya yang mengerti arti tatapan itu hanya tersenyum
"Biasalah, urusan perempuan." sahutnya tidak jelas, membuat Garrel makin bingung. Tapi bodoh amatlah. Garrel tidak peduli. Lagian apa yang dilakukan gadis itu kan sama sekali tidak ada hubungannya dengan dia. Hubungan mereka tidak dekat seperti cowok itu harus tahu semua yang dilakukan teman sekelasnya tersebut.