Binar jatuh cinta pada kakak kelasnya sudah sangat lama, namun ketika ia merasa cintanya mulai terbalas, ada saja tingkah lelaki itu yang membuatnya naik darah atau bahkan mempertanyakan kembali perasaan itu.
Walau mereka pada kenyataannya kembali dekat, entah kenapa ia merasa bahwa Cakra tetap menjaga jarak darinya, hingga ia bertanya dan terus bertanya ..., Apa benar Cakrawala juga merasakan perasaan yang sama dengannya?
"Jika pada awalnya kita hanya dua orang asing yang bukan siapa-siapa, apa salahnya kembali ke awal dimana semua cukup baik dengan itu saja?"
Haruskah Binar bertahan demi membayar penantian? Atau menyerah dan menerima keadaan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon And_waeyo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 27. Bicara
Cakra sedang mengerjakan tugas ketika ia mendengar ketukan dari arah pintu kamarnya. Lelaki itu menoleh, keningnya mengernyit. Ia bertanya-tanya siapa yang datang malam-malam seperti ini, meski ini tidak terlalu malam.
Lelaki itu berdiri, kemudian mulai melangkah menuju ke arah pintu kamar. Sesampainya di sana, ia membuka pintu, hanya sedikit hingga Cakra melongokkan kepalanya. Lalu tampaklah, papanya berdiri di depan pintu kamar.
"Ada apa?" tanya Cakra langsung.
Asgar tak langsung menjawab, ia menghela napas pelan. "Kamu lagi apa?"
"Ngerjain tugas," jawab Cakra.
Asgar tersenyum tipis. "Papa ingat dulu kamu dan kakak kamu sering dibeliin topi sama mama kalian, karena kalian sering banget main keluar dan panas-panasan."
Cakra terdiam di tempatnya. Lalu, ia menaikkan sebelah sudut bibirnya sesaat. Memang benar seperti itu, dulu.
"Ini, tadi pas keluar papa pikir ini bagus buat kamu." Asgar menunjukkan sebuah topi yang sebelumnya ia sembunyikan di belakang tubuhnya.
Cakra keluar dari kamar dan menutup pintu. Tangannya terangkat perlahan untuk mengambil topi itu. Lalu, ia tersenyum kecil memandangi topi yang kini ia pegang.
"Papa masih ingat sama mama?"
"Nggak ada sedikit pun tentang mama kamu yang papa lupa. Tapi sekarang masa papa untuk mama kamu udah habis."
Cakra diam beberapa saat. "Oh ..., tapi papa sayang sama mama kan?" tanyanya masih sambil merunduk.
Asgar mengangkat alis, ia meneguk ludah sesaat. "Y-ya."
"Terus ... kenapa kalian cerai? Kenapa Papa biarin mama pergi?" tanya Cakra sambil mendongak menatap sang papa.
Papanya membulatkan mata. Ia menatap Cakra yang sepasang matanya seperti menelisik mencoba mencari kebenaran. Asgar mengalihkan pandangan sesaat, ia menghela napas pelan sebelum akhirnya tersenyum tipis. Lalu, mengusap puncak kepala putranya sebentar.
Pertanyaan ini pasti sudah bersarang cukup lama di kepala Cakra.
"Karena papa mencintai mama kamu. Dia berhak bahagia. Tapi karena bahagianya bukan sama papa, papa lepas mama kamu untuk mendapatkan kebahagiaannya. Kami ... nggak bisa mempertahankan satu sama lain. Kamu mungkin jarang lihat mama sama papa bertengkar dulu, tapi bukan berarti semua baik-baik aja. Karena itu, kami berdua pikir, berpisah adalah yang terbaik. Papa sendiri menganggap hal itu benar supaya mama atau papa nggak perlu terluka lagi. Kami sama-sama egois, dan lupa ada kamu sama Seno yang mungkin lebih terluka."
Cakra mengalihkan pandangan, ia memegang erat topi di tangannya.
"Dan setelah semua terjadi, papa tahu. Papa baru sadar perpisahan itu nggak seharusnya terjadi kalau salah seorang dari kami mau mengalah dan nggak egois. Maafin papa sama mama ya, Cakra. Papa benar-benar minta maaf. Tapi semua itu udah terjadi dan nggak bisa terus disesali. Kita harus melanjutkan hidup, tentu saja papa sangat bersyukur dengan apa yang kita miliki sekarang, termasuk dengan adanya mama dan adik tiri kamu."
Cairan hangat sudah mengumpul di pelupuk mata Cakra, tapi berusaha ia tahan agar tak jatuh.
"Benar, nggak berguna menyesali hal yang udah terjadi kan? Papa pikir, ketika mama kamu nggak lagi di rumah ini. Kamu pasti membutuhkan sosok seorang ibu, karena papa juga pasti nggak bakal selalu ada di rumah karena harus kerja. Dan saat itu lah, papa ketemu Laras. Papa tahu nggak ada siapa pun yang bisa gantiin mama buat kamu, tapi papa pikir Laras lebih dari cukup untuk menjadi sosok ibu yang baik buat kamu. Bagaimanapun kamu membutuhkan seorang mama."
Cakra buru-buru mengusap dengan kasar setetes cairan bening yang baru saja menyusuri pipinya. Ia berpikir menangis adalah tanda kelemahan bagi lelaki, ia tak boleh menangis di depan orang lain, meski keluarganya sendiri.
"Cakra, papa sadar, mungkin belum bisa jadi sosok papa yang baik buat kamu. Entah seperti apa sosok papa yang kamu harapkan. Tapi untuk ke depannya, papa nggak mau ada ketegangan di rumah ini."
Asgar mendekat, menepuk bahu putranya.
"Kamu sudah lama nggak ketemu sama mama kamu. Kamu rindu dia?"
Cakra mengangguk, bukannya tak mau bertemu, ada alasan lain yang membuatnya ragu.
"Mau ketemu?"
Cakra tak langsung menjawab. Ia terdiam beberapa saat. Lelaki itu ingin, sangat ingin bertemu sang mama. Tapi ... itu juga berarti ia akan bertemu kakaknya. Cakra hanya merasa belum siap. Ia merasa saat ini bukanlah waktu yang tepat untuk bertemu Senopati yang berarti membuka semua luka lamanya.
Cakra mengambil napas dalam dan menghembuskannya perlahan. Selama ini ia terus berlari dan menghindar. Apa sekarang saatnya menghadapi dan menyelesaikan semua?
Ia memutuskan menghadapinya, lelaki itu mengangguk.
Asgar tersenyum tipis melihatnya. Perlahan merasa agak lega walau masih banyak yang harus ia lakukan untuk kedua putranya.
"Papa juga ... dengar apa yang terjadi sama kamu dan Seno. Maaf kalau tindakan papa selama ini buat kamu semakin ngerasa kalau papa lebih sayang Seno. Papa sayang kalian berdua, sama. Kalian berdua anak papa. Papa ceritain setiap prestasi Seno supaya kamu termotivasi, nggak ada maksud lain."
Cakra menatap pria itu. "Seno cerita apa? Papa ketemu dia?" tanyanya.
Papanya menggelengkan kepala, membuat kernyitan di dahi Cakra muncul.
"Tepatnya, Seno yang cerita sama Binar. Lalu Binar cerita ke papa. Dia bilang ada masalah di antara kalian, dia pikir papa bisa bantu kamu sama Seno. Seperti halnya Seno yang berpikir kalau Binar bisa bantu menyelesaikan masalahnya dengan kamu."
"Binar? Kapan dia cerita?" tanya Cakra.
"Beberapa hari yang lalu, waktu dia ke rumah ini. Harus papa akui, pacar kamu itu juga bantu menyadarkan papa sama situasi keluarga ini. Karena kalau nggak dengar ceritanya juga papa mungkin bakalan masih bersikap lain."
Ekspresi Cakra tak terbaca.
"Papa nggak nyangka kalian pacaran."
Asgar mengacak puncak kepala Cakra sesaat. Lelaki itu mendecak dan menjauhkan tangan sang papa dari kepalanya.
"Kalau ada hal lain yang perlu papa tahu, kamu bisa bicara langsung."
Cakra mengangguk. Sebelum memasuki kamar, lelaki itu mengucapkan terima kasih pada papanya. Asgar menanggapinya dengan anggukan dan senyuman tipis. Ia berlalu pergi setelah Cakra benar-benar memasuki kamar.
Sementara di sisi lain, Cakra yang sudah ada di dalam kamar terdiam memikirkan sesuatu.
Beberapa hari yang lalu? Apa itu ketika Binar mengantarkan kue untuknya? Pikir Cakra.
Binar tahu masalahnya dengan Seno? Tapi apa Seno menceritakan yang sebenarnya dan tidak menambah-bahkan agar tak terlihat bersalah? Kenapa harus Binar? Kenapa lelaki itu menceritakannya pada kekasih Cakra? Apa agar bisa menjelek-jelekkannya?
Cakra merasa ... masalah ini seharusnya tidak perlu diketahui orang lain. Ia berpikir Seno masih berusaha mencari gara-gara dengannya.