NovelToon NovelToon
Menyimpan Rasa Untuk Kakaknya

Menyimpan Rasa Untuk Kakaknya

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Kisah cinta masa kecil / Persahabatan / Romansa
Popularitas:5.2k
Nilai: 5
Nama Author: Lucky One

Lilyana Belvania, gadis kecil berusia 7 tahun, memiliki persahabatan erat dengan Melisa, tetangganya. Sering bermain bersama di rumah Melisa, Lily diam-diam kagum pada Ezra, kakak Melisa yang lebih tua. Ketika keluarga Melisa pindah ke luar pulau, Lily sedih kehilangan sahabat dan Ezra. Bertahun-tahun kemudian, saat Lily pindah ke Jakarta untuk kuliah, ia bertemu kembali dengan Melisa di tempat yang tak terduga. Pertemuan ini membangkitkan kenangan lama apakah Lily juga akan dipertemukan kembali dengan Ezra?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lucky One, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Curahan hati Ezra

Malam itu, suasana di rumah terasa lebih tenang dari biasanya. Melisa duduk di ruang tamu sambil menonton acara televisi, sementara Lily sibuk dengan buku catatannya di meja makan. Ezra pulang dari kantor lebih awal dari biasanya, dan ada sesuatu yang berbeda dalam ekspresinya. Raut wajahnya terlihat lelah, namun bukan karena kelelahan fisik. Ada sesuatu yang lebih mendalam yang membebani pikirannya.

Ezra membuka pintu rumah dengan pelan, melepaskan sepatu dan langsung menuju ke dapur untuk mengambil segelas air. Melisa melirik ke arahnya dan bisa langsung merasakan ada yang tidak beres.

"Kak, kamu kenapa?" tanya Melisa sambil berdiri dari sofa dan berjalan mendekati Ezra. "Kelihatan capek banget."

Ezra hanya tersenyum tipis, namun senyumnya terasa dipaksakan. "Gak apa-apa, cuma hari yang panjang," jawabnya singkat.

Lily yang duduk tak jauh dari mereka, ikut menoleh dan memperhatikan. Ia bisa melihat bahwa ada sesuatu yang mengganggu pikiran Ezra, namun ia memilih untuk diam dan membiarkan Melisa yang berbicara.

"Aku tahu ada yang gangguin kamu," ujar Melisa sambil memiringkan kepalanya, tatapannya penuh dengan rasa ingin tahu. "Kamu biasanya nggak sependiam ini. Ada apa? Cerita aja."

Ezra menghela napas panjang dan menatap adiknya sejenak. Melisa memang selalu bisa merasakan kalau ada yang tidak beres dengannya. Setelah menimbang-nimbang sejenak, Ezra akhirnya memutuskan untuk berbicara.

"Ini tentang Nadia," katanya pelan, kemudian ia duduk di kursi makan di samping Lily. "Dia... tadi di kantor, dia ngungkapin perasaannya ke aku."

Melisa terkejut, begitu juga dengan Lily. Mereka saling menatap sebelum fokus kembali pada Ezra. Lily merasa sedikit terkejut dengan pengakuan itu, meskipun ia tidak terlalu akrab dengan Nadia, ia tahu bahwa Nadia sering terlihat bersama Ezra.

"Terus, kamu jawab apa?" tanya Melisa sambil duduk di hadapan kakaknya, jelas ingin tahu detailnya.

Ezra mengusap wajahnya dengan kedua tangan, lalu menatap adik dan Lily dengan mata lelah. "Aku bilang ke dia kalau aku cuma nganggap dia teman. Aku nggak punya perasaan yang sama."

Lily menelan ludah, mencoba meredakan detak jantungnya yang tiba-tiba berdetak lebih cepat. Meski perasaan terhadap Ezra sudah ia coba redam, mendengar bahwa Ezra menolak Nadia memberi Lily sedikit kelegaan yang tak bisa ia jelaskan.

"Jadi kamu nolak dia?" tanya Melisa, memastikan.

Ezra mengangguk pelan. "Ya, aku nggak bisa kasih dia harapan. Nadia orang yang baik, tapi aku nggak punya perasaan yang sama. Dan jujur, aku nggak mau hubungan di antara kita jadi canggung."

Melisa menghela napas, mencoba mencerna situasi itu. "Pasti sulit buat Nadia. Tapi lebih baik kakak jujur daripada memaksakan sesuatu yang nggak ada."

Ezra tersenyum lemah. "Iya, aku juga mikir begitu. Tapi tetap aja, aku nggak enak. Aku tahu dia pasti kecewa."

Lily yang sejak tadi diam, akhirnya berbicara. "Ezra, kamu nggak salah. Nadia mungkin terluka sekarang, tapi lebih baik dia tahu dari awal daripada terus berharap pada sesuatu yang nggak ada. Itu akan lebih menyakitkan nanti."

Ezra menatap Lily, dan senyuman kecil muncul di wajahnya. "Makasih, Lil. Aku juga berharap Nadia bisa ngerti dan kita bisa tetap berteman."

Melisa kemudian menambahkan, "Ya, semoga aja Nadia nggak menganggap semuanya berubah setelah ini. Tapi, Kak, kamu juga harus hati-hati dalam ngasih perhatian ke cewek. Bukan cuma Nadia, tapi siapa pun. Kadang, perhatian yang biasa buat kamu bisa bikin orang lain salah paham."

Ezra mengangguk, tampaknya mulai menyadari bahwa selama ini dia mungkin memberi kesan yang berbeda pada Nadia tanpa disadarinya. "Aku ngerti, Mel. Aku bakal lebih hati-hati."

Setelah beberapa saat hening, Melisa kembali memecah suasana dengan candaannya yang khas. "Tapi, Kak, jangan-jangan kamu ada perasaan sama cewek lain, makanya nggak bisa bales perasaan Nadia?"

Ezra terdiam sejenak, tersenyum kecil namun tidak memberikan jawaban langsung. Lily yang mendengar pertanyaan itu tiba-tiba merasa gugup, namun berusaha untuk tidak menunjukkan reaksinya. Melisa melihat ekspresi kakaknya dan tertawa kecil.

"Kakak gak jawab nih, berarti beneran ada dong?"

Ezra hanya menggeleng, masih tersenyum, namun tidak membahas lebih lanjut. "Udahlah, Mel, jangan terlalu dibesar-besarkan."

Meskipun suasana mulai kembali santai, Lily tak bisa menghilangkan rasa penasaran di dalam hatinya. Ia ingin tahu, siapa sebenarnya yang ada di hati Ezra jika bukan Nadia? Apakah mungkin...

Namun, sebelum pikirannya melayang terlalu jauh, Lily memutuskan untuk mengabaikan perasaan itu. Seperti kata Melisa, ia tidak boleh terlalu terbawa perasaan terhadap perhatian yang Ezra berikan. Mungkin semua ini hanyalah khayalannya semata.

***

Malam itu, setelah Ezra menceritakan tentang penolakan Nadia, pikiran Lily berputar-putar. Ia berbaring di tempat tidurnya, menatap langit-langit kamar, mencoba merenungkan perasaan yang semakin sulit ia abaikan. Mengetahui bahwa Ezra menolak perasaan Nadia membuat hatinya tergerak, seolah ada secercah harapan yang selama ini tersembunyi di balik rasa cemas dan keraguan.

"Aku punya kesempatan," pikir Lily dalam diam, jantungnya berdebar lebih cepat. Selama ini, ia selalu berusaha menekan perasaannya terhadap Ezra, mengikuti saran Melisa untuk tidak terbawa perasaan hanya karena perhatian yang Ezra tunjukkan padanya. Namun, malam ini, semua itu terasa berbeda.

Lily bangkit dari tempat tidurnya dan duduk di tepi ranjang, memeluk lututnya sambil memikirkan berbagai kemungkinan. Ezra bukan tipe pria yang mudah menunjukkan perasaannya, tetapi sikap hangat dan perhatian yang ia berikan selalu membuat Lily merasa istimewa. Meski ia tak pernah ingin mengakui sepenuhnya, perhatian Ezra yang membuatnya terus berharap—dan sekarang, setelah mendengar tentang Nadia, perasaan itu semakin kuat.

"Kalau dia bisa menolak Nadia, berarti dia mungkin nggak sedang menjalin hubungan serius sama siapa pun," bisik Lily pada dirinya sendiri.

Namun, di balik harapan itu, Lily tahu dia harus berhati-hati. Seperti yang Melisa katakan, perhatian Ezra mungkin tidak berarti lebih dari sekadar sikap kakak yang peduli pada teman adiknya. Tapi hati Lily terus menuntunnya untuk memikirkan bahwa mungkin ada sesuatu yang lebih, sesuatu yang belum sempat tersampaikan atau tersadari oleh Ezra.

Keesokan harinya, suasana di rumah kembali normal. Ezra sudah berangkat ke kantor pagi-pagi, dan Melisa menghabiskan waktu di rumah sambil bersiap-siap untuk kuliah. Sementara Lily duduk di ruang tamu, pikirannya masih dipenuhi oleh apa yang terjadi semalam. Dia tidak tahu harus berbicara kepada siapa. Ia merasa aneh untuk menceritakan perasaannya kepada Melisa, terutama mengingat betapa Melisa selalu memperingatkannya untuk tidak berharap terlalu banyak dari perhatian Ezra.

Di tengah lamunannya, tiba-tiba ponsel Lily berbunyi. Sebuah pesan masuk dari Melisa.

"Lily, sore ini kita jalan-jalan ke mall lagi yuk. Kak Ezra juga ikut, tapi kali ini aku nggak bisa ikut karena ada tugas di kampus."

Pesan itu membuat Lily terdiam. Ezra? Hanya berdua?

Lily membaca pesan itu berulang kali, mencoba memastikan ia tidak salah paham. Hatinya campur aduk, antara gugup dan senang. Kesempatan untuk menghabiskan waktu berdua dengan Ezra jarang terjadi, apalagi setelah Melisa selalu ada di setiap momen mereka bersama. Namun, kali ini berbeda. Ini bisa jadi kesempatan yang tepat untuk mendekatkan diri lebih jauh pada Ezra, untuk melihat apakah ada peluang bagi perasaannya.

Tanpa ragu, Lily mengetikkan balasan.

"Oke, aku siap-siap sekarang. Nanti jam berapa pergi?"

Selama hari itu, Lily sibuk memikirkan bagaimana seharusnya ia bersikap di depan Ezra. Apakah ia harus lebih berani menunjukkan perasaannya? Atau tetap tenang dan menunggu Ezra untuk memberi sinyal lebih dulu? Di satu sisi, ia tidak ingin merusak hubungan baik mereka, tetapi di sisi lain, harapan dalam dirinya semakin sulit untuk diabaikan.

1
Iind
mampir ya kak,udah banyak karyanya 😍😍
Lenty Fallo
apa kata melisa itu benar lily, kmu jgn trbwa perasan dgn Ezra,dia perhtian dn peduli dgn kmu slma ini krna kmu temn adiknya melisa, dn blm tntu suka sama kmu, lgian Ezra sdh ada nadia. lbih baik kmu fokus dgn kuliamu lily.jgn smpai kmu menglami sakit hti yg ke 2x nya. up lgi thor 💪🥰
Lenty Fallo
lepskn si radit lily, sakit skrg lbih baik drpda nnti. ayok up lgi thor 💪
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!