Tujuh ratus tahun telah berlalu, sejak Azkan ditugaskan menjaga Pulau Asa, tempat jiwa-jiwa yang menyerah pada hidup, diberi kesempatan kedua. Sesuai titah Sang Dewa, akan datang seorang 'Perempuan 'Pilihan' tiap seratus tahun untuk mendampingi dan membantunya.
'Perempuan Pilihan' ke-8 yang datang, membuat Azkan jatuh cinta untuk pertama kalinya, membuatnya mencintai begitu dalam, lalu mendorongnya masuk kembali ke masa lalu yang belum selesai. Azkan harus menyelesaikan masa lalunya. Namun itu berarti, dia harus melepaskan cinta seumur hidupnya. Bagaimana mungkin dia bisa mencintai seseorang yang di dalam tubuhnya mengalir darah musuhnya? Orang yang menyebabkannya ada di Pulau Asa, terikat dalam tugas dan kehidupan tanpa akhir yang kini ingin sekali dia akhiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BERNADETH SIA, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
GUNUNG SANG DEWA
Azkan bangun lebih pagi dari biasanya. Di luar, langit masih gelap dan matahari baru akan terlihat beberapa jam lagi. Dia sudah berdiri di depan pintu kamar Laina selama beberapa menit. Tetapi tangannya masih ragu untuk mengetuk pintu di depannya. Dia tidak mau membangunkan Laina, tapi dia juga tidak mau pergi begitu saja tanpa berpamitan. Maka dia memutuskan untuk langsung masuk saja seperti biasanya. Azkan lebih suka membisikkan ijinnya pada Laina daripada harus membangunkan Laina yang masih lelap. Tetapi ketika tangannya mendorong pintu, pintu itu tak bergerak. Untuk pertama kalinya, Laina mengunci pintu. Azkan mendesah. Dia tersenyum simpul sambil menggelengkan kepalanya. “Kau benar-benar serius ternyata.”
Karena tak bisa berpamitan, maka Azkan pergi tanpa mengatakan sepatah kata pun pada Laina. Dia berjalan pergi meninggalkan kastilnya, mengendarai mobil menuju kaki gunung yang terletak di bagian paling timur Pulau Asa. Di sepanjang perjalanan, pikiran Azkan terus tertuju pada Laina. Kali ini, dengan perasaan yang dimilikinya, dia berdoa agar jawaban Sang Dewa akan mendatangkan kelegaan baginya. Karena dia tak bisa memikirkan jalan keluar apa pun kalau ternyata dia sedang menjalani masa lalu sekali lagi. Perasaannya pada Laina, adalah perasaan yang berbeda. Dia bisa mengingat apa yang dulu pernah dia rasakan dan bisa membedakan dengan jelas bahwa perasaan yang dia miliki sekarang, tidaklah sama.
Dulu, dia mencintai begitu dalam hingga rela menghakhiri hidup karena tak bisa bersama. Sekarang, perasaan yang dia miliki, adalah jenis perasaan yang terus bertumbuh. Semakin lama, perasaannya semakin dalam, semakin kuat, dan yang dia inginkan adalah kebahagiaan, kedamaian, dan kebersamaan untuk waktu yang lama. Dia ingin melihat senyum Laina, mendengar tawanya, mendengar celotehnya, memeluknya, merasakan kehadirannya di hari-harinya secara nyata, dan menghabiskan masa depan yang panjang bersama. Kali ini, Azkan tidak membayangkan sebuah akhir. Di dalam diri Azkan, terbayang masa depan yang dipenuhi kebersamaan dalam hidup.
Mobil hitam Azkan berhenti di pinggir jalan setapak yang menandai awal perjalanan menaiki Gunung Sang Dewa. Di sisi kanan jalan masuk ke dalam pegunungan, seekor domba terlihat sedang tertidur lelap. Dia tidak memedulikan kehadiran manusia yang hendak membawanya ke atas gunung sebagai korban bakaran pada Dewa. Azkan meraih gulungan tali yang tergantung di pinggangnya, bersebelahan dengan peralatan lain yang dia butuhkan seperti pisau, pemantik, dan botol air minum. Dengan tali itu, dia mengikat leher domba yang masih mengantuk, lalu menyeretnya supaya ikut mendaki gunung bersamanya.
Butuh waktu selama hampir empat jam bagi Azkan untuk bisa sampai di puncak gunung. Itu adalah waktu tercepat yang bisa dicapai siapapun yang pernah mencoba naik hingga ke puncak. Biasanya, orang lain yang ingin berdoa secara khusus pada Dewa di puncak gunung, membutuhkan waktu lebih dari enam hingga tujuh jam. Azkan tidak berhenti untuk beristirahat sama sekali dan ketika dombanya tak kuat lagi berjalan sendiri, dia membopongnya di pundak lalu berjalan lebih cepat lagi. Tekad dalam dirinya jauh lebih kuat dibandingkan rintangan menaiki gunung Sang Dewa.
Sesampainya di puncak, matahari sudah bersinar terang. Hangatnya matahari juga sudah terasa di semua tempat. Sekali lagi, yang pertama kali muncul dalam pikiran Azkan adalah Laina yang sudah bangun dan mendapatinya telah pergi tanpa pamit. Pasti dia sedang mengomel atau menahan marah padaku. Bayangan tentang bagaimana ekspresi Laina ketika marah padanya karena pergi tanpa pamit, memunculkan sebuah senyuman di tengah peluh yang memenuhi wajahnya. Untuk sesaat, Azkan memperhatikan sekitar. Dari puncak gunung, dia bisa melihat bagaimana Pulau Asa sekarang telah berubah menjadi sebuah pulau yang dipenuhi aktivitas kehidupan. Tidak seperti dulu, ketika dia pertama kali ada di sini, sendirian, menunggu orang-orang datang satu per satu.
Di ujung utara puncak gunung, terdapat sebuah mezbah, tempat orang-orang yang berdoa langsung pada Dewa, biasa mempersembahkan korban bakaran dari hewan yang mereka miliki. “Baiklah, lebih cepat dimulai lebih baik.” Azkan meraih tali yang mengikat leher dombanya, lalu dengan tangkas menarik pisau tajam di pingganya. Pertama, dia melepaskan tali di leher domba itu, lalu memeganginya di dekat mezbah, kemudian dengan sekali sayatan, dia berhasil membuat domba itu tak lagi bernafas. Darah yang mengalir dari leher domba di tangannya, dicurahkan hingga habis ke bagian luar mezbah. Kemudian, setelah tubuh domba itu tak lagi meneteskan darah, Azkan meletakkan dombanya di atas mezbah, meraih pemantik di pinggangnya, dan menyalakan api lewat tumpukan ranting dan kayu di sekitar tubuh domba yang tak bernyawa.
Api besar segera terbentuk, mengelilingi tubuh domba yang dia persembahkan dengan dinding api. Beberapa menit kemudian, Azkan bisa mencium aroma daging domba yang terbakar api. Azkan berdiri di depan mezbah, diam, tak bergerak, pun tak berbicara. Dia menunggu, sambil berbicara dalam hati, pada Sang Dewa yang dinantikan kehadirannya.
“Hai, Azkan! Manusia pilihanku.” suara yang hanya ada satu di dunia, terdengar di dalam pikiran Azkan. Api yang berkobar di hadapannya semakin membesar, hingga membuatnya melangkah mundur karena panas.
“Dewa, aku mencintai Laina. Aku mau meminta restumu untuk kami.” Azkan berbicara pada api yang kini seakan bernyawa.
“Kau yakin?”
“Iya.”
“Tapi kau khawatir sekarang.”
“Karena mimpi Laina. Itu adalah alasanku datang kemari. Tolong, beritahu aku yang sebenarnya. Bukan lewat pertanda yang membuatku berprasangka. Tolong beri aku pemahaman yang benar.”
“Bagaimana jika hasilnya tidak seperti yang kau inginkan?”
“Aku tidak tahu.”
“Aku suka karena kau selalu jujur padaku.”
“Bukankah itu karena Kau akan membuatku sakit kalau aku mengatakan kebohongan?”
“Yah, dulu itu kulakukan untuk melatihmu supaya jiwamu murni.”
“Jadi sekarang tidak lagi seperti itu?”
“Sudah lama aku tidak pernah membuatmu kesakitan, Azkan. Kau adalah manusia pilihanku. Tidak mungkin aku sengaja menyakitimu. Dulu aku melakukannya karena ingin melatihmu.”
“Lalu kenapa waktu itu, aku kesakitan?”
“Itu terjadi karena alasan yang berbeda.”
“Karena apa?”
“Karena perasaan yang kau miliki pada Laina.”
“Aku masih tidak mengerti.”
“Tidak semua hal bisa langsung kau mengerti, Azkan.”
“Kalau begitu, maukah Kau merestui hubunganku dengan Laina? Aku sungguh-sungguh mencintainya.”
“Apa kau siap dengan semua konsekuensinya? Perasaanmu sekarang, akan membawamu pada banyak hal di masa depan. Dan sebagian darinya, akan sangat menyakitkan. Baik untukmu, maupun untuk perempuan yang kau cintai.”
“Aku siap.”
“Baiklah. Aku akan memberikan restuku kalau kau bisa menerima semua yang kuberitahukan padamu sekarang.”
Api bakaran korban di atas mezbah membesar secara tak masuk akal. Api yang berubah hidup itu, melahap tubuh Azkan, membelenggunya hingga tak lagi terhubung dengan sekitar. Azkan memasuki dimensi lain dari kehidupan masa lalu seseorang.