"Aku memacari Echa, hanya karena dia mirip denganmu. Aku gak akan bisa melupakanmu Inayah. Jadi dengarkan aku, pasti... pasti aku akan memutuskan Echa apabila kamu mau kembali padaku!" Terdengar lamat-lamat pertengkaran Catur dengan mantan kekasihnya yang bernama Inayah dihalaman belakang sekolah.
Bagai dihantam ribuan batu, bagai ditusuk ribuan pisau. Sakit, nyeri, ngilu dan segala macam perasaan kecewa melemaskan semua otot tubuhnya. Echa terjatuh, tertunduk dengan berderai air mata.
"Jadi selama hampir setahun ini aku hanya sebagai pelampiasan." monolog gadis itu yang tak lain adalah Echa sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Erchapram, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Wanita Gila
Gerimis di pagi hari menyambut dunia, angin dingin sepoi memeluk raga ku. Setelah drama panjang kemarin, aku merasa malu jika nanti bertemu Erik. Bagaimana tidak malu, sejak aku putus dengan masa lalu. Ini kali pertamanya aku mau dipeluk oleh seorang pria. Masih aku ingat kehangatannya, tidak bisa aku tampik jika aku memang nyaman jika berada didekat Erik. Dicintai begitu dalam meskipun belum ada kepastian akan dibawa kemana rasa itu. Entahlah, aku akan ikuti alurnya saja. Tapi dalam hatiku, aku tidak ingin hanya sekedar menjalin kasih biasa. Aku ingin ada ikatan yang jelas dan kuat, serta mendapatkan restu dari semua keluarga.
Bukannya serakah, atau terkesan menuntut. Tapi bagi ku, pacaran hanya akan menimbulkan dosa baru. Sedangkan dosa-dosaku dimasa lalu sudah sekian banyak menumpuk. Kalaupun Erik tidak ingin nikah muda, setidaknya tunangan saja dulu. Yang terpenting, ada ikatan resmi yang disetujui dan diketahui oleh orang tua dan sanak keluarga. Mengingat latar belakangku yang hanya terlahir dari keluarga miskin, tidak menutup kemungkinan banyan pihak yang tidak setuju. Dan aku tidak ingin memperkeruh suasana dengan memaksakan diri. Jika memang dari awal susah disambungkan, maka dari itu lebih baik tidak sama sekali. Terlalu menyakitkan jika terus diingatkan dari mana aku berasal. Anak janda miskin.
Seperti biasa, rutinitas harianku. Berangkat kerja berjalan kaki sambil menikmati pemandangan jalanan. Macet dimana-mana, tapi tidak berlaku untuk ku. Karena aku bisa jalan nyempil-nyempil dipinggiran.
"Mampir beli bubur ayam dulu lah, lapar perutku. Mana gak keburu masak tadi pagi." Monolog ku.
Saat sedang menikmati santapan pagi semangkok bubur ayam spesial khas Cirebon. Aku merasa ada yang memperhatikan ku dari jauh. Lebih tepatnya seolah ada yang sedang mengintai diriku. Tapi saat aku tengok kanan kiri, tidak kutemukan siapapun. Apa hanya perasaanku saja ya. Lagipula aku tidak mempunyai musuh, karena aku menang tidak suka mencari masalah dengan siapapun dan dimanapun.
Kebanyakan mereka yang memusuhi aku tanpa sebab yang jelas. Bahkan kebanyakan dengan alasan yang sangat tidak masuk akal.
"Alhamdulillah kenyang." Setelah membayar aku pun melanjutkan perjalan menuju kantor yang gedungnya sudah terlihat dari warung bubur yang aku singgahi.
Menjalani hidup seorang diri diperantauan, bekerja keras demi mengejar masa depan yang lebih baik lagi. Aku juga sudah mendaftarkan kuliah pada universitas terbuka. Jadi mulai hari ini, aku akan sangat sibuk sekali. Semoga aku bisa membagi waktu dengan baik. Untuk jadwal kuliah sendiri aku memilih jam malam, setelah aku pulang kerja. Dengan kobaran semangat yang membara, semua akan aku lakukan demi keluarga.
Setelah jam pulang kantor tiba, aku langsung meluncur ke kampus. Dan tidak pulang ke rumah terlebih dahulu. Karena jarak menuju kampus jika dari kantor lebih dekat, daripada dari rumah yang harus melewati jalan memutar.
"Ternyata banyak juga ya mahasiswa karyawan." Pikirku merasa kagum dengan pemandangan di depanku. Rata-rata yang menempuh pendidikan di universitas ini sudah berumur. Bagiku mereka adalah contoh semangat luar biasa. Karena menuntut ilmu tidak pandang usia.
Jam sudah menunjukkan pukul 21:00 saat aku keluar ruangan. Cukup malam buat aku yang seorang diri kemanapun. Semoga tidak terjadi hal yang buruk. Tapi firasatku mengatakan akan terjadi sesuatu.
Dan benar saja, saat aku sedang menunggu kendaraan di halte. Ada beberapa orang preman yang menghadang. Ketakutanku sudah diubun-ubun. Dengan keringat membasahi kepalaku, aku tak henti beristigfar. Semoga datang pertolongan. Entah apa yang mereka inginkan.
"Ya Allah, tolong hambamu" Doa ku dalam hati.
"Eh cantik juga nih cewek, boleh kan nanti kita cicipi." Ucap preman 1
"Jangan macam-macam, si Bos hanya ingin kita membawanya. Dia yang akan memberi cewek ini pelajaran" Kata preman 2
"Udah, kalian jangan banyak bicara. Cepat lumpuhkan dia supaya kita gampang membawanya, mumpung sepi." Ucap si kepala plontos yang kemungkinan adalah sang ketua preman.
Aku semakin gemeteran mendengar obrolan preman itu. Dengan sisa keberanianku, aku coba berontak saat mereka mulai mengeroyok ku. Tapi tenagaku tidak cukup kuat apalagi saat salah satu dari mereka menempelkan sapu tangan yang kemungkinan sudah ada obat biusnya. Sebelum aku menutup mataku, samar aku mendengar suara perempuan tertawa seperti psikopat.
Keesokan harinya, aku terbangun dengan rasa sakit diseluruh tubuhku. Tunggu dulu, kenapa tangan dan kaki ku tidak bisa digerakkan. Ternyata aku lupa kalau sudah jadi korban penculikan. Sekarang apa yang bisa aku lakukan, jika tangan dan kaki ku terikat seperti ini. Dan suara siapa yang aku dengar, pikiranku bertambah bingung.
Tap tap tap
Suara sepatu ber hak tinggi menggema keseluruh ruangan.
Kriet
Pintu usang yang menjadi tutup ruangan ini perlahan terbuka. Dan muncullah sosok wanita dengan senyum bak psikopat sedang menawan mangsanya. Dan akulah mangsa tersebut. Aku dongakkan wajahku yang sebelumnya tertunduk karena menahan rasa sakit. Samar terlihat dilensa mataku yang kabur, aku seperti pernah melihatnya. Tapi dimana dan siapa, untuk apa dia menyekap aku disini. Semua pertanyaan berputar dikepalaku dan sebentar lagi aku akan tahu tujuan dia sebenarnya apa.
"Cih hanya seperti ini model perempuan yang membuat Erik berulang kali menolak ku." Ucap perempuan itu.
Ingatanku langsung tertuju pada perempuan di Minimarket. Jadi ini semua tentang Erik, sehingga aku yang menjadi korbannya.
Plak Plak Plak
Tamparan keras berulang kali mendarat dipipiku, hingga membuat sudut bibirku mengeluarkan darah segar.
"Kamu itu tidak pantas bersanding dengan Erik yang sempurna. Karena hanya aku yang seharusnya menjadi pendamping hidupnya." Kata perempuan itu setelah melihat wajahku terluka disertai air mata yang menetes tanpa henti.
"Asal kamu tahu, sudah sejak lama aku mencintai Erik. Tapi tidak sekalipun dia melihat kearahku. Bahkan ketika orang tuaku mengajukan perjodohan dengannya langsung ditolak tanpa mau mengerti jika hatiku sakit." Kalimat yang keluar dari bibir merahnya, membuatku terhanyut larut dalam kesedihannya.
Aku hanya bisa diam, ingin berbicara tapi seolah kelu. Sebagai sesama wanita, aku tahu apa yang dia rasakan. Tapi haruskan dengan menculik diriku? Apakah dengan begitu Erik lantas mau dengannya? Bukankah jika seperti ini bukan lagi cinta namanya. Tapi obsesi yang menghalalkan segala cara untuk mendapatkannya.
"Tapi kenapa kamu menculik ku?" Akhirnya aku berani bertanya.
Prok prok prok
"Pertanyaan yang bagus" katanya.
"Karena aku akan menyingkirkan semua orang yang menghalangi untuk mendapatkan Erik" Lanjutnya.
"Sudah ayo kita pergi. Jangan lupa tutup kembali pintunya, dan tidak perlu diberi makan atau minum apapun. Biarkan dia mati secara perlahan." Sungguh psikopat sejati.
Setelah mengucapkan kalimat mengerikan itu, diapun berlalu menghilang dibalik pintu usang.
Dilain tempat, ada seorang pria yang sedang gelisah. Karena semua pesan dan teleponnya tidak tersambung sama sekali. Mau langsung memastikan keadaannya, tapi sudah sangat larut untuk bertamu. Akhirnya dengan perasaan tidak karuan, Erik terpaksa menunggu sampai pagi.
"Semoga tidak terjadi hal buruk pada Echa." Doa Erik sebelum menutup mata.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Alhamdulillah update.
Terima kasih teman-teman untuk dukungannya, sehingga novel pertama Othor ini lulus kontrak.
Jangan lupa untuk terus budayakan tinggalkan jejak dengan like, komen, dan share. Sehingga Othor menjadi lebih semangat melahirkan karya-karya terbaik versi Othor.
By : Erchapram