Pernikahan Raina dan Riko menjadi kacau karena kehadiran mantan kekasih Raina. Terlebih lagi, Riko yang sangat pencemburu membuat Raina tidak nyaman dan goyah. Riko melakukan apapun karena tidak ingin kehilangan istrinya. Namun, rasa cemburu yang berlebihan itu perlahan-lahan membawa bencana. Dari kehidupan yang serba ada menjadi tidak punya apa-apa. Ketakutan Riko terhadap banyak hal membuat kehidupannya menjadi konyol. Begitu pun dengan istrinya Raina, Ia mulai mempertimbangkan kelanjutan pernikahan mereka. Masa depan yang diinginkan Raina menjadi berubah.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon She Amoy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kembali Pada Realita
Beberapa hari ini, aku lebih banyak mengerjakan pekerjaan kantor di rumah. Hanya pada saat memberi pelatihan, aku pergi ke lokasi. Terkadang, pelatihan itu tidak dilaksanakan di dekat kantor. Perusahaan kami menyewa gedung atau ballroom hotel terdekat.
Sejak aku pindah ke rumah Ibu, Ria jarang berkomunikasi denganku. Dia terlihat sibuk di berbagai acara sosialita bersama teman-temannya. Aku melihatnya beberapa kali di media sosial. Jika mendengar curhatan Ria, aku merasa hidupku lebih beruntung karena tidak memiliki mertua seperti mertuanya Ria. Kapan-kapan akan kuceritakan kisan tentang mertua Ria.
"Assalaamualaikum!” Suara bariton terdengar dari pintu ruang tamu. Seperti suara Riko.
“Waalaikumsalam!” Aku membukakan pintu yang sudah terkunci sejak sore tadi. Benar saja, Riko datang dengan wajah yang sedih dan tidak biasa. Ia berdiri sendirian tanpa Eyang Putri atau Eyang Kakung.
“Raina, suami Ria … suami Ria ...” Ia lalu menangis dan memelukku.
“Kenapa Mas?” Aku tak kuasa melawan pelukannya. Aksa, Ibu, dan Arkana mendadak keluar kamar karena mendengar tangisan Riko.
“Suami Ria meninggal!”
Kami semua terkejut bukan kepalang. Usia Suami Ria masih sangat muda. Kalau tidak salah, usianya belum genap 40 tahun.
"Innalilahi wa innailaihi raajiuun." Ibu berucap dan duduk di meja makan. Ia memandang menantu lelakinya dengan tatapan bingung ..
Entah harus berbuat apa menanggapi kejadian ini.
Karena kematian dan kelahiran merupakan siklus kehidupan yang sudah disaklarkan berabad-abad, aku tidak bisa mengabaikan kejadian yang menimpa pada Ria. Tanpa terduga, Yadi—suami Ria—meninggal secara mendadak karena serangan jantung. Keluarga kecil dengan satu anak yang terlihat sangat harmonis itu, tiba-tiba menjadi tidak ideal karena kehilangan imamnya. Aku pernah merasa iri dengan keluarga kecil itu. Ria, terlepas dengan banyaknya drama, memiliki suami yang penuh perhatian dan bertanggung jawab. Bahkan, selama masa hidupnya, Yadi tidak pernah membatasi kegiatan Ria. Dengan bebas Ria seringkali berkumpul dengan teman-temannya dan pergi kesana kemari.
Tetapi Tuhan memang memberikan ujiannya masing-masing. Siapa sangka, di usianys ituu, Yadi harus menghembuskan nafas terakhirnya.
Malam itu, setelah membereskan beberapa pakaian untuk dibawa, kami semua pergi ke rumah orangtua mertua Ria di Bekasi, tepatnya di kawasan Grand Wisata. Mertua Ria merupakan keluarga terpandang yang memiliki banyak asset. Sayangnya, dari cerita yang kudengar dari Ria, ibu mertuanya itu terlalu mencintai harta sehingga tidak pernah membagikan warisan peninggalan suami kepada anak-anaknya. Tidak heran jika Yadi harus bekerja siang malam demi memenuhi kebutuhan Ria dan anak semata wayangnya yang sudah tidak terbiasa hidup susah.
Ibu dan Aksa tertidur di jok belakang, sedangkan aku dan Arkana duduk di depan mendampingi Riko yang sedang mengemudikan mobil. Sepanjang perjalanan, tidak ada yang berbicara selain celotehan Arkana. Aku sendiri sibuk memikirkan soal perceraian kami yang belum tuntas. Kebimbanganku dalam mengambil keputusan, seringkali terganggu dengan situasi yang terjadi di luar dugaan.
Suasana rumah Nenek Lisa (begitu panggilan mertua Ria) begitu ramai. Beberapa karangan bunga ucapan turut berduka cita, berjejer di depan rumah. Motor dan mobil terparkir di halaman, juga sebuah tenda didirikan persis di depan garasi. Jalanan perumahan Grand Wisata jalur tersebut ditutup malam itu.
Saat kami datang, Nenek Lisa menangis dan menghamburkan pelukannya ke tubuh Ibu lalu bergantian memelukku dan Riko. Sambil meminta maaf atas kesalahan-kesalahan Yadi, Nenek Lisa tak henti-hentinya terisak. Kami lantas mencari Ria yang kutemukan di dapur. Segera kupeluk dan kuucapakan belasungkawa. Sedangkan Eyang kakung, Eyang Putri, sudah duduk di depan jenazah sambil melantunkan ayat-ayat suci.
RBeberapa anggota keluarga dari pihak Yadi duduk di dekatku. Sesekali mereka bertanya soal Arkana dan Riko. Sedangkan, sahabat-sahabat Ria yang penampilannya seragam itu, sibuk menyiapkan minuman dan makanan untuk para tamu. Karena hari sudah semakin larut, keluarga memutuskan untuk mengubur jenazah besok pagi. Dan malam itu, menjadi malam yang sangat melelahkan bagi kami semua. Menjelang pukul satu malam, kami terpaksa menuruti ajakan Eyang untuk pulang ke Jakarta. Ke rumah dimana aku dan Riko pernah tinggal. Rumah Eyang sebenarnya.
Dengan tenang, Ibu menuntun Aksa masuk ke kamar tamu. Aku dan Arkana pun menyusul. Riko dan Eyang masuk ke kamarnya masing-masing. Sebelum tidur, aku masih bingung menyikapi peristiwa ini. Terlebih lagi, Eyang putri sempat berbisik tadi “Jangan tinggalkan Mas Riko, Eyang mohon! Kasihan Riko, kasihan juga Ria sudah nggak punya suami.”
“Bu, gimana ini? Kapan ya kita bisa pulang? Besok masih tahlilan!” Aku mengganti baju dengan daster yang sudah kumasukan ke dalam tas sebelum berangkat.
“Tenang. Besok atau lusa, kita pulang ke Bogor. Bilang aja Aksa sekolah. Kasihan kalau izin kantor lama-lama!” Ibu lalu berbalik menghadap dinding. Ia sudah terlalu lelah dan ingin segera tidur.
Kubentangkan kasur lipat di bawah ranjang yang ditiduri Ibu dan Aksa. Arkana, meski sudah dirayu-rayu ayahnya untuk tidur bersama, ia tetap saja tidak mau. Ia tetap memilih tidur dengan ibunya.
Keesokan harinya, rencanaku dengan Ibu untuk segera pulang tidak berhasil. Eyang yang sedang sibuk menyiapkan sarapan kembali memintaku untuk tinggal lebih lama karena kasihan dengan Ria. Sedangkan Ibu, diantar pulang oleh Riko karena Aksa tetap harus sekolah.
Eyang tak henti-hentinya membicarakan Yadi dengan Ria. Betapa dia sangat mengkhawatirkan anak perempuannya itu. Ditinggalkan suami di usia yang masih muda memang menyakitkan. Terlebih Ria adalah tipe ibu rumah tangga sejati. Ia sama sekali tidak memiliki pengalaman kerja sekalipun. Itulah yang membuat eyang putri khawatir. Bagaimana dengan masa depan Ria, sedangkan Eyang kakung sendiri sudah tidak mampu lagi membiayai anak-anaknya.
Ternyata, Eyang kakung dan Eyang putri juga menyadari, kalau selama ini mereka salah dalam mendidik anak-anaknya. Pola asuh yang memanjakan secara berlebihan, membuat anak-anaknya menjadi pribadi yang tidak bisa mandiri. Ria, meski berbeda karakter dengan Riko, tetap saja hidup dalam kekhawatiran dengan hal-hal yang belum terjadi. Seminggu ini, dalam setiap acara tahlilan, Ria selalu mengeluh akan masa depannya terutama soal materi. Ia sudah memikirkan biaya hidup dan sekolah anaknya nanti. Padahal, ia juga bercerita kalau tabungan dari almarhum suaminya itu masih cukup untuk biaya mereka beberapa tahun ke depan.
Karakter Ria tidak jauh berbeda dengan sifat Eyang putri. Cemas akan masa depan. Mereka seakan tidak percaya bahwa takdir Tuhan telah mengatur segala sesuatunya. Apa yang sudah mereka miliki, seolah tak boleh lepas dari genggaman. Termasuk kepemilikan pasangan.
“Na, Eyang minta sekali lagi, titip Riko dan Arkana. Kasihan Riko, ia harus dibimbing untuk mencapai kedewasaannya. Kalau kalian bercerai, siapa yang akan mengurus Riko? juga siapa yang akan mengurus rumah ini. Semua barang-barang di rumah ini buat kamu saja. Eyang sudah tidak ingin apa-apa. Sebelum Eyang mati, Eyang hanya ingin melihat anak-anak Eyang bahagia. Itu saja sudah cukup.” Eyang memaparkan keinginannya sambil sesegukan. Mertuaku ini memang mudah sekali mengeluarkan airmata.
Seharusnya, ia memikirkan kebahagiaanku juga. Ia selalu kasihan pada anak-anaknya tanpa mengasihani dan menimbang bagaimana Riko memperlakukanku. Tugas istri di rumah ini tidak jauh berbeda dengan tugas asisten rumah tangga. Ada kata ‘mengurus Riko’ pada kalimat-kalimat Eyang. Lantas, siapa yang mengurusku?
Ingin kubantah semua perkataan Eyang. Tetapi urung kulakukan. Percuma. Barangkali Eyang tidak akan menerima jika aku membeberkan semua perilaku Riko dengan rinci. Suatu kali, pernah aku mengadu kalau Riko melarangku bekerja dan bersikap posesif. Dan jawaban Eyang sama seperti ibu-ibu di luar sana yang membela anaknya.
“Ya itu namanya sayang Raina. Kalau terlalu sayang ya begitu. Di mana lagi dapat suami yang penyayang seperti Riko.” timpal eyang waktu itu.
Dalam lubuk hati terdalam, rasanya aku tidak bisa menerima jawaban tersebut. Bukankah cinta itu membebaskan. Setiap pasangan sah seharusnya sadar akan hak dan kewajiban masing-masing. Cukup sampai di situ, ada hak seorang istri untuk bahagia dan tidak dicurigai pasangannya. Hanya Eyang kakung yang berpikir rasional.
“Ya kamu bisa apa Riko? kamu tidak punya kekuatan apa-apa untuk melarang istrimu bekerja. Bukankah, ia harus membiayai Aksa dan ibunya? Kalau kamu mau ganti biayanya, baru kamu berhak melarang.”
Karena pernyataan dari Eyang kakung itulah, Riko tidak melarang pekerjaanku kali ini. Semua cerita Eyang kakung, lagi-lagi kudengar dari Ria.
Setelah berunding bersama keluarga Riko, akhirnya aku mengetahui tujuan Eyang memintaku untuk tetap bertahan mendampinginya. Rupanya, Ria ingin tinggal kembali di rumah Eyang di Jalan Siaga Jakarta. Meski mertuanya menahan untuk tetap tinggal di Bekasi, Ria bersikukuh kembali ke rumah ini. Dengan kondisi mentalnya yang belum stabil, Eyang memintaku agar tetap menemani Ria. Sebab dengan sangat jelas Ria mengatakan, tidak mau tinggal di rumah ini jika hanya dengan Riko.
.