Hampir empat tahun menjalani rumah tangga bahagia bersama Rasya Antonio, membuat Akina merasa dunianya sempurna. Ditambah lagi, pernikahan mereka langsung dianugerahi putri kembar yang sangat cantik sekaligus menggemaskan.
Namun, fakta bahwa dirinya justru merupakan istri kedua dari Rasya, menjadi awal mula kewarasan Akina mengalami guncangan. Ternyata Akina sengaja dijadikan istri pancingan, agar Irene—istri pertama Rasya dan selama ini Akina ketahui sebagai kakak kesayangan Rasya, hamil.
Sempat berpikir itu menjadi luka terdalamnya, nyatanya kehamilan Irene membuat Rasya berubah total kepada Akina dan putri kembar mereka. Rasya bahkan tetap menceraikan Akina, meski Akina tengah berbadan dua. Hal tersebut Rasya lakukan karena Irene selalu sedih di setiap Irene ingat ada Akina dan anak-anaknya, dalam rumah tangga mereka.
Seolah Tuhan mengutuk perbuatan Rasya dan Irene, keduanya mengalami kecelakaan lalu lintas ketika Irene hamil besar. Anak yang Irene lahirkan cacat, sementara rahim Irene juga harus diangkat. Di saat itu juga akhirnya Rasya merasakan apa itu penyesalan. Rasya kembali menginginkan istri dan anak-anak yang telah ia buang.
Masalahnya, benarkah semudah itu membuat mereka mau menerima Rasya? Karena Rasya bahkan memilih menutup mata, ketika si kembar nyaris meregang nyawa, dan sangat membutuhkan darah Rasya. Bagaimana jika Akina dan anak-anaknya justru sudah menemukan pengganti Rasya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rositi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
27. Teramini
“Itu anak kita. Anak yang kamu lahirkan. Anak yang sudah kamu sia-siakan sejak dalam kandungan kamu. Karena andai kamu mengikuti arahan tim dokter ....” Hati Rasya kembali hancur di setiap dirinya membahas alasan putrinya harus mengalami kelainan. Kelainan yang tidak bisa disembuhkan.
Hidrosefalus merupakan kondisi yang tidak dapat disembuhkan. Kendati demikian, masih ada perawatan yang memungkinkan pengidapnya hidup normal dengan kondisi tersebut. Namun, sebagai orang tua yang sebelumnya baru saja kehilangan anak laki-lakinya. Bahkan Rasya rela menikah lagi, demi bisa mendapatkan anak. Pernikahan yang juga merusak kehidupan banyak pihak. Bukan hanya kehidupan Akina dan anak-anak mereka maupun keluarga besar. Namun juga Irene sendiri.
Kesedihan dan juga luka-luka yang sebisa mungkin Rasya tahan, pada akhirnya pecah—meluap. Rasya yang awalnya berdiri tegar, berangsur menggunakan kedua tangannya untuk menutupi wajah. Ia terduduk di lantai, meraung-raung meluapkan semua kehancurannya lewat tangis sekaligus air matanya.
“Ihhhh!” Irene merinding, ngeri, bahkan jijik kepada bayi kelainan di hadapannya. Dalam hatinya.ia berkata, sudah kepalanya besar, tubuh kurus hanya tulang, bibir pun sumbing! Hingga dengan tegas ia berkata, bahwa bayi yang diemban oleh seorang suster, bukan bayi yang ia lahirkan.
“Itu pasti bukan anak saya, Sus! Mana mungkin saya melahirkan bayi monster seperti itu!” tegas Irene. “Cepat singkirkan dia dari hadapan saya. Mual saya lihatnya! Uuweee!”
Sebagai seorang suster yang paham kasus bayi Irene, wanita tersebut merasa sangat sakit hati dengan cara Irene bersikap. Irene tak segan berkata dengan lantang. Bahkan andai Irene halu, bahwa bayi perempuan tersebut bukan bayinya. Minimal, harusnya sebagai seorang ibu yang tahu rasanya sulit untuk sekadar hamil. Harusnya Irene lebih bisa mikir—jaga sikap. Kecuali jika memang Irene ternyata sakit mental bahkan jiwa. Karenanya, ketika Rasya langsung membentak Irene tak lama setelah Irene mencaci sang putri, suster tersebut merasa sangat puas.
“KAMU MEMANG BUKAN MAMANYA. KARENA WANITA SEPERTI KAMU TIDAK PANTAS DISEBUT MAMA! WANITA SEPERTI KAMU TIDAK PANTAS MENJADI MAMA!” Rasya masih meledak-ledak.
“MAKANYA, ALLAH saja murka dan sengaja mengangkat rahimmu! Karena Allah pasti sudah tidak percaya ke kamu. Karena Allah tahu, sampai kapan pun, meski untuk seorang bayi saja kita butuh waktu sangat lama dalam menghadirkannya. Bahkan untuk seorang bayi saja kita sampai menghancurkan banyak kehidupan ...!” Rasya menggeleng tak habis pikir menatap Irene yang terdiam menatapnya sambil berlinang air mata.
“Kurang apa aku ke kamu, Ren? Kamu minta bahkan paksa aku menikah lagi, oke. Aku jalani. Kamu bilang, Akina dan anak-anaknya selalu bikin kamu sedih sejak kamu hamil, aku dengan segera langsung membuang mereka. AKU BAHKAN KEHILANGAN ANAK LAKI-LAKIKU.”
“Namun kamu, yang sudah bikin kita melangkah sejauh ini. Apa susahnya dirundingin kalau memang ada masalah? Aku bahkan selalu berusaha siaga selama 24 jam hanya agar kamu nyaman menjalani kehamilan kamu!”
“Jadi buat apa, sekadar ke mana-mana, kita sampai diikuti seorang fotografer buat mengabadikan kebersamaan kita selagi kamu hamil!” Rasya merasa sangat putus asa. Rasya merasa frustrasi. Belum kering lukanya akibat kehilangan putra yang ia nanti-nanti. Kini, ia harus menerima kenyataan, putrinya tak bisa seperti anak-anak normal, apalagi seperti Aqilla dan Asyilla yang sangat aktif. Fatalnya, kedua putrinya yang sangat aktif ini, malah melupakannya. Luka mana yang tidak sempurna dan tengah Rasya rasa?
“Ini pasti mimpi ... masa iya, semua yang dokter katakan benar? Ayolah, ... aku bahkan rela membiarkan Rasya menikahi wanita lain. Aku rela membiarkan Rasya menjalani pernikahan bahagia bersama keluarga kecilnya. Rasanya sungguh sakit, setiap waktu yang kulalui terus saja berusaha membunu.hku. Aku yang pertama, tapi aku juga yang tersisih. Karena dua puluh empat jam waktu yang Rasya miliki, nyaris Rasya habiskan hanya dengan Akina dan anak-anaknya. Sementara tadi, Rasya juga sampai bilang, bahwa rahimku ... rahimku diangkat? Sebenarnya apa yang terjadi?” batin Irene benar-benar bingung. Irene terlalu syok dengan tanggapan sang suami yang langsung mengabarkan banyak duka kepadanya.
Namun ketika Irene mencoba menghubungi ibu Ismi dan juga mama Itha, keduanya mendadak sulit dihubungi.
“Ini mama pada kenapa? Rasya ngamuk, aku enggak tahu apa-apa. Lagi-lagi, aku harus berjuang sendiri,” batin Irene yang sudah hanya tinggal sendiri di dalam ruang rawat inapnya.
“Masa iya itu anakku?”
“Bahkan rahimku sampai diangkat?”
“Ini enggak adil banget,” lirih Irene untuk ke sekian kalinya. Ia terdiam lemas, tapi mendadak merasa tertampar karena akhirnya dirinya ingat rencana bus—suknya kepada Akina. Membuat ketiganya kecelakaan mobil. Membuat ketiganya meregang nyawa atau setidaknya cac—at karena kecelakaan tersebut. Bahkan, Irene masih amat sangat ingat kata-katanya, ketika memberi pembunuh pembayaran suruhannya, arahan.
“Minimal buat Akina dan anak-anaknya cacat, Ma! Agar aku terbebas dari sumpah serapah buruk mereka lagi. Namun andai mereka enggak bisa dibuat cacat, ... ya sudah dibuat mati semuanya saja. Atau, hanya anak-anaknya saja yang celaka agar Akina gilla!” ucap Irene berbisik-bisik melalui sambungan telepon. “Bilang ke papa, cari pembunuh bayaran yang memang andal. Buat kejadiannya seolah mereka hanya kecelakaan!”
“Lukai mental Akina dan biarkan dia gila!”
Iya, Irene masih sangat ingat ucapan tersebut. Ucapan yang membuatnya tertampar hingga tersedu-sedu sendiri. “Teramini, tapi ... aku yang mengalami?” pikir Irene masih kesulitan menyudahi tangisnya yang sampai tersedu-sedu.
Irene rasa, luka bekas operasi sesarnya langsung terasa sangat sakit akibat tangisnya. Selain itu, jalan lahirnya juga terasa sangat sakit. Dan itu belum dengan luka dari kecelakaan kemarin.
“Sakit banget ya ampun ... dan lagi-lagi, aku harus berjuang sendiri!” batin Irene masih tersedu-sedu. Ia kembali menelepon sang mama, dan untungnya, kali ini langsung dijawab.
“M–Ma ....”
“Rasya sudah cerita semuanya?” tanya mama Itha dari seberang sana.
Irene refleks mengangguk-angguk.
“Lalu, ... bagaimana?” lanjut ibu Itha terdengar sengaja langsung menagih.
Irene yang memang tidak paham dengan maksud sang mama, refleks mengernyit. “Bagaimana, maksud Mama, apa?”
“Kamu mau sewa orang buat urus dia di luar rumah kita. Atau, ... langsung buang saja ke panti asuhan?” ucap mama Itha terdengar sangat kejam bahkan di telinga Irene yang menjadi lawan bicaranya.
Sungguh, semua doa tidak baik bahkan buruk level fatal Irene untuk Akina, memang diamini. Semua doa itu teramini, meski yang merasakannya justru Irene sendiri.
Kini, bersama ponsel maupun air matanya yang jatuh, jantung Irene juga seolah jatuh. Irene mendadak sangat pusing. Irene jatuh pingsan, tapi kali ini benar-benar tak ada yang peduli lagi.