Seorang pria muda yang sedang menunggu interview dan seraya menunggu panggilan, dia memilih meluangkan waktunya untuk menjadi driver ojek online, tapi pria yang bernama Junaidi ini cukup apes dan apesnya ini bukan hanya sekali dua kali, tapi berkali-kali.
Singkatnya, pada malam itu pria muda tersebut tengah terburu-buru untuk mengantarkan pesanannya, tanpa sengaja, dia menyerempet nenek tua yang sedang menyebrang jalan.
Bukannya menolong, dia justru acuh tak acuh dengan alasan takut diberi bintang satu jika terlambat datang.
Namun, siapa sangka kalau nenek yang dia serempet bukanlah sembarang nenek dan setelah malam itu, mata batinnya terbuka. Inilah KUTUKAN SEMBILAN PULUH SEMBILAN HARI yang harus Junaidi terima.
Cerita ini merupakan karya fiksi murni. Nama tempat, kejadian dan karakter yang disebutkan tidak memiliki koneksi dengan kenyataan dan hanya untuk tujuan kreatif semata ditulis oleh Tsaniova.
Jam Update pukul 9.00 pagi dan malam pukul 19.00 wib
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tsaniova, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kamu Bukan Hana!
Mengetahui dirinya dikurung membuat Hana murka, gadis itu menggedor pintu dengan kencang dan kuat-kuat seolah tenaganya tak pernah habis.
"Buka!" Hana menggeram, menukar tubuhnya dengan gadis ini adalah impiannya, dia ingin menjalani hari sebagai manusia, dirawat ibunya dan merasa dicintai seperti apa yang Hana rasakan selama ini.
Namun, apa jadinya kalau Hana dikurung di dalam kamar.
"Arrrrggggghh, buka!" Hana menggeram lagi dan masih terus menggedor pintu sesekali seperti ingin mengangkat pintu itu sampai lepas.
Sementara itu, Marni yang berdiri di depan pintu memeluk tangannya, perasaannya jangan ditanya lagi, wanita berdaster pendek selutut itu menangis sesenggukan, menangis karena takut dan mengkhawatirkan sang putri.
Bruk! Marni yang tak berdaya jatuh, dia berlutut di depan kamar itu seraya memanggil putrinya. "Hana!" serunya dengan sesenggukan.
Deg!
Hana yang berada di bawah pohon dekat sekolahnya itu membuka mata, seketika teringat dengan ibunya. "Ibu," rintih Hana seraya menitikkan air mata.
Melihat banyak orang yang terlihat aneh berlalu-lalang membuat Hana kembali menunduk. "Percuma juga aku jalan lagi, ujung-ujungnya balik ke sini, lagi" gumam Hana dalam hati.
Malam terasa amat panjang bagi mereka yang sedang gelisah. Junaidi yang duduk di kursinya berulang kali melihat jam tangannya dan sekarang masih jam tiga dini hari.
Penasaran dengan kabar orang rumah, Junaidi pun menghubungi ibunya. "Jun, udah sampai mana? Ibu terpaksa ngurung Hana di kamar, Jun. Itu juga dia teriak terus," jelas Marni.
"Iya, Bu. Agak siang Junaidi baru sampai rumah, sabar ya, Bu," tuturnya.
"Bu, coba deh bacain ayat kursi," usul Junaidi dan Marni pun mengiyakan, sekarang mereka menyudahi panggilannya.
Marni yang masih berjaga di depan pintu mulai membaca ayat kursi, tapi yang terjadi adalah, Hana ikut membacanya sampai selesai.
Deg! "Dia malah ikutan ngaji," gumam Marni yang semakin gemetar.
"Bu, mau dibantuin lagi, nggak?" tanya Hana dengan suara lembut, halus dan terasa amat dingin.
Sungguh, suasana malam menjelang subuh ini terasa amat menegangkan, sunyi sepi dan dingin menyeruak membuat Marni mengusap lengannya yang terasa amat dingin.
Merasa lelah dan mengantuk, Marni yang duduk di kursi ruang tengah itu tanpa sadar memejamkan matanya.
Lalu, suara kokok ayam tetangga membangunkannya, Marni yang melihat pintu kamar Hana masih tertutup pun mendesah, dia tak membayangkan bagaimana perasaan putrinya yang dia kurung semalaman ini.
"Tapi, tatapan mata sama tingkah lakunya aneh, itu yang bikin aku takut," gumamnya seraya bangun dari duduk, dia memasang telinganya di daun pintu, niat hati ingin menguping tapi tak mendengar ada tanda pergerakan dari Hana, Marni yang penasaran pun mengintip dari lubang kunci dan terlihat cahaya dari dalam yang berasal dari jendela yang terbuka lebar.
"Astagfirullah, Hana kabur?" tanya Marni seraya membuka pintu kamar itu dengan buru-buru dan Hana benar-benar tidak ada di kamarnya.
"Hana!" teriak Marni seraya melongok ke jendela, wanita paruh baya tersebut menangisinya.
Sekarang, Marni keluar, dia ingin meminta pertolongan dari tetangganya. "Bu Mar, kenapa?" tanya tetangga dekat Marni saat mendapati wanita tersebut menghampirinya dengan menangis.
"Hana, Bu. Hana," jawab Marni seraya mengusap air matanya.
"Lho, kenapa sama Hana? Bukannya dia udah berangkat sekolah, saya tadi liat dia berangkat, jalan kaki." Tetangga tersebut menjelaskan. Seketika, Marni terdiam, dia pun pergi untuk mencari Hana ke sekolah.
Sementara itu, Hana yang sedang memperhatikan orang-orang sangat sibuk dengan dunianya itu terasa lesu, kenapa tidak ada satupun orang melihatnya, jangankan melihat, mendengar seruannya pun tidak.
Sekarang, Hana melihat dua temannya seperti melihat secercah harapan. Dia pun berdiri dan berteriak. "Riri!" teriak Hana sekuat tenaga seraya mengulurkan tangannya ingin menggapai mereka. Tapi, Riri yang berjalan bergandengan tangan dengan Sita itu tak mendengarnya membuat Hana merasa sedih, terlebih lagi di depan mereka ada dirinya.
Hana pun memperhatikan dirinya dari ujung kaki sampai ke ujung tangannya, lalu meraba wajahnya yang terlihat pucat. "Jangan-jangan aku udah mati?" tanyanya pada diri sendiri.
Tak tau harus berbuat apalagi membuat Hana hanya bisa duduk, menekuk lututnya dan menundukkan kepalanya, gadis malang tersebut kembali terisak seorang diri.
****
Hari senin dimana seperti biasa anak-anak sedang melaksanakan tugas upacara di halaman sekolah. Yang berbeda adalah Hana yang tak mau keluar dari kelas. "Mungkin dia lagi kurang sehat, Ri," ucap Sita dengan bisik-bisik seraya melirik yang sedang mereka bicarakan.
Riri pun menggandeng Sita, mereka segera keluar dari kelas meninggalkan Hana yang tak berhenti merias dirinya.
Singkat cerita, Junaidi sudah sampai di rumah, dia mencari-cari ibu dan adiknya. "Bu! Hana!" serunya seraya mengetuk pintu rumahnya yang sederhana.
Puk! Marni menepuk bahu kanan Junaidi membuat pria itu sedikit berjingkat, dia pun menoleh, lalu menghela nafas dalam, mengusap dadanya. "Pyuuuhh, Bu. Kaget aku," desisnya.
"Ayo, masuk!" ajak Marni dan Junaidi pun mengekori, dia bertanya dimana adiknya berada.
"Dia sekolah," jawab Marni seraya mengambilkan teh hangat untuk sang putra yang baru saja tiba.
"Sekolah? Bukannya dia kurang sehat, Bu?" tukasnya seraya menatap Marni yang menyajikan teh hangat tersebut ke meja ruang tengah.
"Kalau Hana baik-baik aja, seharusnya hari ini Juna ada panggilan kerja, Bu," sambungnya seraya menyeruput tehnya.
"Semalam, Ibu baca ayat kursi, kirain dia kesurupan kan harusnya kepanasan, tapi dia ikut baca sampai selesai, Jun? Nggak terjadi apa-apa," tutur Marni seraya menatap Junaidi yang nampaknya sedang berpikir.
Tidak lama kemudian, Hana datang dengan diantar dua sahabatnya. "Assalamu'alaikum," seru mereka di depan pintu.
"Waalaikumsalam," sahut Junaidi dan Marni seraya bangun dari duduk, mereka keluar dan melihat putrinya yang nampak menor.
"Astaghfirullah," ucap Junaidi seraya menggeleng, dia melihat sosok menyeramkan di depannya, rambut kusut mengembang, lingkar mata yang menghitam dan berpakaian serba hitam.
"Kamu bukan Hana, dimana adikku, hah!" sergah pria itu seraya menunjuk wajah dia yang menyerupai adiknya dan yang ditanya hanya melengos, dia melihat kanan dan kirinya seolah sedang mencari sesuatu.
"Aku Hana," jawabnya kemudian tak tertinggal tertawa dengan suara khasnya. "Hihihiii."
Mendengar perkataan Junaidi dan tawa Hana membuat Riri dan Sita saling menatap. "Kayanya Hana kesurupan, deh. Kemarin di Batu juga dia makan daun kering," bisik Sita pada Riri dan Riri pun menimpali.
"Mending makan daun, aku liat dia makan cacing, coo!" jawab Riri dengan mata yang membulat dan Marni mendengarnya, dia merasa terpukul, lemas dan hampir terjatuh. Lalu, dua gadis itu pun segera menopangnya, dia membantunya untuk duduk di kursi teras.
Sementara Hana, dia berjalan masuk ke rumah dengan langkah yang terasa amat ringan, dia sedikit meloncat-loncat seraya memainkan ujung rambutnya dengan centil.
Junaidi masih memperhatikannya dari belakang, dia sendiri merasa ngeri melihat sosok yang menyerupai adiknya itu.
"Jun, apa maksudmu dia bukan Hana?" tanya Marni dengan lirihnya, Junaidi yang masih berdiri di pintu itu menoleh, pria tinggi tegap masih dengan jaket ojek onlinenya itu mengabaikan pertanyaan ibunya, dia menyusul masuk.
Junaidi mengetuk pintu kamar Hana. Junaidi yang berdiri di depan pintu itu memejamkan matanya, yakinkah dia bisa melawan sosok tersebut?