Mimpi Aqila hanya satu, mendapat kasih sayang keluarganya. Tak ada yang spesial dari dirinya, bahkan orang yang ia sukai terang-terangan memilih adiknya
Pertemuannya tanpa disengaja dengan badboy kampus perlahan memberi warna di hidupnya, dia Naufal Pradana Al-Ghazali laki-laki yang berjanji menjadi pelangi untuknya setelah badai pergi
Namun, siapa yang tau Aqila sigadis periang yang selalu memberikan senyum berbalut luka ternyata mengidap penyakit yang mengancam nyawanya
.
"Naufal itu seperti pelangi dalam hidup Aqila, persis seperti pelangi yang penuh warna dan hanya sebentar, karena besok mungkin Aqila udah pergi"
~~ Aqila Valisha Bramadja
.
.
Jangan lupa like, komen, gift, dan vote...🙏⚘😘
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mukarromah Isn., isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Terasa Asing
Pagi itu menjadi pagi yang berbeda sekaligus terasa asing untuk Aqila, hal ini karena sikap keluarganya yang tiba-tiba berubah setelah kejadian semalam, malam itu Aqila memilih langsung pulang setelah infusnya habis dengan alasan kuliah dan tidak ingin berada lebih lama dirumah sakit
Suasana meja makan kini lebih hangat dan ia merasa lebih diperhatikan oleh keluarganya, seperti saat saudaranya bertanya dengan lembut ingin sarapan dengan apa, ayahnya yang lebih sering mengajaknyamengobrol tentang kampus, ibunya yang selalu mengingatkan untuk istirahat, itu adalah mimpi Aqila, tapi kenapa? Kenapa ia sangat merasa asing dengan keadaan seperti ini
Hatinya seolah sudah terbiasa dengan perilaku mereka yang sebelumnya, hatinya sudah kebal dengan sikap acuh atau dingin mereka, hingga saat tiba-tiba semuanya berubah, ia malah tak terbiasa padahal dari awal ini adalah yang dia inginkan
"Aqila berangkat ke kampus" Aqila berdiri dari kursi dan meraih tasnya
"Ayo kakak anterin" Darren yang duduk disebelahnya ikut berdiri
"Nggak perlu, Aqila bisa naik motor sendiri"
"Tapi motor kamu masih ketinggalan di perusahaan papa" Aqila menepuk jidat, lupa dengan kejadian kemarin, ia malah meninggalkan motornya begitu saja
"Aqila telpon Renata aja" Aqila mengeluarkan ponselnya dari dalam tas hendak menghubungi sahabatnya namun tangannya terlebih dahulu ditarik oleh Darren
"Jangan ngeyel, ayo kakak anter"
Aqila hanya mengangguk pasrah saja, ia mencium tangan mereka satu persatu dan mengucap salam, suatu kebiasaan yang membuatnya berbeda dari saudaranya yang lain
"Ayo masuk" Darren membuka pintu mobilnya mempersilahkan Aqila masuk, namun Aqila terlihat seperti enggan
"Kak Darren nggak akan nurunin Aqila di tengah jalan lagi kan?" tanyanya dengan suara pelan yang malah menusuk hati Darren
"Nggak akan kok, kakak janji" Darren mengacungkan kelingkingnya, sama persis seperti apa yang mereka lakukan ketika kecil
Akhirnya Aqila mengangguk percaya dan masuk kedalam mobil
Drettt
Ponsel Darren bergetar, dilihatnya nama si pemanggil Reyna, adiknya yang sedang menginap dirumah teman karena harus mengerjakan tugas kampus
"Halo Rey"
"Halo Kak Darren, minto tolong bisa jemput Reyna nggak?"
"Kak Vano sama Kak Rian ada, suruh mereka aja atau ada Galang kan?"
"Mereka katanya udah berangkat ke kantor papa kalau Galang udah dikampus"
"Yaudah tunggu kakak sebentar, kakak harus nganterin Aqila dulu ke kampus"
"Cepetan kak"
"Iya"
Darren mematikan hpnya dengan menarik nafas panjang, jarak dari kampus kerumah teman Reyna bukan jarak yang terbilang dekat
"Kak Darren jemput Reyna aja, turunin Aqila di sini, nanti Aqila jalan kaki, kampusnya udah deket"
"Nggak bisa, kakak sudah janji nganterin kamu sampai kampus"
"Tapi Reyna kasian nunggu sendirian disana, lebih baik kakak jemput dia aja, jaraknya juga jauhkan?" Bagaimanapun Aqila tau posisinya seperti apa, ia mengerti seberapa besar kasih sayang kakak-kakaknya untuk Reyna
"Kakak udah janji sama kamu, buat nganter sampai kampus"
"Lupain aja janji itu, kalau Reyna kenapa-napa nanti bahaya, turunin aja aku disini, nanti aku nelpon Renata buat jemput" ucap Aqila dengan tersenyum meyakinkan
Darren dilingkupi rasa bimbang, ia takut terjadi apa-apa kalau ia lebih lama menjemput Reyna, tapi janjinya pada Aqila juga bukan sesuatu yang bisa ditepati begitu saja
"Didepan macet banget tuh, kakak turunin aja Aqila disini" memang jam-jam seperti ini adalah jam orang berangkat kerja dan anak-anak ke sekolah, jadi wajar kalau macet
"Oke, tapi hati-hati" Darren akhirnya menyerah membuat Aqila tersenyum
"Lain kali jangan merasa bersalah karena berjanji pada Aqila, Aqila udah biasa dengan janji bohong kalian sejak kecil, Aqila udah biasa ngalah untuk kalian, jadi jangan merasa bersalah" ucap Aqila tersenyum tapi matanya menyiratkan hal lain, ia membuka sabuk pengaman dan keluar dari mobil
Darren tersentak mendengar ucapan Aqila, lagi-lagi ia tak bisa menepati janji yang kesekian kali untuk Aqila
Sementara itu, Aqila berjalan menuju kampus yang kira-kira menghabiskan waktu lima menit lagi, namun seseorang yang sangat dikenalnya duduk ditaman dan terlihat menangis dari pundaknya yang bergetar
"Renata" Aqila memegang bahu orang itu yang ternyata memang benar Renata sahabatnya
"Lo kenapa?" bukannya menjawab pertanyaan Aqila, Renata malah berdiri dan hendak melangkah pergi namun tangannya justru ditarik oleh Aqila
"Lo kenapa?" Aqila mengulangi pertanyaannya
"Kenapa gue harus ngasih tau lo, lo siapa buat gue?"
"Apa maksud lo ngomong gitu? Lo sahabat gue, udah gue anggep kayak saudara sendiri"
"Mana ada sahabat yang nyakitin hati sahabatnya"
"Gue nyakitin hati lo? Kapan?" Renata hanya diam menanggapi pertanyaan Aqila
"Oke, kalau emang pernah salah gue minta maaf sama lo" ucap Aqila menangkupkan tangannya didepan dada
"Lo bersalah banget Aqila, kenapa lo nggak cerita? Kenapa lo nggak ngasih tau gue tentang penyakit lo? Apa lo masih nganggep gue sahabat?" Renata mengguncang lengan sahabatnya, membuat Aqila merasa bersalah
"Maaf"
"Gue sebenernya mau ngasih tau lo hari ini"
"Kalau bukan sepupu lo yang ngasih tau, gue mungkin nggak bakal bisa tau"
"Maaf"
Renata memeluk erat tubuh Aqila dan menumpahjan tangis dipundak sahabatnya
"Jangan pergi, jangan tinggalin gue"
"Renata, hidup dan mati kita itu ditangan Allah, ia sudah menjadi takdir manusia yang tidak bisa diubah"
"Tetep aja lo jangan nyerah, lo harus punya semangat buat sembuh" Aqila tersenyum dan mengangguk
Angin berhembus menggoyangkan dedaunan pohon, suara gemercik air dari kolam yang dibangun ditaman begitu menenangkan, ditambah sinar matahari yang tertutup pepohonan rindang membuat suasana kian nyaman
Tak banyak orang ditaman itu, karena masih pagi dan ini hari kerja bukan hari libur, mobil yang melintas di jalan raya pun sudah tak sebanyak pagi tadi
"Kita beneran bolos sekarang?" Aqila melirik jam dipergelangan tangannya yang sudah lewat dari jam yang dikatakan dosen
"Lagian sekarang pelajaran Pak Jamal, pasti cuma ngasih tugas habis itu keluar kelas" jawab Renata santai dan Aqila hanya bisa mengangguk, bagaimanapun juga ia sebagai mahasiswa teladan tidak pernah bolos seperti sekarang
"Terus reaksi keluarga lo gimana? Mereka peduli?"
"Ya begitulah, gue ngerasa asing sama sikap mereka yang sekarang, seolah hati gue udah terbiasa sama sikap mereka yang dulu" Aqila menjawab pertanyaan Renata dengan pandangan lurus kedepan melihat air dari kolam yang mulai penuh dan memabasahi rumput disekitarnya
"Selain itu, hati gue bilang kalau sikap mereka lebih terlihat sebagai sikap kasian bukan peduli"
"Mereka kasian sama gue yang sakit, mereka kasian liat rambut gue rontok, mereka kasian liat gue mimisan"
"Mereka bilang kamu harus punya semangat buat sembuh, tapi kenapa gue malah ingin cepet pergi denger mereka ngomong gitu" Aqila terkekeh mengatakan itu
"Lo jangan ngomong gitu" Renata mengguncang lengan Aqila tak suka mendengar ucapan sahabatnya
"Andaikan kalau gue nggak sakit? sikap mereka pasti masih sama"