Hanna Mahira adalah seorang wanita berumur 27 tahun. Dia bekerja sebagai karyawan staff keuangan pada sebuah cabang dari perusahaan ternama. Anna panggilannya, menjadi tulang punggung keluarga. Setelah ayahnya meninggal dunia, semua kebutuhan hidup ada di pundaknya.
Dia memiliki adik perempuan yang sekolah dengan biaya yang di tanggungnya.
Anna mencintai atasannya secara diam-diam. Siapa sangka jika sang atasan mengajaknya menikah. Anna seperti mendapatkan keberuntungan, tentu saja dia langsung menerima lamaran sang bos tersebut.
Namun, di hari pertamanya menjadi seorang istri dari seorang David Arion Syahreza membawanya pada lubang kedukaan.
Sebab di hari pertamanya menjadi seorang istri terungkap fakta yang amat menyakitkan. Bahwa David sang suami yang sangat Anna cintai mengatakan bahwa pernikahan ini adalah kesalahan terbesar yang dia lakukan.
Ada apa sebenarnya?
Anna berusaha menyingkap tabir rahasia David dan berusaha tegar atas pernikahan tersebut.
Baca kisahnya dan temani Anna mengungkap rahasia besar David
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon IkeFrenhas, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 27
Akhir pekan itu akhirnya tiba. Pak Adrian telah menungguku di depan gerbang.
Sebenarnya, ini adalah pertama kalinya aku pergi berdua saja ke luar, yang entah mau ke mana.
Karena selama menikah pun, aku tak pernah pergi selain kantor dan sesekali ke rumah mama.
Bang David sedang pergi. Dan seperti biasa, aku tidak tahu pasti dia ke mana.
Ah, dia mengatakan akan melihat kantor cabangnya. Itu saja.
Hari ini, aku mengenakan celana jeans, dan kaos panjang. Itu saja. Karena memang, tidak memiliki pakaian yang layak untuk sekedar pergi bersantai atau kencan. Ck. Lupakan soal kencan. Aku pasti tidak akan pernah merasakannya.
Baiklah ... mari kita pergi, Pak. Terserah bapak kita mau ke mana. Walaupun aku sangat penasaran.
"Hai, kamu cantik hari ini." Pak Adrian membukakan pintu untukku. Manisnya.
Apakah dia memang seperti itu, memperlakukan semua wanita dengan manis. Maksudku, setia wanita yang dekat dengannya akan diperlakukan hal yang sama.
Dipuji pada hal-hal terkecilnya. Disiapkan kursinya untuk duduk, membukakan pintu, membelai kepala. Dan ... ya, sampai memasangkan sabuk pengaman seperti saat ini.
Aku yakin, wajahku telah bersemu merah. Terlebih saat parfum khasnya ini menghidu dalam penciumanku. Rasanya, ada yang menggelitik di sana.
Aku tidak tahu, ini perasaan apa yang muncul untuknya. Tapi ... aku nyaman saat bersamanya.
Seharusnya, aku tidak bisa menyimpulkan dengan mudah apa yang aku rasakan ini. Namun, tentu saja aku harus jujur pada diriku sendiri.
Aku nyaman.
Ck. Apakah aku wanita gampangan?
Gampang digoda, didekati, dilamar, dinikahi lalu mudah dicampakkan?
"Hei, melamun?" Sentuhan di kepalaku menyadarkan diri dari lamunan.
Tidak sopan. Saat tengah bersamanya aku malah keasyikan melamun, meratapi diri yang sering kurang beruntung.
Bukankah seharusnya aku menikmati hari ini?
Aku memicingkan mata, melihat ke depan. Lampu merah, ya ....
"Eh, enggak, Pak."
Tangan, tolong ... dikondisikan, Pak. Aku bisa kepanasan, kalau bapak membelai rambutku dengan lembut begini.
"Kita, mau ke mana, Pak?" Aku menoleh, menatapnya. Tatapan itu selalu teduh menghangatkan.
"Ke mana, ya ...? Aku juga bingung. Semua rencanaku seolah hilang setelah melihatmu. Seharusnya ... aku mencatatnya di kertas tadi." Pak Adrian menyeringai, tatapannya kembali fokus pada kemudi.
"Yah, Bapak ... ini kota Jakarta. Saya enggak tahu harus ke mana. Kalau kita di Malang, saya ajak Bapak keliling," ucapku asal.
"Benarkah?" Pak Adrian sekilas melirik padaku. Kemudian mengulum senyum.
"Iya, dong." Aku mengangguk mantap.
Aku akan mengajak lelaki di sampingku ini keliling, ke manapun yang dia mau. Di kota Jakarta ini, aku belum pernah kemana pun. Aku juga sepertinya tidak tertarik ke mana-mana.
Aku tersenyum, membayangkan nasibku. Lebih tepatnya, menertawakan diri sendiri.
"Kalau begitu, ayo ke Malang!" Seru pak Adrian riang. Lantas, dia melakukan mobilnya lebih cepat.
"Ha? Serius?" tanyaku tak percaya.
Ini ide gila. Benar-benar gila. Ke Malang, mendadak tanpa persiapan apapun. Apalagi aku pergi sama dia ....
Lelaki itu mengangguk, tanpa menoleh. Dia terus melajukan mobilnya. Membelah jalanan kota ini yang selalu ramai.
"Tapi ...." Aku menunduk, jika di sana --
"Kita harus cepat, nanti terlambat. Ayo ...!"
Ya Ampuun! Lelaki ini bersemangat sekali. "Apakah tidak apa-apa, ke sana sekarang? Maksudku ---"
Aku takut, entah kenapa aku jadi takut ke sana sekarang. Aku merasa ... tidak siap.
"Tenang, ada aku. Besok kita kembali ke Jakarta. Ingat janjimu. Ajak aku ke manapun, keliling."
Dia, kenapa dia yang selalu bisa membuatku nyaman?
Kemudian aku membisu. Memalingkan wajah ke jendela melihat padatnya bangunan-bangunan.
Mobil sampai di parkiran bandara. Gila! Pak Adrian benar-benar mengajakku ke Malang.
Kami turun dari mobil. Pak Adrian menggandengku. Takut hilang katanya. Ada-ada saja. Enggak mungkin hilanglah.
Genggaman tangan kami begitu erat. Dia sama sekali tidak melepasku. Bahkan saat aku beralasan ingin ke toilet, dia mengantarku.
Ck. Memalukan sekali.
Adakah yang lebih istimewa dari ini? Saat aku keluar dari toilet wanita, ada seseorang yang menungguku di pintu ke luar.
Hanya dengan perlakuan kecil ini saja, hatiku menghangat. Aku mudah sekali di rayu, bukan?
Senyum mengembang menyambut kedatanganku. Seperti tadi, pak Adrian menggandeng tanganku, menggenggam erat seperti tak ingin terlepas.
"Tiketnya, gimana, Pak?"
"Beres."
Lelaki itu tersenyum, merangkul bahuku. Kami menuju tempat tunggu.
Tidak lama kemudian, panggilan suara menandakan pesawat kami akan berangkat.
Aku seperti orang linglung, yang mengikuti apa saja instruksi pak Adrian.
Tanpa membantah, aku mengikutinya begitu saja.
Memasuki pesawat, mencari tempat duduk. Tentu saja kami duduk bersisian.
Kenapa rasanya, semua ini telah direncanakan pak Adrian, ya?
"Tenanglah ... ada aku," bisik apk Adrian tepat di telinga. Hembusan napasnya membuat desiran aneh mengalir di sekujur tubuh.
Kami duduk dalam diam, menikmati perjalanan ini. Pikiranku masih sibuk mengembara entah ke mana. Aku tidak bisa lagi berpikir normal sekarang. Semuanya, lelaki di sampingku ini yang mengaturnya.
Dulu, saat aku pergi untuk pertama kalinya ke meninggalkan Kota Malang, tentu dengan perasaan bahagia.
Berstatus pengantin baru, aku adalah istri dari seseorang yang aku cintai. Adakah kebahagiaan yang melebihi itu?
Hidup bersama seseorang yang dicintai dan berpikir jika orang itu juga mencintaimu?
Nyatanya semua anganku hanya sebentar saja. Tidak bertahan lama, hingga semua kenyataan pahit tercetak jelas di depan mata.
Semua indera merasakan sakitnya. Sampai aku merasa Tuhan tidak adil padaku.
Aku tetap bertahan dengan kesakitan itu, demi cita-cita yang belum terselesaikan.
Alina harus tetap kuliah. Untuk itu pulalah aku bekerja. Sampai aku bertemu dengan lelaki ini. Lelaki yang selalu memberikan kenyamanan padaku.
Aku menoleh pada pak Adrian. Betapa malunya, saat aku mendapati dia tengah menatapku. Lalu, tangan itu terulur mengelus pipiku.
Aku membuang muka ke samping, menatap jendela. Melihat awan yang bergumpal-gumpal besar. Mereka seperti kapas yang berterbangan. Indah dan mengagumkan.
Andai bisa, aku ingin ke awan itu. Menikmati kenyamanan terbang di sana. Berbaring di awan itu.
Setelah sampai di bandara, pak Adrian segera memesan taksi. Tempat pertama yang ingin aku datangi, tentu saja rumah.
Setelah membeli oleh-oleh secukupnya, kami masuk ke dalam taksi. Kemudian menuju rumah.
Pak Adrian masih saja menggenggam tanganku.
"Pak, ini Malang. Aku tidak mungkin hilang." Aku mendengus sebal.
"Hahahaha." Dia tertawa terbahak dengan seenaknya.
Mataku terbelalak kala mendapati pak Adrian tertawa dengan mata menyipit. Aku gemas melihatnya. Eh
"Jangan melihatku seperti itu, nanti kamu jatuh cinta, Anna."
"Ha?"
Setelah sampai di depan gang rumah, kami turun.
Pak Adrian membawa oleh-oleh yang tadi kami beli tadi. Sedangkan aku tidak membawa apapun, hanya tas cangklong yang tadi aku pakai saat akan pergi.
Jantungku berdegup kencang, saat terlihat pagar rumahku. Aku rindu.
Bergegas aku masuk. Pintu tidak dikunci. Namun, rumah tampak sepi.
Di mana ibu?
sungguh menyebalkan
terus adiknya juga kenapa gak sopan gitu , rasanya gak mungkin ada yg gitu amat , gak ada segen² nya sama kaka sendiri
semangat