Kisah ini menceritakan hubungan rumit antara Naya Amira, komikus berbakat yang independen, dan Dante Evander, pemilik studio desain terkenal yang perfeksionis dan dingin. Mereka bertemu dalam situasi tegang terkait gugatan hak cipta yang memaksa mereka bekerja sama. Meski sangat berbeda, baik dalam pandangan hidup maupun pekerjaan, ketegangan di antara mereka perlahan berubah menjadi saling pengertian. Seiring waktu, mereka mulai menghargai keunikan satu sama lain dan menemukan kenyamanan di tengah konflik, hingga akhirnya cinta tak terduga tumbuh di antara mereka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Darl+ing, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kelelahan
Saat Naya melangkah keluar dari kantor polisi bersama Dante, angin pagi yang dingin menyentuh wajahnya, namun pikirannya masih dipenuhi kekacauan. Dante berjalan di sampingnya, diam, dengan tatapan tetap ke depan. Keheningan di antara mereka terasa aneh, seperti jeda sebelum sesuatu yang lebih besar akan terjadi. Naya merasa lega telah melewati interogasi, meski masalah dengan Arfan masih belum selesai.
Namun, ketenangan singkat itu tiba-tiba buyar ketika Arfan muncul dari arah parkiran dengan langkah cepat. Wajahnya penuh dengan kecemasan, tetapi juga kemarahan yang terpendam. Naya langsung merasa jantungnya berdebar kencang.
"Sayang, kamu gapapa?" tanya Arfan dengan nada panik. Tanpa menunggu jawaban, ia langsung mendekati Naya, meraih lengannya seolah ingin memastikan bahwa ia benar-benar ada di sana, bahwa Naya aman. “Aku cemas semalaman! Kenapa kamu pergi begitu saja tanpa bilang apa-apa?”
Naya menatap Arfan dengan tatapan dingin, berusaha melepaskan diri dari genggamannya. "Jangan panggil aku 'sayang,' Arfan. Aku sudah tahu semuanya. Aku tahu tentang dia," kata Naya tegas, suaranya bergetar dengan amarah dan kekecewaan yang selama ini tertahan.
Arfan terdiam, wajahnya berubah seketika. Dia tahu apa yang Naya maksud, namun bukannya menenangkan situasi, Arfan malah tampak semakin marah. "Naya, kamu nggak paham. Ini semua cuma salah paham. Aku bisa jelasin," katanya dengan nada mendesak.
Namun sebelum Naya bisa membalas, tiba-tiba Arfan mengalihkan pandangannya ke Dante, yang berdiri sedikit di belakang, menyaksikan pertengkaran itu dengan ekspresi datar. Tanpa peringatan, Arfan mendekat ke arah Dante dengan tatapan penuh amarah.
“Kamu!” seru Arfan, suara kemarahannya meledak. “Apa yang kamu lakukan sama dia? Kamu yang bawa dia pergi semalam? Apa yang sebenarnya terjadi di antara kalian?!”
Dante tetap tenang, meski matanya menatap tajam ke arah Arfan. "Aku hanya menolongnya. Naya yang memintaku membawanya pergi. Masalah kalian berdua bukan urusanku," jawab Dante dengan nada yang sangat tenang, hampir terlalu tenang untuk situasi yang memanas ini.
Namun, ucapan Dante hanya membuat Arfan semakin tersulut. Tanpa memperingatkan, Arfan tiba-tiba mengayunkan tangannya, meninju Dante tepat di rahang. Pukulan itu keras dan tiba-tiba, membuat kepala Dante terhuyung ke samping.
Naya terkejut, mulutnya terbuka tanpa suara. "Arfan! Apa yang kamu lakukan?!" teriaknya panik.
Dante, yang selama ini bersikap tenang, mengusap rahangnya yang terasa nyeri. Namun, ia tidak membalas. Ia berdiri tegak kembali, menatap Arfan dengan tatapan yang lebih dingin dari sebelumnya. "Aku tidak akan memukul balik," ucap Dante perlahan. "Karena seperti yang aku bilang, ini bukan urusanku."
Naya terdiam, mengamati Dante yang dengan tenang mulai melangkah mundur, mengabaikan segala kekacauan yang terjadi di sekelilingnya. Dante jelas bukan tipe orang yang suka terlibat dalam urusan pribadi orang lain, terutama dalam drama seperti ini. Dan sekarang, dia memilih untuk pergi, meninggalkan Arfan dan Naya dengan masalah mereka sendiri.
"Dante, tunggu!" panggil Naya, tapi Dante tidak berhenti. Ia hanya mengangkat tangannya sedikit, tanda bahwa ia tidak ingin terlibat lebih jauh. Tanpa menoleh lagi, dia berjalan ke arah motornya yang terparkir di pinggir jalan, menyalakannya, dan dalam hitungan detik, ia sudah pergi, suara deru mesin motornya memudar di kejauhan.
Naya kembali berhadapan dengan Arfan, yang masih berdiri di tempatnya dengan napas tersengal-sengal, matanya masih penuh kemarahan. Namun kali ini, Naya tidak lagi takut atau bingung. Ia tahu apa yang harus ia lakukan.
"Arfan, aku tidak bisa lagi bersama kamu," ucap Naya dengan tegas, suaranya lebih stabil dari sebelumnya. "Semua ini sudah berakhir."
Arfan tampak terguncang mendengar kata-kata itu. "Naya, kamu nggak bisa bilang begitu. Kamu salah paham soal semuanya. Itu cuma kesalahan! Aku nggak berselingkuh dengan dia seperti yang kamu pikirkan!"
Namun, Naya sudah mendengar cukup banyak alasan dari Arfan. Sekali ini, ia merasa yakin dengan keputusannya. "Tidak ada kesalahpahaman, Arfan. Aku lihat sendiri. Aku dengar sendiri. Dan lebih dari itu, aku merasakan sendiri bahwa hubungan ini sudah tidak bisa diperbaiki lagi."
Air mata menggenang di sudut mata Naya, namun ia menahannya agar tidak jatuh. "Aku sudah cukup. Aku capek."
Arfan mencoba mendekati Naya lagi, meraih tangannya, namun Naya mundur, melepaskan genggamannya. "Jangan sentuh aku lagi, Arfan. Ini selesai."
Kata-kata itu, dingin dan final, menggantung di udara di antara mereka. Arfan tampak tak percaya dengan apa yang terjadi, wajahnya penuh dengan kebingungan dan keputusasaan. Namun Naya tidak lagi peduli. Ia sudah memutuskan.
Tanpa berkata apa-apa lagi, Naya membalikkan badan dan berjalan menjauh dari Arfan, meninggalkannya sendirian di depan kantor polisi. Setiap langkah terasa berat, tapi juga melegakan. Naya tahu ini adalah langkah pertama yang harus ia ambil untuk membebaskan dirinya dari hubungan yang penuh kebohongan dan rasa sakit.
Saat ia berjalan menjauh, angin pagi yang dingin mulai terasa menusuk. Namun kali ini, Naya tidak merasa kedinginan. Justru ada rasa hangat yang perlahan mengisi dadanya, seolah ia baru saja melepaskan beban yang selama ini menahannya. Bagaimanapun juga, ini adalah awal dari sesuatu yang baru.
Dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Naya merasa dirinya bisa bernapas lagi.
Setelah kembali dari kantor polisi, Naya merasa letih, baik secara fisik maupun emosional. Langkahnya pelan, dan matanya sembab setelah pertengkaran panjang dengan Arfan. Ketika ia sampai di depan rumah, ia terkejut melihat seorang wanita berdiri di sana, mengenakan jaket tebal dengan wajah cemas.
“Naya!” Widuri, sahabatnya, segera berlari menghampirinya. "Astaga, kamu ke mana aja sih? Aku telponin kamu dari tadi pagi, nggak kamu angkat!" Nada suara Widuri terdengar penuh kekhawatiran, dan wajahnya yang biasanya ceria tampak lebih serius dari biasanya.
Naya tersenyum lemah, merasa bersyukur ada seseorang yang peduli padanya di tengah kekacauan ini. "Maaf, Widur, aku... aku banyak urusan tadi," jawab Naya sambil mengusap keningnya yang masih terasa berat. Ia belum siap menjelaskan semua yang terjadi, tapi jelas bahwa Widuri pantas mendapatkan penjelasan.
Widuri menatap Naya dengan alis berkerut, merasa ada sesuatu yang tidak beres. "Urusan? Kamu kelihatan kacau, Nay. Ada apa sebenarnya? Arfan lagi?"
Naya mendesah panjang, kepalanya sedikit tertunduk. "Iya, aku dan Arfan... semuanya hancur," ujarnya pelan, suaranya hampir tidak terdengar. Ia mengusap rambutnya yang berantakan, merasa air mata mulai menggenang lagi. "Aku tahu dia selingkuh. Aku melihat dan mendengarnya sendiri."
Widuri terdiam sejenak, matanya melebar karena terkejut. Namun, ia dengan cepat meraih tangan Naya, memegangnya erat. "Oh Tuhan, Nay... Kenapa kamu nggak bilang dari kemarin-kemarin? Kamu nggak perlu melalui ini sendirian."
Naya menunduk, merasakan kehangatan dari genggaman tangan sahabatnya yang begitu tulus. "Aku nggak tahu harus bilang apa, Widur. Semuanya terjadi begitu cepat, dan aku nggak bisa berpikir jernih."
Widuri mengangguk, memahami. Dia memang tahu Naya, sahabatnya ini cenderung menahan segala sesuatu sendirian sampai akhirnya situasi menjadi terlalu berat untuk ditanggung. "Kamu nggak perlu ngomong apa-apa sekarang. Ayo, masuk dulu. Kita bisa bicara di dalam. Aku sudah bawain makanan, jadi kamu bisa makan sambil cerita."
Mereka berdua berjalan masuk ke dalam rumah Naya. Udara di dalam terasa hangat, tetapi suasana hatinya masih tetap berat. Naya duduk di sofa, melepaskan sepatu sambil menarik napas panjang. Widuri segera pergi ke dapur untuk mengambilkan makanan yang dia bawa, sementara Naya berusaha menenangkan pikirannya.
Tak lama kemudian, Widuri kembali dengan dua piring nasi dan lauk yang sudah dibawa dari rumahnya. "Aku tahu kamu pasti belum makan apa-apa sejak pagi," kata Widuri sambil meletakkan piring di meja depan Naya. "Makan dulu, baru kita bisa bicara. Nggak baik juga kalau kamu menghadapi semua ini dengan perut kosong."
Naya mengangguk, meski nafsu makannya hampir tidak ada. Namun, melihat perhatian Widuri, ia merasa harus mencoba. Ia mengambil sendok dan mulai makan perlahan, meski setiap gigitan terasa hambar di mulutnya.
Setelah beberapa menit dalam diam, Widuri akhirnya mulai berbicara lagi. "Jadi... kamu ketahuan Arfan selingkuh?" tanyanya hati-hati.
Naya menelan makanan yang ia kunyah dengan susah payah, lalu mengangguk. "Iya, aku dengar percakapannya sendiri. Dia menerima telepon dari wanita itu saat kami sedang makan malam. Aku nggak kuat dengar semua pembelaannya. Setelah itu, aku minta tolong sama... Dante."
Widuri mengerutkan alis. "Dante? Bos kamu?"