Bukan aku tidak mencintainya. Tapi ini sebuah kisah kompleks yang terlanjut kusut. Aku dipaksa untuk meluruskannya kembali, tapi kurasa memotong bagian kusut itu lebih baik dan lebih cepat mengakhiri masalah.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BellaBiyah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
16
Ketika aku menyelesaikan bacaan itu, perasaan tidak nyaman semakin menyelimuti. Setiap poin yang kubaca seolah menggambarkan sosok yang sangat aku benci: pembunuh Lucía. Pikiran ini semakin mendorongku untuk bertekad, memperkuat niatku untuk menjadi petugas polisi yang bisa melindungi orang lain dari nasib yang sama.
Setelah beberapa jam di perpustakaan, aku merasa lelah tapi bersemangat. Aku melanjutkan belajar dengan cara baru dan tidak biasa, mencari informasi lebih lanjut tentang psikopat dan pola pikir mereka. Aku mencatat segala sesuatu yang tampaknya relevan, berusaha membangun pemahaman yang lebih dalam.
Tiba-tiba, aku merasakan ketukan lembut di bahuku. Aku berbalik dan melihat Bradly berdiri di belakangku. “Apa kamu selalu belajar keras seperti ini?” tanyanya, senyum lebar menghiasi wajahnya.
“Aku hanya berusaha memahami lebih banyak tentang topik yang menarik,” jawabku, berusaha terlihat santai.
“Sepertinya kamu sangat serius,” katanya sambil melirik buku yang kubaca. “Jika butuh bantuan, aku di sini. Mungkin kita bisa belajar bersama seperti yang tadi aku katakan.”
Aku menimbang tawarannya. Di satu sisi, aku ingin menjaga jarak dan fokus pada tujuanku. Namun, di sisi lain, tidak ada salahnya memiliki teman belajar. “Baiklah, kita bisa coba belajar bersama. Tapi, aku harus memperingatkan kamu, aku tidak suka menghabiskan waktu untuk hal-hal yang tidak relevan,” kataku.
“Deal!” katanya sambil tersenyum, lalu duduk di sebelahku.
Kami mulai berdiskusi tentang apa yang kami pelajari. Rasanya sedikit lebih nyaman saat kami mengobrol. Ternyata Bradly cukup pintar dan tahu banyak tentang topik yang kami bahas. Kami berbagi pandangan dan saling memberikan wawasan baru, membuatku merasa lebih terhubung.
Namun, di balik keceriaan belajar, aku tidak bisa mengabaikan rasa khawatir tentang instruktur yang terus menatapku. Setiap kali Bradly dan aku berbicara, aku merasa seolah ada mata lain yang mengawasi. Tapi aku berusaha untuk tidak membiarkan pikiran itu mengganggu fokusku.
Hari-hari berlalu dan aku terus memperdalam pemahaman tentang psikopat dan karakteristik mereka. Aku berusaha untuk tidak membiarkan apa pun mengalihkan perhatian dari tujuan utamaku—menjadi petugas polisi yang mampu memberikan keadilan.
Di tengah proses itu, aku mulai merasa lebih kuat. Kini aku punya teman belajar yang dapat diandalkan, dan sedikit demi sedikit, rasa percaya diriku mulai bangkit. Namun, aku tetap waspada, menyimpan rahasia dan menjaga identitasku agar tetap tersembunyi. Ini adalah langkah pertama dari perjalanan panjang yang kujalani untuk mencapai keadilan.
Aku tersenyum kecil, menyadari bahwa meskipun aku sangat terfokus pada tujuanku, kenangan akan Dereck membuatku merasa hangat di dalam hati. Kami punya banyak kenangan indah bersama, dan aku merasa beruntung pernah memiliki ikatan yang begitu kuat dengannya.
“Ya, dia memang bikin aku gila,” jawabku sambil tertawa, berusaha mengalihkan perhatian dari kesedihan yang menghantuiku. “Tapi kita sudah berpisah lama. Aku cuma berharap dia baik-baik saja.”
Rebeca mengangguk. “Kamu harus menghubunginya. Dia mungkin juga merindukanmu. Siapa tahu, mungkin dia sudah berusaha mencarimu.”
Aku memandang jauh, membayangkan bagaimana rasanya bertemu Dereck lagi. Apakah dia masih sama? Apakah dia sudah menjadi orang yang diimpikannya? Keinginan untuk menghubunginya semakin kuat, tetapi aku tahu saat ini aku harus fokus pada akademi dan pelatihanku.
“Ya, mungkin suatu hari nanti,” kataku, meskipun di dalam hati terasa ada yang menghalangi. “Saat aku selesai di sini, mungkin aku akan mencarinya.”
“Harus! Tapi jangan biarkan dia mengalihkan perhatianmu dari apa yang ingin kamu capai,” kata Rebeca tegas. “Kamu harus jadi polisi yang hebat.”
Kami melanjutkan obrolan, tetapi pikiranku melayang kembali ke instruktur yang menarik perhatianku. Meskipun aku berusaha untuk tidak memikirkannya, rasa penasaran terus mengganggu. Kenapa dia begitu tertarik? Apakah dia benar-benar mengingatku? Semua pertanyaan itu berkecamuk di benakku.
Saat kami keluar dari perpustakaan, aku melihat Bradly sedang duduk di meja dekat. Dia tersenyum dan melambaikan tangan ke arah kami. “Hei, mau bergabung?” tanyanya ceria.
Rebeca melirikku dengan mata penuh harapan. “Ayo, kita bergabung,” katanya antusias.
Mungkin ini kesempatan untuk lebih mengenal Bradly. “Baiklah, kita bergabung,” jawabku, berusaha tidak berpikir terlalu jauh.
Kami duduk di meja bersama, dan Bradly mulai berbagi tentang pelajaran yang akan datang. Dia sangat bersemangat, dan aku bisa merasakan energi positifnya. Meskipun sedikit cemas, aku berusaha untuk tetap terbuka dan menikmati momen itu.
Saat kami tertawa dan bercanda, aku merasa sedikit lebih ringan. Mungkin, hal-hal kecil seperti ini bisa membantuku tetap fokus, mengingat bahwa aku tidak sendirian dalam perjalanan ini. Namun, meskipun aku berusaha bersenang-senang, bayangan Lucía dan semua yang telah terjadi tidak pernah sepenuhnya pergi dari pikiranku.
Ketika hari berakhir dan kami semua berpisah, aku berjanji pada diri sendiri untuk terus maju. Setiap langkah yang kuambil adalah langkah menuju keadilan yang kuinginkan.