Enam tahun silam, dunia Tama hancur berkeping-keping akibat patah hati oleh cinta pertamanya. Sejak itu, Tama hidup dalam penyesalan dan tak ingin lagi mengenal cinta.
Ketika ia mulai terbiasa dengan rasa sakit itu, takdir mempertemukannya dengan seorang wanita yang membuatnya kembali hidup. Tetapi Tama tetap tidak menginginkan adanya cinta di antara mereka.
Jika hubungan satu malam mereka terus terjadi sepanjang waktu, akankah ia siap untuk kembali merasakan cinta dan menghadapi trauma masa lalu yang masih mengusik hidupnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DityaR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Desahan Kapten
"Copot," ucapnya singkat, menarik karet pinggang celana gue.
Gue enggak perlu disuruh dua kali. Gue mundur ke kursi yang kosong dan mulai melepas sisa pakaian gue sambil melihat dia membuka resleting celananya.
Mata dia enggak lepas dari gue saat dia buka bungkus kondom pakai giginya. Satu-satunya pakaian yang tersisa di antara kita tinggalah celana jeansnya yang enggak dikancing, gue geser tubuh gue mendekat ke dia.
Gue merasa enggak nyaman karena kita di dalam mobil gue, di parkiran tempat kerja, dan gue telanjang bulat. Gue enggak pernah melakukan hal kayak begini sebelumnya. Gue juga enggak pernah benar-benar ingin melakukan hal kayak begini sebelumnya.
Gue suka bagaimana kita sama-sama enggak sabar satu sama lain sekarang, tapi gue juga tahu gue enggak pernah merasakan chemistry kayak begini sama orang lain sebelumnya.
Gue taruh tangan gue di pundaknya dan mulai mengangkangi dia sementara dia memasang kondom.
"Yang penting lo jangan berisik," katanya sambil bercanda. "Gue enggak mau jadi alasan lo dipecat."
Gue melirik ke jendela, masih enggak bisa lihat ke luar. "Hujannya deras, enggak mungkin orang dengar kita," jawab gue. "Lagian, lo yang lebih berisik waktu itu."
Dia cuma ketawa kecil dan mulai mencium gue lagi. Tangannya mencengkeram pinggul gue, menarik gue mendekat, siap menyatu dengan gue.
Posisi ini biasanya bikin gue mengerang, tapi tiba-tiba gue merasa ingin tahan suara karena dia berkata seperti itu.
"Enggak mungkin gue yang lebih berisik," katanya dengan bibir yang masih menyentuh gue. "Paling enggak, kita imbang."
Gue geleng-geleng kepala. “Gue enggak mau kalau harus berakhir seri. Itu cuma alasan buat orang yang takut kalah.”
Tangannya nyangkut di pinggul gue, dan posisinya pas banget, tinggal gue yang harus kasih izin buat dia masuk. Tapi, gue sengaja enggak langsung turun ke dia, karena gue suka sama yang namanya kompetisi, dan gue merasa bakal dimulai sekarang.
Dia angkat pinggulnya, jelas banget siap buat mulai. Gue kencangkan kaki, terus gue tarik diri gue sedikit menjauh.
Dia ketawa lihat gue tahan. “Kenapa, Tia? Lo takut sekarang? Takut kalau gue masuk, kita bakal lihat siapa yang lebih berisik?”
Ada kilau tantangan di matanya. Gue enggak bilang terima tantangannya. Sebagai gantinya, gue tatap matanya sambil perlahan menurunkan diri ke dia. Kita berdua tersentak bareng, tapi itu satu-satunya suara yang keluar.
Begitu dia sepenuhnya masuk, tangannya langsung mendarat di punggung gue, menarik gue lebih dekat. Satu-satunya suara yang kita buat hanyalah desahan berat dan napas yang terengah-engah. Hujan yang menghantam jendela dan atap mobil makin mempertegas keheningan di dalam mobil.
Gue hampir habiskan kekuatan gue menahan diri buat enggak berisik sampai-sampai harus berpegangan lebih erat. Lengannya melingkari pinggang gue, menggenggam gue erat sampai susah untuk bergerak. Lengan gue melingkari lehernya, dan mata gue terpejam.
Kita hampir enggak bergerak sekarang karena genggaman yang kuat satu sama lain, tapi gue suka. Gue suka bagaimana ritme kita yang pelan dan stabil tetap terjaga sementara kita sama-sama fokus buat tahan suara yang masih tersangkut di tenggorokan.
Selama beberapa menit, kita terus begitu. Gue rasa kita berdua terlalu takut buat bergerak mendadak, takut akan rasanya bakal bikin salah satu dari kita kalah.
Satu tangannya meluncur ke punggung bawah gue, dan tangan satunya lagi meraih belakang kepala gue. Dia genggam rambut gue dan tarik pelan sampai tenggorokan gue terbuka buat mulutnya.
Gue meringis begitu bibirnya menyentuh leher gue, karena menahan suara ternyata jauh lebih sulit dari yang gue bayangkan. Apalagi dia lebih unggul dengan posisi kita sekarang. Tangannya bebas menjelajah ke mana saja yang dia mau, dan itu yang sedang dia lakukan sekarang.
Tangannya terus menjelajah, membelai, turun ke perut gue sampai dia bisa menyentuh satu tempat yang bisa bikin gue mengaku kalah.
Gue rasa dia curang.
Begitu jarinya menemukan titik yang biasanya bikin gue teriak menyebut namanya, gue langsung mengencangkan pelukan di bahunya dan atur posisi lutut gue biar gue bisa kontrol semua gerakan gue.
Gue mau bikin dia merasakan siksaan yang sama kayak yang dia bikin ke gue sekarang.
Begitu gue beralih posisi dan bisa mendekatkan diri gue ke dia, gerakan yang pelan dan teratur tadi langsung hilang. Mulutnya menyerang bibir gue dengan ciuman yang lebih mendesak, lebih keras dan lebih kuat dari ciuman mana pun sebelumnya.
Seolah-olah kita lagi berusaha menghapuskan keinginan kita buat mengungkapkan betapa nikmatnya ini.
Tiba-tiba gue merasakan sensasi yang menyebar ke seluruh tubuh, dan gue harus angkat diri gue dari dia dan berhenti sebentar biar gue enggak kalah.
Meskipun gue ingin memperlambat semuanya, dia malah sebaliknya, dia tambah tekanan dengan tangannya. Gue sembunyikan wajah gue di lehernya dan gigit pelan bahunya buat tahan diri dari mengerang .
Begitu gigi gue menyentuh kulitnya, gue dengar napasnya tersendat dan merasakan kakinya yang menegang.
Dia hampir kalah.
Hampir.
Kalau dia bergerak sedikit saja di dalam gue sambil menyentuh gue kayak begini, dia bakal menang.
Gue enggak mau dia menang.
Tapi di sisi lain, gue juga ingin dia menang, dan kayaknya dia juga ingin menang, lihat saja cara dia bernapas di leher gue perlahan.
Tama, Tama...
Dia tahu ini enggak akan berakhir seri, jadi dia tambah tekanan di gue dengan jarinya sambil lidahnya menyentuh telinga gue.
Oh, gila.
Gue hampir kalah.
Sebentar lagi.
Ya ampun.
Dia angkat pinggulnya pas dia tarik gue lebih dekat, dan gue enggak bisa menahan buat enggak teriak, “Tamaaa!” diikuti dengan desahan dan erangan.
Gue coba angkat diri lagi dari dia, tapi begitu dia sadar dia sudah menang, dia hembuskan napas panjang dan tarik gue kembali ke dia dengan lebih kuat.
"Akhirnya," katanya terengah-engah di leher gue. "Gue enggak yakin bisa tahan satu detik lagi."
Sekarang kompetisinya selesai, kita berdua lepas kendali sepenuhnya sampai suara kita berdua makin keras, dan kita harus ciuman lagi buat meredam suara-suara itu. Tubuh kita bergerak selaras, makin cepat, makin keras bertabrakan. Kita terus dalam irama yang indah ini selama beberapa menit, semakin intens sampai gue yakin enggak bisa tahan lagi satu detik pun.
"Tia," katanya di mulut gue sambil melambatkan gerakan pinggul gue dengan tangannya. "Gue pengen kita naik ke puncak bareng."
Ya ampun.
Kalau dia ingin gue tahan lebih lama, dia enggak boleh ngomong kayak begitu. Gue mengangguk, enggak bisa merangkai kata-kata dengan jelas.
"Lo udah hampir sampai di puncak?" tanyanya.
hingga menciptakan kedamaiannya kembali...
meski rasa takut itu masih terasa