"Tidak perlu Lautan dalam upaya menenggelamkanku. Cukup matamu."
-
Alice, gadis cantik dari keluarga kaya. Hidup dibawah bayang-bayang kakaknya. Tinggal di mansion mewah yang lebih terasa seperti sangkar emas.
Ia bahkan tidak bisa mengatakan apa yang benar-benar diinginkannya.
Bertanya-tanya kapankah kehidupan sesungguhnya dimulai?
Kehidupannya mulai berubah saat ia diam-diam menggantikan kakaknya disebuah kencan buta.
Ayo baca "Mind-blowing" by Nona Lavenderoof.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon lavenderoof, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 4 Tinggal Sendiri
Namun, Mommy dan Daddy tidak semudah itu menerima ide kami. Bahkan, saat pertama kali kami utarakan keinginan untuk tinggal di asrama, mereka langsung menolaknya.
“Kalian sudah memiliki semua yang kalian butuhkan di sini,” kata Daddy dengan nada tegas. “Kenapa harus tinggal jauh dari mansion?”
“Kami hanya ingin belajar mandiri, Daddy. Kami sudah dewasa, dan kami ingin fokus kuliah tanpa gangguan,” Cindy menjawab dengan nada yang terdengar matang, meski aku tahu ini lebih tentang petualangan daripada soal kuliah.
Mommy menambahkan dengan nada khawatir, “Kehidupan di luar sana tidak semudah yang kalian bayangkan. Asrama itu berbeda dari rumah ini. Tidak ada yang menjaga kalian seperti di sini.”
Kami terus berusaha meyakinkan mereka. Cindy lebih banyak berbicara, sementara aku menambahkan beberapa argumen pendukung. “Kami akan baik-baik saja, Mommy. Dan kami tidak akan jauh-jauh, kan? Sopir bisa menjemput kami kapan saja. Kami cuma ingin mencoba hidup sedikit lebih mandiri.”
Saat mendengar perkataan Cindy itu, bukannya mengizinkan, Daddy malah marah dan tersinggung. Ia berpikir kami sengaja ingin ke asrama untuk meninggalkannya. Daddy bahkan mengatakan kalau kami tidak perlu mandiri, karena semua yang ia miliki memang untuk memanjakan kami, anak-anaknya. Ia sengaja memanjakan anak-anaknya.
Mendengar itu kami tidak putus asa. Setelah berminggu-minggu memohon dan meyakinkan mereka, akhirnya mereka menyerah. “Baiklah,” kata Daddy akhirnya. “Tapi dengan satu syarat, setiap bulan sopir akan menjemput kalian untuk pulang ke rumah. Itu tidak bisa ditawar.”
Kami setuju dengan mudah, meskipun dalam hati aku tahu pulang ke mansion hanya akan menjadi jeda singkat dari kebebasan kami. Itu harga kecil yang harus dibayar untuk mendapatkan apa yang kami inginkan. Kesempatan untuk hidup seperti orang lain.
Begitulah awal dari keputusan yang akan mengubah segalanya. Hidup kami yang penuh dengan kenyamanan itu akan segera berubah.
Kami tak hanya memilih asrama karena lebih dekat ke kampus, tapi karena alasan lain yang tak pernah kami ungkapkan kepada Mommy dan Daddy. Kami ingin mencoba sesuatu yang baru. Hidup di luar bayang-bayang keluarga kami yang sempurna dan ketat.
* ** * ** *
Hari pertama kami di asrama terasa seperti membuka pintu ke dunia baru. Rasanya seperti akhirnya bisa bernapas setelah sekian lama berada di mansion yang penuh aturan. Tidak ada Daddy atau Mommy yang memantau setiap langkah kami, tidak ada aturan yang mengikat. Ini adalah kebebasan yang selama ini kami impikan.
Cindy, tentu saja, adalah yang paling antusias. Dia seperti burung yang baru saja keluar dari sangkar, siap mengepakkan sayapnya sejauh mungkin.
“Alice, malam ini kita harus ke London Eye!” katanya dengan mata berbinar begitu kami selesai membereskan kamar.
“Cindy, aku masih ada tugas yang harus diselesaikan,” jawabku sambil menunjuk laptop di meja. “Aku harus menyelesaikannya dulu.”
“Ah, tugas itu bisa menunggu!” Cindy mengibaskan tangan dengan santai. “Aku tidak mau membuang waktu malam pertama kita di London dengan hal membosankan seperti itu. Kalau kau tidak mau, aku akan pergi duluan!”
Aku tertawa kecil, tapi tetap kembali ke tugas yang tinggal sedikit lagi selesai. Cindy benar-benar tidak sabar.
“Kalau begitu, tunggu aku sebentar. Aku janji akan menyusul.”
Cindy hanya mengangguk sebelum meraih jaketnya dan pergi dengan langkah cepat.
* * *
Sekitar setengah jam kemudian, ponselnya berdering. Nama Cindy muncul di layar.
“Alice, kau sudah selesai?” tanya Cindy dengan nada ceria. “Aku sudah di London Eye! Cepat menyusul, tugasmu itu bisa kau kerjakan nanti. Malam ini terlalu indah untuk dihabiskan dengan tugas.”
Ia tersenyum mendengar suara Cindy yang penuh semangat. Tugas itu memang hampir selesai, jadi aku memutuskan untuk segera menyusulnya.
-
London Eye berdiri megah di depan mata, kapsul-kapsulnya yang besar berputar perlahan di malam yang dingin. Lampu-lampu kota London berkilauan seperti bintang yang tumpah dari langit, menciptakan pemandangan yang begitu memukau.
Alice tiba di London Eye dengan semangat yang tak terbendung. Sebelum menyusul Cindy, ia memutuskan membeli dua cup hot chocolate. Ia tahu Cindy pasti senang, terutama dengan udara malam London yang dingin ini.
Minuman di tangan, Alice berjalan terburu-buru menuju pintu masuk. Terlalu bersemangat hingga tidak menyadari seseorang dari arah berlawanan berjalan dengan langkah tergesa-gesa.
ig : lavenderoof