Hubungan Inara dan Artha harus kandas karena perselingkuhan Artha. Padahal mereka sudah mau menikah.
Malu pernikahan batal, Inara terpaksa menyetujui perjanjian dengan Argha, kakak Artha demi untuk membalas Artha dan tidak mempermalukan orang tuanya.
Inara kalah dengan perasaannya. Ia jatuh cinta pada suaminya yang misterius. Hanya saja, dendam Argha membuat Inara merasa rendah diri. Dan godaan Artha selalu datang pada mereka.
Akankah Argha dan Inara bisa bersatu, atau masa lalu Argha akan terus membuat jarak di antara mereka dan memilih berpisah demi kebaikan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Layli Dinata, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 11 Bukti Berupa Ciuman
Argha mengucek matanya. Buru-buru ia memakai sendalnya. Pria dengan tinggi 188 cm itu cemberut saat mendengar bel pintu berbunyi, bahkan ponselnya sejak tadi terus berbunyi.
“Sialan si Alden. Tengah malam begini pakai datang juga ke sini.” Dengan malas Argha melangkahkan kakinya, menuju ke ruang tamu, ia menyalakan lampu dan semuanya tampak benderang.
Klek.
“Gha!” Dengan sempoyongan Alden, pria tampan dengan tinggi 180 cm itu memeluk Argha. Kulitnya putih dengan wajah tirus. Kalau dilihat-lihat, ada sedikit kemiripan pada Alden dan Argha. Hanya saja, hidung Alden tak sebesar Argha, bahkan senyum Alden memikat. Ia mantan playboy. Tentu memiliki daya tarik dari senyumannya itu. Sangat berbanding terbalik dari Argha yang terlihat judes.
“Kamu mabuk, Den! Sialan pakai datang le sini pula!” Argha tetap membantu pria yang masih memiliki hubungan saudara itu. Alden adalah putra dari kakaknya Alan, Alarick. Pria yang memiliki usaha pertambangan.
“Semua cewek sama aja, Gha! Munafik. Baik di depan, gak tahunya juga jalan sama om-om. Sialan, aku dibohongi.”
Argha menyeret tubuh Alden, membawanya duduk di sofa. Niatnya hendak mengambilkan air putih, atau susu hangat untuk mengurangi rasa pusing pada diri sepupunya itu.
“Aku dikhianati, Gha! Ini sejarah dalam hidupku. Kenapa sakit banget.” Alden memeluk Argha, tampak frustasi, dan menangis seperti orang gila.
Inara yang merasa haus, ia terbangun dari tidurnya. Melihat lampu depan menyala, ia merasa penasaran dan mengendap-endap untuk keluar.
Betapa terkejutnya inara melihat keadaan yang sangat ambigu. Argha dan Alden tengah berpelukan. Mulutnya ternganga, benar-benar tak percaya.
“Astaga!” pekik Inara membuat Argha langsung menoleh. Keduanya bersitatap. Inara langsung membungkam mulutnya sendiri.
Argha menghela napas. Ia menghempaskan tubuh Alden yang kemudian langsung tersungkur di atas sofa, menggeliat seperti anak kucing, memeluk bantal sofa.
“Ma-maaf, saya enggak bermaksud buat lancang, permisi.” Buru-buru Inara berlari menuju dapur, untuk mengambil air minum.
“Sialan, pasti dia salah paham lagi.” Argha memijat keningnya yang mendadak pening, matanya memicing pada sepupunya yang kini bergumam tidak jelas di atas sofa. “Kamu bikin aku tambah ruwet, Sialan!”
Tak ingin berlanjut, Argha langsung menghampiri Inara. Gadis itu tampak ketakutan dengan meminum air minumnya. Pelan-pelan, ia menghampiri. Dan Inara langsung tersedak karena sangking takutnya.
Uhuk uhuk!
Argha mengambil alih gelas yang ada di tangan Inara, lalu meminum bekas minum gadis itu. Sontak, mata Inara membulat.
“P-pak, sa-saya kebangun karena haus. Sa-saya enggak bermaksud—“
“Apa yang kamu pikirkan?” potong Argha lantas meletakkan gelas di atas meja. Inara sendiri mundur untuk menjauh, dan Argha terus maju, hngga tubuh Inara mentok pada kitchen cabinet. Inara celingukan, mencari cara untuk lolos dari Argha. “Apa yang kamu pikirkan tentang saya?”
“Sa-saya gak mikir apapun, Pak. Saya janji akan tutup mulut.” Dengan bertumpukan paka kedua lengannya, Inara terus mencondongkan tubuhnya kebelakang, karena bubuh Argha semakin menempel.
Argha tersenyum miris. “Saya tidak seperti itu.”
“Sa-saya janji, saya—“
“Saya bilang, kamu hanya salah paham!”
Mata Inara terus mengerjab. Ia yakin, Argha hanya beralasan, jelas-jelas ia melihat sendiri, mereka saling berpelukan. Ah, apa pedulinya? Dan kenapa Argha justru terlihat marah sekarang ini. Inara merasa terjebak dalam situasi yang tidak mengenakan.
“Kamu mau bukti?”
Inara terkesiap. Mulutnya terkatup rapat. Bodohnya, ia justru mengangguk.
Argha menarik pinggangnya, membuat tubuh mungilnya itu membentur tubuh Argha yang begitu tinggi. Pria tampan di deannya itu membungkuk, untuk mensejajarkan wajah mereka, sebelah tangan Argha menarik tengkuknya.
Dengan gerakan yang secepat kilat, Argha langsung mencium bibir Inara, membuat gadis lugu itu mendelik dan terpaku akan tindakannya yang tiba-tiba, perlahan, Argha mulai mencecap bibir mungil yamg sejak tadi sore menggodanya. Ini pertama dalam hidupnya, meski bukan pertama bagi Inara.
Argha merasakan sekujur tubuhnya panas, gelenyar aneh dalam hatinya bahkan debaran jantung yang tak menentu, dengan berbekalkan insting dan naluri, ia terus menyerbu bibir Inara yang tak melawannya sama sekali. Tangannya meraba punggung gadis itu dan sebelah tangannya menggerayangi tengkuk.
Inara kalang kabut, berusaha menghindar. ‘Oh, apa dia seorang Bis*ks*al?’ batin Inara kacau.
Argha terus bermain di dalam rongga mulut Inara. Gadis itu masih tak bereaksi, ia yang gemas, lantas menggigit lidahnya, lantas, Inara membalasnya.
Argha melerai ciumannya, memberikan kesempatan pada gadis itu untuk bernapas.
“Jangan berpikir yang tidak-tidak, dia sepupu saya,” ucap Argha dengan wajah dan telinga memerah. Jemarinya menyeka bibir Inara yang basah karena ulahnya.
“Hah hah hah ….” Inara ngos-ngosan. Argha pergi begitu saja, ia justru mengurut dadanya karena masih dengan keterkejutan ini. “Di-dia bilang, pria tadi sepupunya? Jadi, gue harus percaya apa gimana?”
Argha membanting pintu kamarnya. Tak peduli Alden tidur di sofa. Seperti tadi saja sudah membuat Inara salah paham. Kepalanya mendongak ke atas, menatap langit-langit kamarnya. Kilasan tentang kejadian baru saja kembali teringat, ia meraba bibirnya sendiri. Bibir Inara terasa sangat manis. Matanya terpejam, mengingat kejadian barusan, sesuatu membuatnya tidak nyaman, celananya terasa sangat sesak.
“Oh, payah sekali! Seperti itu saja kamu menggeliat! Arrrgh!”
Sementara itu, di dalam kamar Inara terus saja mondar-mandir. Ia merasa, kalau ada hal yang tidak beres dalam dirinya.
Ciuman Argha sangatlah berbeda dengan Artha. Ia menggigit ujung kukunya sendiri. “Gak! Aku gak boleh luluh sama Pak Argha. Dia … dia pria yang ….”
“Jangan berpikir yang tidak-tidak, dia sepupu saya.”
Inara memejamkan mata. Kalimat Argha kembali melintas di kepalanya. “Arrgh! Pak Argha membuatku gila! Lagian, mau sepupu mau pacarnya dia sekalipun, apa pedulinya Aku? Aku harus membalas Artha dan akan lepas dari jerat Pak Argha juga. Aku mau hidup tenang, setelah dapat bagian dari Pak Argha. Ya. Persetan dengan keadaan Pak Argha yang sesungguhnya, aku bodo amat!”
Inara tidak bisa tidur, ia terus memikirkan kejadian yang baru saja terjadi. Sangat tak menyangka juga kalau Argha akan menciumnya seperti ini.
Hanya saja, ia tak bisa berbuat apapun untuk melawan pria itu. Alih-alih berontak, ia justru menikmatinya.
Inara menggelengkan kepalanya. “Takdir macam apa ini Tuhan?”
Bagaimana nanti, bagaimana ia bisa menghadapi kedua orang tuanya nanti.
Sementara itu, di kamar sebelah, Argha sedang sibuk dengan karir solonya. Semua ini kan, karena salahnya sendiri. Andai ia bisa menunjukkan sisi lainnya ini pada Inara. Oh, ia kembali membayangkan gadis cantik itu, tak lama, ia memuntahkan semuanya yang ia pendam barusan saja.
“Sial! Kenapa aku bisa lakuin ini semua? Ini gara-gara Alden, aku jadi berakhir mengenaskan seperti ini. Awas saja nanti.”