"Tidak perlu Lautan dalam upaya menenggelamkanku. Cukup matamu."
-
Alice, gadis cantik dari keluarga kaya. Hidup dibawah bayang-bayang kakaknya. Tinggal di mansion mewah yang lebih terasa seperti sangkar emas.
Ia bahkan tidak bisa mengatakan apa yang benar-benar diinginkannya.
Bertanya-tanya kapankah kehidupan sesungguhnya dimulai?
Kehidupannya mulai berubah saat ia diam-diam menggantikan kakaknya disebuah kencan buta.
Ayo baca "Mind-blowing" by Nona Lavenderoof.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon lavenderoof, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 26 Menghindari Atau Menghadapi
Karyawan 2 “Nona Cindy akan menghadiri rapat hari ini. Sayangnya Nona Alice tidak ikut datang untuk menghangatkan suasana. Sebaiknya kita harus bekerja lebih teliti, jangan berikan Nona celah untuk marah.”
...* * ** * ** * *...
Alice tetap berbaring di ranjangnya, merasa lelah secara fisik dan mental. Ketakutannya terus berputar di kepala, tetapi ia berusaha meyakinkan dirinya sendiri bahwa semuanya masih bisa dikendalikan.
"Kami terlalu bosan, terlalu ceroboh. Bagaimana jika Daddy tahu? Bagaimana kalau mereka tahu yang datang kemarin itu aku, bukan Cindy? Apa yang akan terjadi? Apa yang harus kukatakan?"
Alice merasa perutnya melilit, tetapi bukan karena lapar, melainkan karena rasa cemas yang tidak kunjung reda. Setiap kali ia mencoba memikirkan solusi, pikirannya kembali pada ketakutan akan bagaimana keluarganya bereaksi.
"Mungkin aku hanya terlalu berlebihan. Daddy pasti tidak akan marah... kan? Tapi... kalau Daddy benar-benar tahu, aku tidak yakin bisa menjelaskannya. Cindy pasti yang akan bicara."
Dia menarik napas dalam, mencoba menenangkan dirinya, tetapi justru merasa dadanya semakin sesak. Sebuah dorongan kecil, apakah dari rasa bersalah, takut, atau lelah membuatnya merasa bahwa tubuhnya perlahan menyerah.
Alice terbaring diam di ranjangnya, pandangannya kosong menatap langit-langit. Rasa cemas terus merayapi setiap sudut pikirannya, namun ia berusaha keras untuk meyakinkan dirinya.
"Cindy pasti bisa mengatasi semuanya. Dia selalu bisa menghadapinya. Dia yang lebih kuat. Aku hanya perlu tenang. Daddy dan Mommy pasti tidak akan marah padaku. Semua ini... tidak perlu jadi masalah."
Namun, meski kata-kata itu mengalir dalam pikirannya, tubuhnya justru semakin terasa berat. Rasa cemas yang tidak tertahankan mulai membuatnya merasa sesak.
Cemilan, menu sarapan, dan makan siang masih sempurna. Meja dorong yang tergeletak di samping ranjangnya tidak tersentuh oleh tangannya, meskipun tubuhnya membutuhkan energi. Apalagi semalam ia memuntahkan semua isi perutnya.
"Aku tidak bisa seperti in lebih lama. Bisa-bisa Daddy dan Mommy curiga. Aku hanya perlu menunggu semuanya berlalu."
Tapi semakin dia mencoba untuk meyakinkan dirinya sendiri, semakin besar beban yang dirasakannya. Ada rasa takut yang tidak bisa disingkirkan begitu saja, sebuah ketakutan bahwa semuanya mungkin akan pecah begitu saja.
Dia menggigit bibirnya, berusaha untuk tetap bertahan dan tidak membiarkan rasa takut itu menguasai dirinya sepenuhnya. Namun, tubuhnya mulai memberi tanda, sebuah pusing yang datang tiba-tiba membuatnya harus berbaring lebih rata.
Alice masih berusaha memanipulasi pikirannya untuk merasa lebih tenang dan mengandalkan Cindy. Mencoba untuk menghadapi situasi dan mengandalkan kakaknya meskipun dirinya sangat cemas. Alice merasa ada harapan karena Cindy yang paling berani diantara mereka berdua.
...* * ** * ** * *...
Di tengah rapat dengan beberapa manajer, Cindy tetap fokus. Namun, di sela-sela waktu senggangnya, ia memutuskan menemui orang tuanya di ruang kerja mereka, Ruang Direktur Utama.
“Daddy, Mommy, aku ingin bicara dengan kalian tentang kejadian tadi malam. Kurasa kita perlu menjelaskan semuanya.”
Daddy yang sedang memeriksa dokumen menutup berkasnya, sementara Mommy tersenyum lembut.
“Kami mengerti, Cindy. Tapi ini bukan saat yang tepat.” Jawab Daddy.
Mommy ikut menambahkan, “Ya, Sayang. Kita akan membicarakannya malam ini saat di mansion. Adikmu juga perlu mendengarnya.”
Cindy mengerutkan dahi, sedikit bingung. “Ini adalah urusanku. Kenapa Alice perlu mendengarnya? Dia sudah-”
Daddy mengangkat tangannya dengan tegas, menghentikan Cindy. “Percayalah, Cindy. Ini adalah sesuatu yang akan membuat kalian berdua sangat bahagia. Kami akan menjelaskan semuanya saat seluruh keluarga berkumpul.”
Cindy mendesah pelan, memilih untuk tidak mendesak mereka lebih jauh. Ia tahu betul bagaimana keras kepalanya Daddy, ditambah Mommy yang selalu mendukung suaminya ketika sudah memutuskan sesuatu.
...* * ** * ** * *...
Suasana malam hari di Mansion Swan yang megah terasa lebih dingin dari biasanya. Alice berjalan dengan langkah gontai dan hati penuh kekhawatiran menuju ruang keluarga untuk melanjutkan perbincangan kemarin yang tertunda. Mengatur napasnya, mencoba bersikap santai dan ceria seperti biasa.
Cindy menatap tajam ke arah orang tuanya, meskipun kepanikan samar mulai merayap ke dalam pikirannya. Ia berusaha tetap tenang dan logis. Menahan dirinya untuk tidak terbawa emosi.
Alice, yang duduk di sebelahnya, tidak berani menatap siapa pun. Wajahnya pucat, dan tangannya mencengkeram bantal kecil di pangkuannya, mencoba menahan gemetar.
Cindy berusaha mengontrol nada suaranya, memulai pembicaraan "Dan tahap berikutnya itu apa?"
"Kau pasti tau apa maksud kami, sayang." Jawab Mommy, lalu bergantian bertanya pada putri bungsunya.
"Al, kau tidak mau membantu menebak kelanjutan dari kencan kakakmu?"
"Ha?" Jawab Alice Terkejut.
Cindy mengangkat alis, mulai kesal "Tidak bisakah kalian berterus terang saja?"
"Pernikahan."
ig : lavenderoof