Karin, Sabrina, dan Widuri. Tiga perempuan yang berusaha mencari kebahagiaan dalam kisah percintaannya.
Dan tak disangka kisah mereka saling berkaitan dan bersenggolan. Membuat hubungan yang baik menjadi buruk, dan yang buruk menjadi baik.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Elfira Puspita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
15. Masa Lalu
Beberapa hari kemudian - Rumah Sabrina
Matahari sore menerobos jendela kaca, menyapa tubuh Sabrina yang lelah. Sabrina duduk di sofa ruang tamu, dan sebuah buku terpegang di tangannya. Namun matanya tampak kosong memandang ke depan. Pikirannya melayang jauh, mengingat masa lalunya yang pahit. Tentang seseorang yang pernah dia cintai.
Sabrina pikir, dia sudah berhasil menghapus bayang-bayang itu, tapi ternyata hanya dengan melihatnya saja hatinya sudah bergetar begitu hebat.
Suara hentakan pintu membuyarkan lamunan Sabrina. Pak Wijaya baru saja keluar dari ruang kerjanya. Dia mendekati Sabrina sambil tersenyum penuh cinta, lalu dia merangkul Sabrina dengan lembut.
"Sayang, kamu lagi baca apa sih? Kok serius banget?" tanya Pak Wijaya.
"Aku lagi baca cerita novel sayang. Lumayan seru nih ceritanya," jawab Sabrina mencoba menutupi pikirannya yang kalut.
Pak Wijaya tersenyum kembali, lalu membelai rambut pendek Sabrina dengan penuh kasih sayang. "Pantas kamu terlihat serius sekali sayang."
Dia mendekatkan wajahnya ke wajah Sabrina dan mencoba menciumnya. Namun, Sabrina yang tengah gundah gulana akan perasaannya malah merasa tak nyaman. Secara perlahan Sabrina pun menghentikan aksi Pak Wijaya.
"Sayang, jangan sayang," ucap Sabrina sambil perlahan mendorong suaminya.
"Ayolah, sayang, ini kan hari libur," desak Pak Wijaya sambil terus menggerayangi tubuh Sabrina.
"Kamu lupa, kemarin kan aku datang bulan." Sabrina mengingatkan Pak Wijaya.
"Ah, iya aku lupa."
Pak Wijaya sontak menghentikan apa yang dilakukannya. Lalu duduk diam di samping Sabrina. Dia mengamati wajah Sabrina dengan seksama.
"Maaf ya aku lupa, pantas aku merasa kamu sedikit berbeda hari ini," ucapnya.
Sabrina hanya menghela napas dengan berat, tanpa menyahuti ucapan Pak Wijaya.
"Tapi, kamu belum menyerah kan sayang?" tanya Pak Wijaya lagi tiba-tiba.
"Menyerah tentang apa Mas?"
"Program anak sayang. Setelah kamu beres periode sekarang, kita coba usaha lebih giat lagi ya," jawab Pak Wijaya mencoba terlihat semangat.
Sabrina mendesah cukup keras. "Cukup sayang, aku udah capek. Aku capek melihat kamu kecewa terus!"
Pak Wijaya mendekat lalu menggenggam tangan Sabrina dengan penuh keyakinan. "Ayolah Sab, Dokter bilang kita berdua itu sehat ... dan aku yakin kalau kita enggak menyerah, kita pasti bisa punya anak."
Sabrina menggeleng, ingin mengemukakan perasaannya yang sebenarnya. Namun, suara pagar terbuka membuatnya terhenyak. Pak Wijaya pun segera berdiri untuk melihat siapa yang datang.
"Siapa yang datang sayang?" tanya Sabrina.
"Mama sama Papa datang sayang," jawabnya gembira.
Nafas Sabrina terasa semakin tercekat. Belum selesai perdebatannya dengan Pak Wijaya. Kini dia harus menghadapi mertuanya yang selalu mengatur dan menuntut dirinya.
"Bilang saja sama mereka aku sedang tidur dan tak enak badan," ucap Sabrina sambil beranjak dan hendak masuk ke kamar.
Namun, Pak Wijaya menahan tangan Sabrina. "Jangan seperti itu dong sayang. Tolong hargai orangtuaku."
"Aku capek sayang, mereka pasti membahas masalah yang sama seperti biasanya," jawab Sabrina menahan tangis.
Pak Wijaya memeluk Sabrina dengan erat. Dia mengusap punggung sang istri dengan penuh kehangatan. "Aku minta maaf sayang. Aku sadar enggak seharusnya aku bersikap egois sama kamu." Suaranya terdengar penuh penyesalan.
Sabrina pun balas memeluk, dan menepuk punggung Pak Wijaya. "Sudahlah sayang, kamu enggak salah kok. Aku cuma lagi sensitif aja."
Pak Wijaya melepas pelukannya lalu menangkup kedua pipi Sabrina. "Kalau begitu kamu mau kan temui mereka? Aku janji akan membela kamu apapun yang mereka katakan."
"Janji ya?" tanya Sabrina sambil mengulurkan kelingkingnya.
"Iya aku janji." Pak Wijaya mengaitkan kelingkingnya.
Sabrina luluh, dan mau menemui kedua orang tua Pak Wijaya. Dia menyambut keduanya dengan ramah, dan berusaha terlihat harmonis.
"Mama sama Papa kok enggak ngabarin kalau mau kesini. Untung aku sama Sabrina enggak kemana-mana," ucap Pak Wijaya.
Ibu Fatma, mertua dari Sabrina, sesekali mendelik ke arah Sabrina dengan tajam. "Mama sama Papa tuh kebetulan aja lewat daerah sini, terus ingat sama kamu. Makanya mampir kesini."
"Oh, emang habis darimana Mah?" tanya Pak Wijaya ingin tahu.
"Habis nengok anaknya Tante Marinka. Itu loh Sonia yang dulu pernah Mama jodohin sama kamu," jawab Ibu Fatma.
"Oh, aku enggak ingat yang mana," sahut Pak Wijaya sedikit gugup sambil melirik Sabrina. Sepertinya dia merasa tak enak hati pada Sabrina.
"Sonia itu baru lahiran lagi. Kali ini dia melahirkan anak perempuan kembar. Bayinya itu lucu-lucu loh Jay," lanjut Ibu Fatma menyombongkan kenalannya itu.
"Coba aja kamu nikah sama dia dulu. Mama paati udah punya cucu tiga sekarang," tambahnya lagi.
Pak Edward, ayah mertua Sabrina. Dia langsung menepuk bahu Ibu Fatma. "Ma, jangan begitu. Ada Sabrina loh disini."
Ibu Fatma melirik ke arah Sabrina yang sedari tadi mendengarkan dan menahan emosi. "Gimana program anak kalian? Ada kemajuan enggak?" tanyanya dengan wajah tak bersahabat.
"Kita berhenti program Ma," jawab Sabrina terus terang.
"Loh, kenapa? Kalian menyerah?"
"Kami enggak menyerah ... hanya ingin istirahat dulu sebentar. Lagipula dokter bilang kami berdua sehat. Hanya mungkin belum waktunya saja," jawab Pak Wijaya mencoba menenangkan ibunya.
"Ah, sudahlah Mama enggak ngerti sama kalian," jawab Ibu Fatma kesal, lalu menatap suaminya. "Bicaralah, Pah. Soal rencana Papa itu."
"Rencana apa, Pah?" tanya Pak Wijaya.
Pak Edward mengamati Pak Wijaya dan Sabrina, lalu mulai bicara. "Wijaya, setelah Papa pikir-pikir mungkin hanya ini solusi yang terbaik untuk masalah ini. Jujur selain karena ingin menimang cucu, Papa juga ingin meneruskan garis keluarga kita. Kamu tahu kan, kamu ini anak satu-satunya Papa dan Mama."
"Walau berat, tapi hanya ini satu-satunya jalan," lanjut Pak Edward.
"Maksud Papa apa? Jalan apa?" tanya Pak Wijaya bingung.
"Kamu harus menikah lagi dengan perempuan yang bisa memberi kamu keturunan," jawab Pak Edward tegas.
Sabrina dan Pak Wijaya sama-sama terkejut akan keputusan tersebut.
"Pa, aku enggak mungkin mengkhianati Sabrina," tolak Pak Wijaya sontak menggenggam tangan Sabrina.
"Ini demi keluarga kita Wijaya. Kalau kamu tak punya keturunan. Kepada siapa Papa akan mewariskan semua kekayaan ini?" teriak Pak Edward.
"Jangan membantah Papamu Jay. Mama juga udah siapin calon istri kedua yang terbaik buat kamu," timpal Ibu Fatma.
Sabrina tak kuat lagi mendengarnya. Dia pun melepas genggaman tangan Pak Wijaya, lalu beranjak dari tempatnya. "Maaf saya baru ingat ada keperluan penting hari ini. Saya pamit pergi dulu."
"Sayang kamu mau kemana?" teriak Pak Wijaya.
Sabrina tak menjawab dan memilih bergegas pergi sambil membawa kunci mobil miliknya.
Mobilnya melaju meninggalkan rumah, dan juga Pak Wijaya yang berlari menyusulnya. Dengan penuh rasa kecewa dan sakit hati Sabrina menyusuri jalanan dengan tujuan tak jelas.
Hingga saat langit berubah gelap, Sabrina memutuskan untuk mendatangi restoran yang sering dia datangi bersama Karin. Makan makanan enak, dia pikir akan sedikit meredakan rasa kesalnya.
Namun, saat tiba di parkiran dan keluar dari mobil. Sabrina dibuat terkejut karena melihat Karin berada di tempat itu juga, dan dia bersama Tara. Orang yang sangat Sabrina hindari.
"Tara," gumam Sabrina lirih.
"Kenapa mereka harus ada di sini?"
Sabrina buru-buru berbalik dan hendak masuk kembali ke mobil, tapi terdengar suara Karin memanggilnya.
"Mbak Sabrina!" panggil Karin.
Sabrina pun berbalik dan berpura-pura terkejut. "Loh, Karin."
Karin menghampiri Sabrina, dan di belakangnya tentu saja mengekor sosok Tara.
"Hai, Mbak. Enggak nyangka bisa ketemu disini loh. Mbak mau makan di sini?" tanya Karin.
"Hehe iya. Tadi aku lagi jalan-jalan terus lapar, makanya singgah kesini," jawab Sabrina mencoba menutupi rasa gugup.
"Sama Pak Wijaya?" tanya Karin sambil celingak celinguk mencari keberadaan Pak Wijaya.
Sabrina menggeleng. "Enggak aku sendiri kok. Suamiku lagi ada meeting sama kliennya."
"Ya udah kalau begitu gabung sama kita aja," ajak Karin.
"Ah, enggak enak ganggu orang yang lagi kasmaran."
"Ih, enggak apa-apa kok. Mas Tara juga pasti enggak keberatan," jawab Karin sambil menatap Tara.
Sabrina menatap Tara, dan ketika matanya beradu, dia merasa hatinya berdesir, dan terasa sakit.
"Iya, anda bisa bergabung dengan saya dan Karin," jawab Tara begitu tenang.
Sabrina pun mengangguk lalu mengikuti Karin dan Tara ke dalam restoran. Mereka bertiga duduk dalam satu meja, lalu Karin tiba-tiba berpamitan ke toilet.
Sabrina diam-diam melirik Tara yang tengah sibuk menatap buku menu. Bagi Sabrina, Tara yang sekarang tak berbeda jauh dari Tara yang dia kenal sepuluh tahun yang lalu.
Tara tetiba menutup buku menunya dengan keras, dan tak terduga dia menatap Sabrina.
"Apa kabar Sabrina? Apa kamu bahagia sekarang?" tanyanya tiba-tiba.
Sabrina menelan ludahnya, tenggorokannya terasa tercekat, dan dadanya begitu terasa sakit mendengar pertanyaan tersebut.
"Aku baik ... dan aku bahagia," jawab Sabrina dengan suara sedikit gemetar. "Bagaimana dengan kamu?"
"Seperti yang kamu lihat aku juga bahagia. Sekarang aku sukses, dan sebentar lagi aku akan menikah dengan Karin," sahut Tara.
"Baguslah. Karin itu perempuan baik dan polos. Tolong jaga dia dan jangan sakiti dia," pinta Sabrina sambil terus mencoba terlihat biasa saja.
Tara terkekeh kecil. "Tentu saja aku akan menjaga Karin dengan baik. Kamu tahu kan sedari dulu aku tak pernah menyakiti perempuan. Yang ada dulu malah aku dikhianati oleh perempuan yang sangat aku cintai."
Sabrina menelan salivanya lagi, dan mendadak air matanya mulai terasa mendesak keluar. Bayangan masa lalu yang begitu indah dan sedih seolah terlintas di kepalanya.
"Lalu apa kamu masih mengingat perempuan yang berkhianat itu? Apa kamu masih mencintainya?"
Sabrina tiba-tiba menanyakan hal itu. Dia hanya ingin tahu bagaimana perasaan Tara yang sebenarnya. "Masih adakah aku di hati kamu, Bian?" batin Sabrina.
Tak dia duga Tara menggeleng. Tara tersenyum sambil mengangkat kedua bahunya. "Tidak, aku tidak pernah mengingatnya lagi. Dia hanya masa lalu yang kelam. Untuk apa aku mengingatnya lagi?"