Menunggu selama empat tahun lebih tanpa kepastian, Anya bahkan menolak setiap pinangan yang datang hanya untuk menjaga hati seseorang yang belum tentu ditakdirkan untuknya. Ia tetap setia menunggu, hingga sebuah peristiwa membuat hidupnya dan seluruh impiannya hancur.
Sang lelaki yang ditunggu pun tak bisa memenuhi janji untuk melamarnya dikarenakan tak mendapat restu dari keluarga. Di tengah hidup yang semakin kacau dan gosip panas yang terus mengalir dari mulut para tetangga, Anya tetap masih berusaha bertahan hingga ia bisa tahu akan seperti apa akhir dari kisahnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rijal Nisa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kegelisahan Hati Anya
Arya yang kebetulan baru keluar dari kamar mandi, buru-buru bersembunyi ketika melihat Anya sedang memarahi Sasha. Lelaki itu tidak mau ikut campur, jadi dia harus cari tempat aman sampai Anya kembali masuk ke dalam kafe itu lagi.
Andai saja mereka tahu Anya bekerja di sana, mereka pasti tidak akan datang dan makan di tempat tersebut.
"Kenapa masih di sini? Ayo pulang! Jangan bilang kalau kamu masih nunggu Arya."
"Ya iyalah aku nungguin dia, aku ke sini kan sama dia."
"Masih berani kamu nungguin dia, hah!? cepat naik ke sini! Biar aku anter!" tegas Anya, dia berjalan menuju tempat di mana sepeda motornya terparkir.
Sasha tidak bisa membantah, dia nurut begitu saja. Sasha tahu betul bagaimana sikap Anya kalau sudah marah, dalam hati kecilnya ia terus saja mengumpat sang kakak.
Sasha benci karena tidak bisa melakukan apa pun sesuka hati, dia merasa kalau Anya selalu ikut campur akan urusan pribadinya.
"Kak, kamu udah berlebihan banget, kamu udah terlalu ikut campur dalam masalah pribadi aku. Kamu itu sok suci tau enggak sih!" cibir Sasha begitu turun dari motor.
Anya memasang ekspresi datar dan menatap dingin ke arah Sasha.
Untuk beberapa saat tak ada komentar, ia terdiam. Namun, bukan berarti Anya tidak bisa membela diri. Ia hanya bingung dengan pikiran adiknya yang sempit itu.
"Aku gini juga buat ngelindungi kamu dari pengaruh buruk Arya, kamu sadar enggak? Kamu itu cuma dimanfaatin sama dia."
Sasha tidak percaya dengan apa yang dikatakan Anya, bagi dia, Arya adalah satu-satunya orang yang paling mengerti akan perasaannya lebih dari siapa pun.
"Arya laki-laki baik, dia bukan tipe cowok yang seperti kamu pikirkan, Kak!" teriak Sasha marah. Ia berjalan masuk ke rumah, dan karena marah ia membanting pintu hingga menimbulkan suara keras.
Brak!
Anya tidak peduli lagi, yang penting adiknya itu sudah berada di rumah.
Saat memutar motornya hendak kembali ke tempat kerja, Anya berpapasan dengan ayahnya di depan gerbang.
Tatap mata sang ayah begitu dingin, mereka bahkan jarang bertegur sapa.
Hal ini terjadi semenjak Anya suka berkomentar akan sikap kedua orangtuanya yang salah dalam mendidik sang adik.
****
Langit perlahan-lahan mulai kelabu, di luar angin berhembus kencang.
Hari sudah beranjak sore, kafe juga sudah ditutup. Jadi, Anya menghabiskan waktunya untuk istirahat sambil menikmati senja di taman belakang kafe Windi.
Di taman bunga yang dia rekomendasikan, dan kemudian disetujui oleh Windi. Semua bunga di taman itu dia sendiri yang menanamnya, tapi ada beberapa juga yang ditanami oleh Windi.
"Kadang aku ngerasa lelah sama semua ini." Anya menarik napas berat.
"Lo terlalu berlebihan, An."
"Gimana enggak berlebihan, Win. Aku khawatir sama Sasha, dia itu perempuan. Aku harus jagain dia 24 jam," kata Anya.
"Anya, sahabat terbaik gue. Denger ya! Sasha itu udah gede, dia bukan lagi bayi yang harus lo jagain tiap waktu. Dia udah bisa jaga diri sendiri, lo itu terlalu khawatir akan keadaan dia, sekali-kali lo juga harus mikir gimana cara buat diri sendiri bahagia," ucap Windi menasihati.
"Sasha lebih suka hidup bebas, dia merasa aku terlalu mengekangnya. Tanpa dia sadari, kebebasan yang diberikan oleh ayah dan ibu telah menjadi bom waktu, dan semua itu akan menghancurkan hidupnya dalam hitungan detik." Anya menatap luruh ke depan, pandangan kosongnya membuat Windi tertegun.
Tentu banyak yang bergelayut di pikiran sahabatnya itu, Anya memang terbuka akan banyak hal padanya, tapi tidak semua.
Windi sadar kalau masih banyak hal yang berusaha ditutupi oleh Anya dari dia.
"Kita udah berteman lama, Nya. Dari orok kita udah saling kenal, lo kalau lagi punya pikiran, banyak beban, lo bisa cerita sama gue."
"Aku takut, Win. Beberapa dari kejadian masa lalu selalu ngebayangin aku, mereka seperti mimpi buruk yang enggak mau pergi dan tetap bersamaku di malam-malam sunyi," ujar Anya, sudut matanya mulai berair, bibirnya seketika kering, dan wajahnya mendadak pucat.
Windi masih belum paham, ia menatap dalam netranya, adakah jawaban di sana? Jawaban dari setiap perkataannya barusan.
Di detik berikutnya Windi menggeleng. "Aku enggak paham, apa maksud kamu?"
"Kejadian waktu kita masih SMP, kamu masih ingat? Tentang bang Tino sama kak Elsa?"
Windi mengerutkan keningnya, mulai mengingat. Ya, kejadian itu memang sulit untuk dilupakan, sejak saat itulah Anya memiliki banyak masalah dan lebih banyak diam di sekolah, dia bahkan menjauhi semua teman lelakinya. Namun, siapa sangka kalau dia malah bertemu dengan Rizki dan bisa begitu mudahnya dekat dengan cowok itu.
"Anya, itu udah lama. Cuma masa lalu, sebaiknya lo enggak usah ingat-ingat lagi masalah itu," saran Windi.
"Gimana caranya aku bisa lupa, Win. Setiap malam, aku mimpi buruk karena masalah itu, aku takut Sasha jadi seperti kak Elsa. Aku takut karena bang Tino pernah berbuat hal tidak senonoh pada kak Elsa, yang menyebabkan dia hamil. Gimana kalau hal itu jadi kembali pada Sasha?"
Keringat dingin seketika bercucuran di kening Anya, ketakutan itu adalah rasa yang sama tatkala ia terjaga di tengah malam.
Cibiran dan cemoohan warga telah menjadi mimpi buruk dan membuatnya begitu terpukul. Mungkin kedua orangtuanya tidak lagi peduli akan masalah itu, tapi Anya, dia tidak bisa lupa begitu saja.
"Aku seorang perempuan, bagaimana kalau keluarga Rizki mengungkit kejadian itu dan kami sudah pasti tidak ada harapan untuk bersama?"
Windi terpaku diam, kini ia paham bagaimana keresahan hati sahabatnya setiap waktu. Kalau dia berada di posisi Anya, dia juga akan berpikiran seperti itu.
Latar belakang keluarga Anya, semua masa lalu keluarganya pasti akan dijadikan alasan untuk menolaknya menjadi menantu di keluarga Rizki.
"Lo tenang aja, gue yakin kok kalau mereka udah ngelupain masalah itu. Kan ini lo, Nya. Lo punya catatan baik di hidup lo. Tetap berpikir positif! Jangan jadi pesimis kayak gini dong, ayo tetap semangat!"
Windi mengangkat tangannya berusaha menyemangati Anya.
Senyum tulusnya mampu membuat sedih di wajah Anya perlahan menghilang. Windi memang sahabat terbaiknya, dia selalu ada setiap Anya butuhkan.
"Makasih, ya. Makasih karena udah luangin waktu buat dengerin keluh kesah aku," ucap Anya penuh haru.
"Santai, kayak sama siapa aja lo. Udah sore ni, ayo pulang, entar dicariin mak bapak lo lagi," suruh Windi. Sedangkan dia masih duduk santai di bangku itu.
"Kamu sendiri enggak mau pulang?"
Windi menoleh ke samping, melihat Anya yang sudah bangun sambil mengambil tas sampingnya.
"Gue enggak mau ketemu Adnan, mama sama papa juga terus nanyain kapan gue mau nikah," jawab Windi lesu.
"Kalau sudah ada calonnya kenapa enggak gas aja, Win?"
"Belum dapet yang cocok, Nya."
"Ya udah, aku duluan ya! Assalamualaikum!" Anya memberi salam seiring dengan mengayunkan kakinya menuju pintu belakang.
"Waalaikumsalam, hati-hati, An!" seru Windi dengan lantang.
****
Anya baru saja merebahkan tubuhnya ke atas kasur, rambutnya masih basah dan belum kering sepenuhnya.
Ia duduk bersandar di headboard ranjang, rambutnya masih dililit handuk. Anya menatap layar gawainya, satu pesan muncul kemudian. Pesan dari Rizki, jantung Anya berdebar tak karuan.
Namun bibirnya tak berhenti tersenyum senang, apa yang ada di pikiran gadis itu. Dia sudah lama menanti kabar dari sang pujaan, Anya sangat merindukan Rizki.
[ Anya, besok aku mau ke rumah. Kamu ada waktu kan?]
"Besok? Tapi aku harus kerja, gimana dong?" Anya tidak bisa meninggalkan pekerjaannya, tapi dia juga tidak bisa mengabaikan Rizki.
[Malam ini aja, Mas. Kebetulan ada ayah sama ibu. Bawa adikmu sekalian, biar ada temennya]
Anya membalas setelah berpikir cukup lama.
Masih awal, belum jam sembilan. Itu artinya dia dan Rizki masih bisa bertemu.
Anya menyipitkan matanya karena pesannya sudah centang biru, tapi tidak ada balasan apa pun.
"Ternyata cuma diread doang," lirih Anya, "apa dia keberatan ya?" pikirnya.
Di luar kamar, terdengar suara ayah dan ibunya yang tengah bertengkar perihal Sasha.
Kali ini masalah apa lagi yang dibuat Sasha? Anya bangkit dan keluar dari kamar.
Ceklek!
Baru saja gagang pintu dipegang, pintunya sudah duluan terbuka.
"Ibu?"
Anya kaget melihat ibunya sudah berdiri di depannya dengan mata memerah dan napas memburu.
PLAK!
Kepala Anya serasa pusing, tamparan sang ibu begitu keras mendarat di pipi halusnya. Namun, kenapa dia ditampar? Apa kesalahannya?