Balqis Azzahra Naura atau akrab di sapa Balqis, terpaksa menerima tawaran gila dari seorang pria beristri yang juga CEO di perusahaan tempat dia bekerja sebagai sekretaris. Faaris Zhafran Al-Ghifari, CEO yang diam-diam menyukai sekretaris nya sendiri, saat dia tau gadis itu butuh uang yang tak sedikit, dia memanfaatkan situasi dan membuat gadis itu tak bisa menolak tawaran nya. Tapi setelah melewati malam panas bersama, Faaris menjadi terobsesi dengan Balqis hingga membuat sekretaris nya merangkap juga menjadi pemuas nya. Tapi suatu hal yang tak terduga terjadi, Elma pergi untuk selamanya dan membuat Faaris menyesal karena telah menduakan cinta sang istri. tanpa dia tau kalau Elma dan Balqis memiliki sebuah rahasia yang membuat nya rela menjadi pemuas pria itu. Saat itu juga, Balqis selalu datang memberi semangat untuk Faaris, selalu ada saat pria itu terpuruk membuat Faaris perlahan mulai mencintai Balqis dengan tulus, bukan hanya sekedar nafsu semata.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rha Anatasya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 26
Faaris masih duduk termenung di kursi tunggu, belum ada tanda-tanda kalau Balqis akan segera di pindahkan ke ruang rawat, membuat Faaris kesal karena dia ingin segera melihat keadaan Balqis.
"Permisi Tuan, apa anda keluarga Nona yang di dalam?" Tanya seorang suster yang baru keluar dari ruangan tempat Balqis.
"Ya, saya calon suami nya. Bagaimana keadaan nya?" Tanya Faaris, tanpa berpikir panjang dia mengenalkan Dirinya sebagai calon suami Balqis.
"Nona sudah sadar dan dia menanyakan anda, silahkan masuk saja." Suster itu mempersilahkan Faaris masuk ke dalam ruang perawatan itu.
"Baik, terimakasih Sus."
"Tapi sebaiknya jangan terlalu berisik, meskipun sudah sadar tapi keadaan nya masih sangat lemah." Peringat suster itu, Faaris hanya menganggukan kepala nya mengerti. Lalu masuk ke dalam ruangan, dia melihat Balqis yang sedang memejamkan mata nya.
"Balqis.." Panggil Faaris pelan, membuat perempuan itu langsung membuka kedua mata yang di hiasi bulu mata lentik itu.
"Tuan, kenapa saya disini? Lalu, kenapa anda juga tak pulang?"
"Tadi kamu pingsan di pesta, jadi aku membawa mu kesini. Lagi pun, bagaimana bisa aku meninggalkan mu dalam kondisi seperti ini? Tak mungkin, Balqis." Jawab Faaris sambil mengusap pucuk kepala Balqis.
"Saya pingsan? Kenapa?"
"Kamu kelelahan Balqis, apa kamu tau kalau ada kehidupan lain di rahim mu?" Tanya Faaris akhirnya, membuat Balqis mengernyit. Seperti nya dia belum mengerti kemana arah pembicaraan Faaris.
"M-aksud anda?"
"Kau tak tau kalau kau sedang hamil, Balqis?" Tanya Faaris dengan tatapan tajam nya, awalnya dia menyangka Balqis tau dan menyembunyikan kehamilan nya. Tapi melihat reaksi yang di tunjukan perempuan itu, sepertinya Balqis juga tak tau kalau sebelumnya dia sedang hamil.
"S-saya hamil? Tak mungkin Tuan, itu tak mungkin."
"Bagaimana itu tak mungkin sedangkan dokter yang mengatakan nya sendiri, Balqis. Tapi sayang, kau terlalu ceroboh dan membuat anak ku pergi." Ucap Faaris sendu. Dia menatap Balqis dengan nanar.
"Pergi? Aku keguguran?"
"Ya, itu karena kau tak menjaga anak kita dengan baik." Faaris malah menyalahkan Balqis, padahal dia sendiri tidak tau kalau dirinya sedang mengandung anak Faaris.
"Maafkan kecerobohan saya tuan, tapi saya berani bersumpah. Saya benar-benar tak tau kalau saya hamil, tak ada gejala-gejala seperti orang hamil kebanyakan tuan." Ucap Balqis, bagaimanapun dia ikut menyesal karena tak menjaga diri dengan baik. Meski dia memang tak berharap hamil anak pria itu, tapi jika memang itu terjadi dia akan menjaga nya dengan baik dan sepenuh hati. Tapi masalahnya, dia tak tau menau kalau dia hamil. Dia tak merasakan apapun, tak ada mual-mual pagi hari, atau pusing dan semacamnya.
"Aku terlanjur kecewa dengan mu Balqis!"
"Tapi tuan, saya benar-benar tak tau saya sedang hamil." Ucap Balqis, tapi Faaris pergi keluar dari ruangan Balqis, entah kemana. Meninggalkan Balqis yang masih mencerna semua nya, dia hamil tapi bagaimana bisa dia tak tau kalau ada kehidupan lain dalam rahim nya?
Rasanya cukup sakit saat dia kehilangan hal berharga yang bahkan dia tak tau kalau ada janin di rahim nya, tapi dia malah pergi sebelum Balqis sempat memberikan yang terbaik untuk nya. Air mata Balqis meluncur begitu saja, sakit. Sangat sakit, dia kehilangan anak pertamanya, dan lebih menyakitkan nya lagi Faaris menyalahkan nya karena tak bisa menjaga dirinya dengan baik.
"Kenapa dia menyalahkan aku? Yang terpukul disini, bukan hanya dia tapi aku juga." Gumam Balqis di sela tangis nya.
Balqis merasa shock dengan kenyataan yang baru dia ketahui, sangat menyedihkan memang.
"Permisi, selamat malam Nona. Minum obat dulu, agar luka anda cepat pulih." Ucap Suster dengan ramah.
"Anda menangis? Sebaiknya jangan banyak berpikir berat dulu, Nona. Kondisi anda masih sangat lemah." Peringat suster itu.
"Baik sus, terimakasih."
"Kehilangan itu sudah biasa terjadi Nona, tapi rahim anda baik-baik saja, anda akan bisa mengandung kembali. Jangan bersedih Nona, semoga setelah kesedihan ini ada kebahagiaan yang tuhan siapkan untuk Nona." Ucap suster itu memberi semangat pada Balqis yang sedang down saat ini.
"Terimakasih suster."
"Sama-sama, silahkan di minum obat nya. Setelah selesai anda harus beristirahat, agar cepat sembuh." Balqis mengangguk dan segera memakan beberapa butir obat itu dalam sekali telan.
"Saya permisi dulu, nanti malam saya kesini lagi untuk mengecek antibiotik anda. Selamat beristirahat Nona." Suster itu pun pergi dan menutup pintu dengan perlahan. Balqis membaringkan tubuh nya, terasa sakit, ngilu, membuat nya tak bisa bergerak bebas.
"Menyakitkan sekali, harus kehilangan bahkan sebelum tau kalau kamu hadir di rahim Mama, Nak." Gumam Balqis sebelum dia tertidur karena pengaruh obat yang baru saja dia minum.
Balqis tertidur pulas, melupakan sejenak rasa sakit dan kesedihan nya karena kehilangan anak pertama nya bersama Faaris, meski tak di harapkan tapi rasanya tetap sakit kan? Mengingat anak itu tak bersalah, yang bersalah adalah orang tua nya.
Sedangkan Faaris, dia memutuskan berangkat ke luar kota malam ini juga. Dia pulang ke rumah untuk berkemas dan berpamitan pada sang istri.
"Sayang, aku berangkat malam ini ya.." Elma yang sudah tertidur, samar-samar merasakan ada suara suami nya, langsung membuka kedua mata nya perlahan.
"Mas, kok sudah pulang?" Tanya Elma, dia melirik jam dinding baru menunjukkan pukul 3 dini hari.
"Iya sayang, keberangkatan Mas ke luar kota di percepat. Jadi Mas harus berangkat kesana malam ini juga." Jawab Faaris, dia memasukkan beberapa setel pakaian nya ke dalam koper.
"Hati-hati di jalan Mas, berangkat dalam keadaan sehat, pulang juga harus dalam keadaan sehat ya."
"Iya, tentu saja sayang. Mas pergi dulu ya, sampai jumpa 3 hari lagi. Aku mencintaimu." Faaris mengecup mesra kening Elma, lalu pergi keluar kamar dengan menyeret koper nya.
Elma menatap punggung suami nya yang menghilang di balik pintu, terasa ada yang aneh dengan suami nya. Apa pria itu sedang punya masalah yang membuat nya ingin menghindar? Tapi apa itu, dia tak tau hanya bisa sekedar menebak tanpa berani bertanya lebih lanjut.
Faaris sedang dalam perjalanan ke bandara, dia menatap lurus ke depan dengan tatapan kosong. Hanya ada keheningan yang menemani sepanjang perjalanan mereka dari mansion hingga ke bandara, membuat Pak Agus yang tau masalah tuan nya itu memilih ikut diam saja daripada kena semprot tuan bos nya yang tengah di landa kegalauan itu.
"Tuan, sudah sampai." Faaris melirik ke samping, benar saja dia sudah berada di kawasan bandara.
"Terimakasih Pak, saya pergi dulu." Pamit Faaris.
"Hati-hati di jalan Tuan." Faaris hanya mengangguk dan pergi menjauh dari hadapan Pak Agus.
Faaris memilih menghindar dari Balqis dulu, dia tak mau menyakiti perempuan itu dengan kata-kata pedas nya, padahal nyatanya Balqis sudah terluka dengan kata-kata Faaris yang seolah menyalahkan nya atas kepergian anak nya.
Singkat nya, Faaris sudah duduk di pesawat yang beberapa menit lagi akan lepas landas.
Faaris menjadi pendiam, dia juga murung. Rencana nya ingin memadu kasih dengan Balqis gagal sudah, Balqis juga tak mengantar nya ke bandara seperti rencana nya, semua nya gagal total.
"Balqis, maaf aku pergi tanpa berpamitan. Sebaiknya aku menghindar darimu dulu, kecewa sekali dengan semua ini." Gumam Faaris, dia mengeluarkan ponsel nya. Menatap kilas poto Balqis yang dia ambil secara diam-diam saat kedua menghadiri rapat di sebuah restoran, Balqis terlihat cantik meskipun dari samping. Tapi Faaris terlanjur kecewa pada perempuan itu, dia menonaktifkan ponsel pintar nya dan kembali memasukan benda canggih itu ke dalam saku celana nya.
Faaris memutuskan tidur sepanjang perjalanan nya, melupakan sejenak ke kecewaan nya pada Balqis. Meskipun dia sadar benar ini semua bukan salah Balqis saja, tapi dia juga ikut andil dalam masalah ini. Dia yang begitu tak tau tempat,dimana saja dia menginginkan nya, dia melakukan nya tanpa peduli pada Balqis, dia begitu egois dan hanya peduli pada nafsu nya saja.
Di rumah sakit, Dokter Ilham berusaha menghubungi nomor Balqis tapi tak satu pun panggilan nya di angkat oleh perempuan cantik itu.
"Isshh, kemana lah Balqis ini."
Gumam Dokter Ilham, dia kembali mencoba menghubungi nomor Balqis lagi, tapi masih tak di angkat juga.
"Apa mungkin masih tidur? Tapi biasa nya jam segini, Balqis sudah kesini." Dokter Ilham melihat jam yang melingkar di tangan nya menunjukkan pukul 8 lebih, hampir jam 9 pagi.
Sudah terlalu siang untuk pergi bekerja.
"Nanti saja ku hubungi lagi."
Gumam Dokter Ilham lalu pergi dari ruangan ibu Fatma.
Balqis baru saja terbangun dari tidur nyenyak nya, dia meringis pelan. Perut nya terasa begitu ngilu, terasa ada luka yang menggores di dalam nya.
"Sudah siang rupanya." Gumam Balqis sambil melihat ke sekeliling, dia mendesah kecewa. Dia berharap Faaris disini menunggui nya, tapi ternyata pria itu tak ada. Salah nya juga terlalu berharap pada pria itu.
"Jangan terlalu berharap, Balqis. Sadar diri dia suami orang, isshh kau ini." Gumam Balqis sambil menepuk kening nya cukup keras.
Krieett..
Pintu terbuka, menampilkan suster dengan seragam serba putih nya. Dia tersenyum manis saat melihat Balqis sudah bangun juga tengah melihat ke arah nya.
"Selamat pagi Nona Balqis. Bagaimana, apa ada yang terasa sakit?"
"Perut saya sus, ngilu sekali." Jawab Balqis.
"Itu wajar Nona, kemarin kan Nona habis di kiret."
"Kiret? Apa itu?" Tanya Balqis.
"Mengambil janin Nona dari dalam rahim, jadi ngilu nya pasti karena goresan alat-alat medis."
"Tapi tak ada jahitan, Sus?"
"Tidak Nona, karena tangan dokter yang langsung masuk ke dalam."
"H-ahh?"
"Sudahlah Nona, ini sarapan dan obat yang harus anda minum. Untuk seminggu kedepan anda di rawat disini." Saran suster itu.
"Saya akan pulang sekarang, Sus. Saya harus melihat keadaan ibu saya di rumah sakit, Sus."
"Saya tak bisa melarang anda Nona, tapi Nona harus menebus obat terlebih dulu. Sarapan terlebih dulu." Ucap Suster itu.
"Baik sus, terimakasih." Jawab Balqis, dia mengambil mangkuk berisi bubur dan memakan nya dengan perlahan, rasa ngilu di perut nya membuat Balqis tak bisa makan banyak.
Setelah sarapan dan memakan obat nya, Balqis meminta suster itu membuka infusan nya, dia harus pulang. Dia tak ingin terus berada di tempat ini.
Balqis berjalan tertatih, meski begitu dia tetap berusaha kuat. Dia tak mau menyusahkan siapapun, atau bergantung pada siapapun. Dia menebus obat dengan uang nya sendiri, keluar dari rumah sakit dan menaiki taksi untuk sampai kerumah sakit tempat ibu nya di rawat.
Singkat nya, taksi yang membawa Balqis sampai di depan rumah sakit itu, Balqis turun setelah membayar ongkos nya sesuai harga. Lagi-lagi Balqis kesusahan berjalan, hampir saja terjatuh kalau saja sepasang tangan kekar tak menangkap nya dengan cepat. Balqis mendongak, rupanya Dokter Ilham yang tak sengaja lewat dan melihat Balqis kesulitan mengatur langkah nya sendiri, dia berlari dan benar saja kalau dia tak gerak cepat Balqis pasti sudah terjatuh.
"Kau tak apa-apa balqy?" Tanya Dokter Ilham.
"Ti-tidak Dok, terimakasih sudah menolong saya." Ucap Balqis pelan.
"Wajah mu pucat, kau sakit?"
"Tidak, saya baik-baik saja. Bagaimana keadaan ibu saya, Dok?" Tanya Balqis lirih.
"Masih seperti kemarin, Balqis. Kau darimana saja? Aku menelpon mu dari tadi pagi, tapi kau tak mengangkat nya sama sekali. Kau baik-baik saja kan? Apa kau punya masalah?"
"Tidak dokter, saya baik-baik saja. Saya permisi dok." Balqis kembali melanjutkan langkah nya dengan perlahan. Dia memaksakan langkah nya, perjuangan yang cukup panjang untuk sampai ke ruangan ibu nya di rawat.
Dokter Ilham menatap Balqis yang nampak aneh, dia berjalan sangat pelan seolah ada yang sedang dia sembunyikan, sesekali memegangi perut nya dan juga ada plester di punggung tangan nya.
'Entah apa masalah yang sedang kamu hadapi Balqis, tapi hatiku merasa kamu sedang tak baik-baik saja. Bahkan dari tatapan mu saja, aku tau ada kesedihan yang berusaha kau sembunyikan. Semoga kau bisa melewati cobaan mu sebaik mungkin.' Batin Dokter Ilham . Dia berbalik dan pergi karena ada telepon penting dari orang tua nya.
Balqis membuka pintu ruangan ibu nya, tapi dia di buat terkejut setengah mati saat melihat siapa yang sedang duduk di sofa dengan tatapan lurus ke arah nya.
"Selamat siang."
"Ya, siang. Darimana saja kau?"
Tanya nya, siapa lagi kalau bukan Vander yang belum kapok setelah di tendang dan di tampar oleh Faaris, pria itu masih menginginkan Balqis.
"Bukan urusanmu!" Jawab Balqis singkat, dia meletakkan tas slempang nya di meja nakas. Membuka botol minum dan meminum isinya hingga tandas.
"Kau kehausan?"
"Karena aku minum, ya berarti aku haus. Begitu saja kau tak tau?" Balik Tanya Balqis dengan ketus.
"Kenapa kau selalu saja ketus padaku, Balqis? Sedangkan pada Faaris, kau berubah jadi perempuan lembut. Apa kau menyukai pria itu? Sadarlah Balqis, dia pria beristri."
"Suka atau tidak itu urusanku, bukan urusanmu. Jadi berhentilah ikut campur dalam urusanku! Kau takkan di gaji karena mengurusi urusanku." Cetus Balqis membuat Vander bungkam.
"Pergilah, kumohon. Aku sangat tak ingin bertemu dengan mu, aku tak suka ada pria yang berbuat kurang ajar."
"Aku minta maaf Balqis, sungguh aku tak berniat melakukan itu padamu. Sungguh, Balqis!"
"Jangan bicara padaku atau menemui ku lagi, aku lelah ingin istirahat." Jawab Balqis tanpa menatap Vander.
"Baiklah, aku harap kamu bisa memaafkan aku."
"Pergilah." Usir Balqis lagi. Vander pun pergi dari ruangan rawat ibu balqy, membawa rasa penyesalan.
Balqis membaringkan tubuh lelah nya di ranjang, sesekali dia melirik ke arah ibu nya yang masih terbaring lemah tanpa bergerak sedikit pun, dia begitu merindukan sosok bawel ibu nya.
"Bu, aku rindu. Aku benar-benar tak punya sandaran, tempat berkeluh kesah. Kemana lagi kalau pada Ibu." Gumam Balqis, dengan mata yang berkaca-kaca.
Di belahan bumi lain, Faaris baru saja sampai di hotel. Dia menginap dulu setelah landing beberapa menit lalu, dia menghela nafas nya. Terasa berat, apalagi disana dia menghindari masalah besar. Bukan nya dia tak mau masalah ini berlarut-larut, tapi melihat Balqis seketika hati nya terasa sesak.
Faaris membaringkan tubuh nya di ranjang empuk, menatap langit-langit kamar yang dia tempati. Hati nya bimbang, dia begitu merindukan Balqis tapi ego nya berkata jangan menghubungi perempuan itu sebelum hati nya merasa tenang.
"Balqis, maafkan aku. Aku begitu merindukan mu saat ini, sungguh aku tak bermaksud menyakiti mu dengan kata-kata ku." Gumam Faaris, dia menatap poto Balqis di ponsel nya. Hanya itu yang bisa dia lakukan, ingin sekali memeluk perempuan itu tapi apa daya.
Dia terlalu bertindak terburu-buru karena di kuasai emosi, dia baru sadar kalau Balqis pasti merasa sendirian sekarang. Tak ada dirinya yang menunggui nya di rumah sakit, bagaimana keadaan nya saat ini? Luka dalam nya pasti sangat menyakitkan.
"Balqis aku rindu." Faaris bisa apa, dia terlanjur berada di luar kota saat ini. Mau menghubungi duluan pun dia gengsi, jadi hanya bisa merutuki kebodohan nya dalam mengambil keputusan terburu-buru tanpa membicarakan masalah ini secara baik-baik.
Egois pasti berbuah dengan penyesalan, itulah yang di rasakan Faaris sekarang. Tapi menyesal kemudian tak ada guna nya, jadi dia hanya bisa merutuki nya dalam hati.
Tiga hari berlalu sudah, selama itu pula Faaris melewati hari-hari nya tanpa Balqis.
Tanpa berhubungan apapun dengan wanita itu. Bahkan tanpa panggilan atau sekedar mengirim pesan untuk sekedar bertukar kabar. Balqis maupun Faaris tak ada yang memulai lebih dulu, mereka lebih suka bertanya dalam hati, menerka kiranya sedang apa disana?
Faaris fokus bekerja, sore nanti dia akan kembali ke negara asalnya. Dia tak sabar ingin memeluk perempuan yang membuat tidur nya tak nyenyak 3 hari ini. Perempuan yang membuat seluruh dunia nya berpaling.
Sedangkan di sana, Balqis tengah merasakan kebahagiaan yang teramat membahagiakan. Setelah berbulan-bulan ibu nya koma, akhirnya beliau sadar juga. Itu suatu bentuk keajaiban yang tuhan berikan padanya, dimana dia sudah tak berharap banyak tapi masih setia menunggu kapanpun ibu nya akan sadar, dan penantian itu berbuah manis.
"Ibu, ibu mau makan?" Tanya Balqis, tapi ibu nya hanya melirik dengan pandangan sendu. Seperti nya dia tau apa yang sudah Balqis perbuat untuk membiayai operasi nya.
"Na-k, maafkan ibu. Ibu membuat mu mengorbankan masa depan mu hanya demi membayar biaya operasi ibu." Ucap nya, dia menatap wajah putri nya dengan sendu.
Deegg..
Balqis mematung, dia tak menyangka ibu nya tau kalau dia melakukan semua itu.
"Tak apa Bu, ini semua Balqis lakukan demi Ibu. Biarlah orang memandang Balqis seperti apa, yang jelas Ibu sadar saja Balqis sudah senang."
"Kemana pria itu, Nak?"
"Pria? Pria yang mana, Bu?"
Tanya Balqis, pura-pura tak tau maksud ibu nya.
"Pria yang sudah melakukan nya padamu, dimana dia?"
"Dia sedang bersama istrinya Bu, atau sedang sibuk bekerja."
Jawab Balqis, membuat ibu nya sedikit terkejut.
"Dia pria beristri?"
"Iya Bu, dia punya istri Bu. Hanya saja beliau punya penyakit, jadi tak bisa melayani kebutuhan biologis nya, jadi dia melampiaskan nya pada Balqis ." Jelas Balqis. Ibu Fatma hanya menganggukkan kepala nya pertanda mengerti, meski dia tau yang di lakukan anak nya itu sangat salah, tapi mau bagaimana lagi? Ini semua sudah terjadi.
"Ibu mau makan?"
"Tidak Nak, ibu belum lapar. Nanti saja ya," Tolak Ibu Fatma.
"Tapi Ibu harus makan, lalu minum obat biar cepet sembuh. Nanti kita pulang dan berkumpul lagi seperti dulu."
Ucap Balqis sambil tersenyum.
"Nanti saja ya Nak, ibu belum lapar."
"Baiklah, Balqis mau keluar dulu sebentar ya."
"Kemana?" Tanya Ibu Fatma.
"Menemui dokter Ilham, ada beberapa yang harus Balqis tanyakan."
"Jangan lama ya, Nak. Ibu masih kangen sama kamu,"
"Iya Bu, Balqis sebentar aja kok." Balqis tersenyum dan mencium kening ibu nya dengan lembut, mengusap pucuk kepala nya, Balqis sangat menyayangi satu-satunya keluarga yang dia miliki saat ini.
Balqis pergi keluar dari ruangan ibu nya, dia perlu tau beberapa hal yang mengganjal di hatinya. Meski dia sangat senang karena ibu nya berhasil melewati masa-masa terberat nya saat ini.
****