Masih berstatus perawan di usia yang tak lagi muda ternyata tidak mudah bagi seorang gadis bernama Inayah. Dia lahir di sebuah kota kecil yang memiliki julukan Kota Intan, namun kini lebih dikenal dengan Kota Dodol, Garut.
Tidak semanis dodol, kehidupan yang dijalani Inayah justru kebalikannya. Gadis yang lahir tiga puluh tahun yang lalu itu terpaksa meninggalkan kampung halaman karena tidak tahan dengan gunjingan tetangga bahkan keluarga yang mencap dirinya sebagai perawan tua. Dua adiknya yang terdiri dari satu laki-laki dan satu perempuan bahkan sudah memiliki kekasih padahal mereka masih kuliah dan bersekolah, berbeda jauh dengan Inayah yang sampai di usia kepala tiga belum pernah merasakan indahnya jatuh cinta dan dicintai, jangankan untuk menikah, kekasih pun tiada pasca peristiwa pahit yang dialaminya.
Bagaimana perjuangan Inayah di tempat baru? Akankah dia menemukan kedamaian? Dan akankah jodohnya segera datang?
Luangkan waktu untuk membaca kisah Inayah
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lailatus Sakinah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bahan Gunjingan
Kabar batalnya pernikahan Inayah menjadi hot topik di kampung itu. Semua orang merasa iba dengan keluarga itu, mereka turut merasakan pasti malu sekali rasanya terutama Inayah pasti sangat terpukul. Namun tidak sedikit pula yang berspekulasi negatif, ada yang mengatakan karmalah, kutukanlah dan banyak hal negatif laiinnya yang akhirnya sampai ke telinga keluarga Inayah.
Siang hari yang seharusnya menjadi puncak acara resepsi berganti dengan kegaduhan karena Ibu Ina tiba-tiba pingsan. Beliau langsung di bawa ke puskesmas terdekat karena setelah satu jam yak kunjung sadar.
Inayah, Indira dan Irfan membawa ibu mereka ke puskesmas, menggunakan mobil milik salah satu anggota keluarga jauh yang masih berada di rumah mereka.
Tangis Inayah dan Indira pun kembali pecah di puskesmas itu. Melihat ibu mereka berbaring tak berdaya rasa bersalah di hati Inayah semakin menggebu. Ibu pasti tidak kuat menahan rasa sakit hatinya, kekecewaan yang dirasakan sangat dalam hingga berakhir sampai pingsan berjam-jam begini.
"Ibu kalian hanya sedang tidur, beliau sudah sadar dari pingsannya dan sekarang sedang menikmati tidurnya. Sepertinya beliau sangat lelah sekali, jadi biarkan beliau istirahat untuk memulihkan energinya. Kami sudah memasang infus agat tidak terjadi kekurangan cairan pada tubuhnya. Kalian sudah bisa masuk dan menunggui Ibu kalian di dalam." penjelasan dokter yang panjang lebar membuang ketiga kakak beradik itu bernafas lega.
"Terima kasih dokter." Irfan uang mewakili berterima kasih dan dibalas anggukan kepala oleh sang dokter yang kemudian pamit untuk memeriksa pasien lain.
Inayah dan kedua adiknya memasuki ruangan dimana ibu mereka dirawat. Air mata kembali membasahi pipi Inayah, tanpa ada yang bersuara ketiganya duduk mengelilingi ranjang pasien yang ditempati Bu Ani. Tatapan mereka tertuju pada wajah wanita paruh baya yang telah melahirkan mereka. Berjuang memenuhi kebutuhan nafkah seorang diri pasca ayah mereka meninggal. Sampai beberapa waktu berlalu ketiganya masih tak ada yang bersuara, mereka larut dalam pikiran mereka masing-masing.
"Teh, aku keluar sebentar ya. Teteh jaga Ibu." Irfan akhirnya bersuara, dia bersiap untuk pergi entah kemana.
"Kamu mau kemana, Fan?" Inayah yang bertanya sementara Indira hanya menganggukan kepalanya tanpa menyahuti.
"Ada yang harus aku lakukan, Teh." jawab Irfan dengan wajah datarnya.
"Jangan bertindak yang akan merugikan kita Fan, tolong ya." Kekhawatiran Inayah masih sangat besar terhadap adik laki-lakinya itu.
Sejak mengetahui fakta pembatalan pernikahan yang dilakukan secara sepihak oleh Farhan, Irfan sepertinya tidak mampu meredam emosinya.
"Aku hanya ingin memastikan sesuatu, Teh."
"Jaga sikap ya." pesan Inayah dan Irfan hanya mengangguk lalu mengucapkan salam dan keluar dari ruangan tempat ibu mereka dirawat.
"Dir, nanti kalau Irfan datang kamu pulang ya, cek keadaan rumah sekalian bawa baju ganti dan kebutuhan ibu yang lainnya."
"Iya, Teh."
Keheningan kembali menyergap ruangan itu. Kedua kakak beradik itu lagi-lagi larut dalam pikiran masing-masing.
"Maafkan Inayah, Bu. Ibu pasti syok karena kejadian ini." batin Inayah.
"Andai Bapak masih ada, pasti gak kayak gini kejadiannya. A Farhan dan keluarganya tak akan semena-mena begini." batin Indira, dia sangat prihatin dengan nasib yang menimpa kakaknya. Padahal selama ini Indira tahu jika kakaknya sangat setia dan tulus tapi laki-laki itu dan keluarganya seolah tidak menganggap sang kakak.
Sementara di tempat lain, Irfan menghentikan motornya di sebrang jalan sebuah gedung yang di dalamnya sedang dilaksanakan pesta pernikahan.
Irfan memarkirkan motornya di luar parkiran gedung, kemudian memakai masker. Dia menyebrang jalanan yang cukup padat karena adanya pesta pernikahan itu, diam-diam dia memerhatikan setiap orang yang datang ke sana. Dia juga memindai setiap sudut yang terjangkau pandangannya mencari sesuatu untuk memastikan dugaannya.
Deg ...
Mata Irfan membola saat semakin dalam dia memasuki area gedung itu, berjalan diantara para tamu yang datang dengan mata kepalanya sendiri dia melihat foto dan nama laki-laki yang menjadi mempelai pengantin adalah laki-laki yang seharusnya hari ini menikahi kakaknya.
Irfan mengepalkan tangannya menahan amarah. Semalam Inayah hanya memberi tahu semua keluarga jika Fathan harus menikah dengan wanita pilihan keluarganya, tapi ternyata hari ini laki-laki itu benar-benar menikah dengan wanita lain.
Inayah tentu mengetahui hal ini, namun dia sengaja tidak memberitahu keluarganya. Tidak ingin mereka semakin kecewa dan malu, biar dirinya saja yang merasakan betapa kesakitan yang dibuat oleh Farhan padanya begitu dalam.
Irfan yang geram mempercepat langkahnya melewati daftar tamu undangan yang harus diisinya. Irfan melangkah menuju pelaminan dimana sepasang pengantin yang diapit kedua orang tua masing-masing tengah tersenyum bahagia.
Irfan tidak bisa menahan dirinya, dia merasa sangat terhina. Apa yang dilakukan Farhan pada sang kakak benar-benar sudah merendahkan keluarganya.
"Selamat Farhan Abdillah atas pernikahannya." kalimat yang diucapkan Irfan dengan suara dingin dan tatapan yang tajam. Tak ada lagi panggilan Aa dari mulut Irfan, menandakan betapa kecewanya dia.
Irfan menyalami pengantin laki-laki itu setelah sebelumnya menyalami kedua orang tua Farhan yang tidak mencurigai sedikit pun siapa dirinya.
Deg ...
Farhan menatap lekat mata yang menatapnya tajam, jantungnya berdegup kencang. Intonasi bicara tamu yang sedang menyalaminya itu terdengar begitu mengintimidasi.
"Tidak ingat saya?" susul Irfan masih dengan suara dingin dan wajah datar.
Perlahan dia melepas masker yang dipakainya.
"Saya Irfan, adik Inayah. Wanita yang telah kamu hancurkan hidupnya." bisik Irfan sambil memeluk Farhan seolah mereka adalah teman lama.
"Irfan ...kamu ..."Farhan tergugu, dia mengenal betul itu Irfan mantan calon adik iparnya.
"Hari ini saking bahagianya, sepertinya kamu lupa jika saat ini juga ada hati wanita yang hancur karenamu dan seorang ibu yang terbaring di rumah sakit karena kesakitan yang dirasakan putrinya."
"Berbahagialah sebisamu, tapi jangan harap Tuhan diam dan membiarkan kedzalimanmu." Irfan melepas pelukannya seiring tamu yang datang dan ingin mengucapkan selamat pada kedua mempelai.
Pemuda yang baru memasuki kuliah semester pertama itu berjalan turun dari pelaminan tanpa menyalami pengantin wanita yang melongo karena uluran tangannya diabaikan.
"Abang, dia siapa?" tanya mempelai wanita dengan wajah kesal karena diabaikan.
"Abang ..." pekik pengantin wanita itu karena pertanyaannya diabaikan, sementara Farhan memang seolah tidak mendengar apapun yang ada di sekitarnya. Di telinganya masih terngiang ucapan Farhan dengan wajahnya yang memucat.
"Harusnya Teh Inay datang dan melemparkan bom ke atas pelaminan mereka." gerutu Irfan saat dia sudah berada di samping motornya. Membuang masker sembarang arah dan kembali memakai jaket dan helmnya.
Hari yang mencekam bagi Inayah dan keluarga pun berlalu. Meskipun tidak jadi menikah Inayah tetap melanjutkan cutinya. Seminggu dia berada di rumah membereskan sisa-sisa kekacauan akibat pernikahannya yang batal.
Gunjingan tetangga tak jarang sampai ke telinga Inayah dan ibunya. Bahkan di pasar tempat sang ibu berjualan, berita batalnya pernikahan Inayah masih menjadi bahan gunjingan. Kampus tempat Indira dan Irfan pun tak kalah ramai dengan berita itu.
Teman-teman dekat Inayah juga banyak yang mengiriminya pesan mempertanyakan alasan batalnya pernikahan itu, dan alasan Inayah sama pada semua orang, belum jodohnya, mohon do'anya.
Wajar saja mereka semua mengetahui berita itu karena sebelumnya mereka juga mendapat undangan pernikahan Inayah dan Farhan.
Saat hari H, Inayah dengan senyum buatannya menyambut para tamu dan mempersilakan mereka menikmati hidangan, sayang cateringnya jika mubazir. Dia juga meminta maaf jika pernikahannya tidak jadi dilangsungkan karena sesuatu hal. Tidak ada alasan pasti yang Inayah dan keluarga sampaikan apa yang menjadi penyebab batalnya pernikahan mereka.
Sebab itulah berita simpang siur dan spekulasi negatif pun bertebaran di perbincangan setiap orang. Tapi Inayah mencoba mengabaikan semua itu dan memilih melanjutkan hidup seperti biasanya.
padahal aku pengen pas baca Inayah ketemu sama siapa ya thor...🤔🤔🤔🤔🤔 aku kok lupa🤦🏻♀️