Abigail, seorang murid Sekolah Menengah Atas yang berprestasi dan sering mendapat banyak penghargaan ternyata menyimpan luka dan trauma karena di tinggal meninggal dunia oleh mantan kekasihnya, Matthew. Cowok berprestasi yang sama-sama mengukir kebahagiaan paling besar di hidup Abigail.
Kematian dan proses penyembuhan kesedihan yang tak mudah, tak menyurutkan dirinya untuk menorehkan prestasinya di bidang akademik, yang membuatnya di sukai hingga berpacaran dengan Justin cowok berandal yang ternyata toxic dan manipulatif.
Bukan melihat dirinya sebagai pasangan, tapi menjadikan kisahnya sebagai gambaran trauma, luka dan air mata yang terus "membunuh" dirinya. Lalu, bagaimana akhir cerita cinta keduanya?
© toxic love
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Eka Lita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 13 : Sang Penyelamat
"Apa aku harus menulis ulang tentang isi hatiku pada buku diary kesayanganku? Mengatakan bahwa semua yang telah aku alami adalah bentuk lancang karena aku sendiri merasa kesulitan, untuk berbicara dengan gamblang!"
Abigail duduk sejenak, dia termenung sesaat setelah Justin berbicara pada Clara. Senyuman datar, menghipnotis Clara untuk mengikuti segala kata-katanya.
"Cowok itu ngapain? Ngambil anak mu?" tanyanya datar. Clara mengangguk. Pikirannya yang kacau membuatnya bercerita sesaat.
"Pernikahan kami berjalan mulus, lalu lahir seorang putri, namanya Carl. Dia anakku satu-satunya. Hanya saja, saat kami bercerai, hak asuh Carl jatuh ke mantan suamiku!"
Pandangan Clara beralih ke Justin. "Kamu mirip dengan saudara laki-laki ku, manis sekali. Dia teman dekat Abigail. Bahkan menjadi kesayangan di keluarga kami!" senyuman Clara sedikit tercetak, meski masih ada buih kesedihan yang tidak luput dari sorot matanya.
"Bilang ke cowokmu, kalau mau uang. Udah aku transfer!" meski tidak benar-benar banyak jumlah nominal yang di kirim. Senyum tipis Clara.
"Terima kasih, Matthew. Uangmu nanti aku kembali 'kan. Terima kasih karena kamu mau menyelamatkanku dari orang jahat itu. Terima kasih. Terima kasih karena kamu berhasil menyelamatkan rumah dan butik milikku!" sujud Clara di kaki Justin. Dia betul-betul tidak menyangka, bahwa, Matthew akan hadir untuk menolongnya lagi.
"Matthew?" Justin menyahut pelan. "Aku Justin, bukan Matthew!"
Memiliki perawakan yang sempurna. Justin sedikit lebih tinggi dari Matthew, wajahnya pun lebih gelap di banding mendiang kekasih Abigail yang telah wafat. Lebih badboy juga tentunya.
"Oh maaf!" Clara berucap. Dia mengusap air matanya.
Sesumbar Justin berkata, "Tidak perlu. Kasih tau mantan suamimu, bahwa uangnya telah ku kirim. Jadi, kalian ngga perlu repot repot cari tempat tinggal baru."
"Kamu baik sekali!" Clara menunduk, memberikan penghormatan.
Di saat itu juga, pandangan Eliza fokus pada laki-laki di hadapannya. Senyum manis memikat. "Justin ini?"
"Pacarnya Abigail tante!" senyum tipis Justin.
Setelah itu dia berbalik. Karena merasa masih di bawah pengaruh alkohol semalam. Dia juga masih terlihat linglung. Termasuk saat mengirim uang dengan nominal kecil pada mantan suami Clara.
"Ada keperluan apa kemari?" tanya Eliza hangat.
"Mau bertemu dan bermain dengan Abigail tante!" jawab Justin. Setelah itu dia menarik tangan Abigail untuk keluar. Berbincang-bincang. Tak lama dari situ, Yeon mengunjungi rumah Eliza. Ada ada perasaan khawatir yang tiba-tiba muncul di benaknya.
"Justin!"
"Masuk mobil, kita jalan-jalan!" baru keluar dari rumah.
"Justin, kok kamu ada disini?" tanya Yeon heran.
Senyuman Justin mengembang, dia membeberkan satu fakta, kemudian dia tersenyum. "Aku pahlawan untuk mereka. Dan aku, adalah orang yang paling berhak dengan mereka!"
Yeon mengernyit, buru-buru dia masuk kedalam rumah Abigail. Senyumannya memudar takkala dia melihat Clara dan Eliza setelah menangis. Ini mengapa Clara tidak mau menikah lagi? Baginya pernikahan adalah satu hal yang menyeramkan bila kita memaksa menikah dengan sosok yang tidak tepat untuk kita.
"Kenapa, Kak?" tanya Yeon parau.
"Rumah dan butik milik Clara hampir saja di gusur oleh mantan suami Clara!" jawab Eliza, "Nak Justin ini, memberikan jaminan dengan uangnya. Jaminan itu membuat perhatian Gerald, mantan suami Clara, teralihkan dari butik dan rumah ini!"
Yeon ingin menangis. Mengapa, hidup Eliza menyedihkan seperti ini? Setelah kepergian mendiang suaminya.
"Aku bakal lebih menjamin hidup kalian selalu aman!" janji Yeon.
O0O
"Aku telah selangkah lebih maju. Gambaran ini ku lihat sebagai cara untuk terus berada disisi dan selalu dekat denganmu." Senyuman licik Justin.
Abigail terenyuh ternyata perlakuan Justin sangat perhatian pada keluarganya. Dia tidak tau harus berbalas budi dengan cara apa. Senyumannya terus tercetak.
"Kenapa?" tanya Justin. Matanya masih sayu.
"Engga, kamu sakit ya?" Abigail bertanya kembali guna untuk menunjukan perhatiannya pada Justin.
"Engga, kok. Aku dari semalaman begadang." jawabnya singkat. Dia tidak ingin memperpanjang obrolan dengan Abigail.
Pandangan wajah mereka semakin mendekat. Justin tersenyum lebar, sesekali bau alkohol masih tercium dari mulutnya. Justin pun mendekatkan mulutnya kearah mulut Abigail. Menyiratkan banyak arti dan pertanyaan. Justin mendekatkan wajahnya ke Abigail, napasnya membentur kulit Abigail, menciptakan sensasi aneh yang sulit diartikan.
"Jangan senang dulu! Sejak tadi aku ingin bertemu denganmu, karena aku ingin menyampaikan sesuatu!" bisik Justin serius. Suaranya berdesir di telinga Abigail, membuatnya merinding.
"Iya," Abigail tersenyum tipis, mencoba menebak apa yang akan dikatakan Justin.
Mereka duduk berdampingan. Abigail setia menemani Justin menyetir mobil. Dia tersenyum lebar. Ingatannya menari-nari. Bagaimana dia bersikap sebaik itu pada Clara dan keluarganya? Dia mengukir ini sebagai gambaran bahwa ini adalah Matthew yang hidup kembali. Ingatannya menari-nari, mencoba mencari kesamaan antara Justin dengan Matthew, kekasihnya yang telah pergi untuk selamanya.
Ingatannya kemudian berputar lagi. Bagaimana terakhir Abigail mencium tangan kekasihnya sebelum pergi selama-selamanya? Karena kanker darah yang mengerogoti tubuhnya.
Abigail tidak percaya bahwa Tuhan mengembalikan Matthew pada dirinya. Meskipun kesamaan wajahnya ada di delapan puluh lima persen, kulit Matthew tentu lebih putih pucat dari Justin.
"Matthew!" senyuman Abigail terukir. Dia mendekat, mengelus pipi Justin lalu mendaratkan ciuman tepat di bibirnya.
"Jadi, apa kata dokter?" tanya Abigail.
Detik detik sebelum kematian Matthew. Dia terlihat lebih tenang, "Hum, aku bertemu Tuhan besok!"
Abigail terlihat parau, mulutnya bergumam, mencoba menolaknya, "Engga, Matthew ku pasti sembuh!" ucap nya sungguh-sungguh.
"Matthew, Papa ku baru saja meninggal!" masih tersirat kesedihan yang mendalam, "Dan aku ngga mau kamu pergi juga!"
Duduk di atas brankar, selang infusan masih menempel sempurna di punggung tangannya. Begitu juga dengan selang oksigen yang membantu pernafasannya.
"Gabi, semua yang terlahir di dunia, cepat atau lambat pasti akan mati. Begitu juga dengan aku. Disini, aku ingin menghabiskan sisa terakhir hidupku untuk membuat orang di sekitarku bahagia."
"Berikan aku pesan terakhir. Ucapkan bahwa kelak kamu akan bahagia selamanya. Katakan pada dirimu, jiwa yang kuat yang selama ini berhasil untuk bertahan. Percaya, Tuhan akan mempertemukan kita kembali!"
Abigail menggeleng cepat. Sesaat dari situ dia menangis. Matthew mengecup tangan indahnya. Kemudian Matthew juga mengelus kepala Abigail dengan halus. Segala cinta yang telah dia berikan, Matthew adalah gambaran mendiang Ayahnya selama masih hidup. Dia benar-benar menjalankan peran sebagai seorang laki-laki di hadapan Abigail dan keluarganya.
"Tidak, aku tidak mau. Bilang kalau yang kamu ucapkan adalah bohong. Kamu ngga akan pergi, kamu akan tetap disini!" pekik Abigail histeris.
Disaat itu juga, air matanya benar benar luruh. Pandangan Abigail pun, fokus pada warna kulit Matthew yang semakin memucat. Laki-laki itu tampak lemas, benar-benar lemas. Dia mengubah posisinya menjadi berbaring. Sesekali dia batuk, lalu mencari obat.
"Berikan aku obat, aku mau minum sekarang!"
"Tapi kamu belum makan." sela Abigail.
"Tidak apa-apa!" Matthew benar-benar terlihat tenang.
"Sayang, tidak perlu risau dengan semua yang akan datang. Tuhan selalu bersamamu!" pesan Matthew, suaranya terdengar lemah namun penuh ketenangan.
"Kamu tidak mau terus temani aku?" lirih Abigail, matanya tertuju pada Matthew yang terbaring lemah.
Matthew hanya diam, menatap Abigail dengan tatapan yang penuh cinta dan sedih.
"Doakan kesembuhan Matthew ya, Gaby." Ibunda Matthew mengucapkan itu dengan senyuman yang sama seperti biasanya, mencoba menenangkan Abigail yang sedang bersedih.
Abigail mengangguk pelan. Dia mengerti, Matthew membutuhkan istirahat. Dia sedikit menjauh, memberikan ruang bagi Matthew untuk beristirahat. Abigail lebih memilih untuk berbincang dengan Ibunda Matthew, mencoba mencari penghiburan dan kekuatan dari wanita yang selalu memberikan kehangatan padanya.