NovelToon NovelToon
Alastar

Alastar

Status: sedang berlangsung
Genre:Romansa
Popularitas:1.7k
Nilai: 5
Nama Author: Bita_Azzhr17

Alastar adalah sosok yang terperangkap dalam kisah kelam keluarga yang retak, di mana setiap harinya ia berjuang dengan perasaan hampa dan kecemasan yang datang tanpa bisa dihindari. Kehidupan rumah tangga yang penuh gejolak membuatnya merindukan kedamaian yang jarang datang. Namun, pertemuannya dengan Kayana, seorang gadis yang juga terjerat dalam kebisuan keluarganya yang penuh konflik, mengubah segalanya. Bersama-sama, mereka saling menguatkan, belajar untuk mengatasi luka batin dan trauma yang mengikat mereka, serta mencari cara untuk merangkai kembali harapan dalam hidup yang penuh ketidakpastian. Mereka menyadari bahwa meski keluarga mereka runtuh, mereka berdua masih bisa menciptakan kebahagiaan meski dalam sepi yang menyakitkan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bita_Azzhr17, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 24. Ruang Amarah

Hujan deras mengguyur kota Malang, menyisakan genangan di jalan-jalan sempit yang dihiasi lampu redup. Di sebuah gang kecil, Alastar berdiri di depan sebuah gedung bercat kusam. Di atas pintu kacanya tertulis dengan huruf tebal: "Rage Room Malang". Tangannya menggenggam jaket yang sudah basah oleh hujan, sementara napasnya naik turun tak beraturan.

"Masuk atau pulang?" gumamnya pada diri sendiri, suara hampir tenggelam oleh gemuruh hujan.

Alastar akhirnya membuka pintu. Sebuah bel kecil berdenting, dan suara musik rock samar terdengar dari speaker di sudut ruangan. Di balik meja resepsionis, seorang lelaki muda berkaos hitam menatapnya.

"Alastar, balik lagi?" sapanya santai.

Alastar hanya mengangguk tanpa bicara. Ia tidak datang ke tempat ini untuk berbasa-basi.

"Kamar biasa atau mau paket ekstra hari ini?" tanya lelaki itu sambil membuka catatan di mejanya.

"Ekstra," jawab Alastar pendek, matanya tidak lepas dari lantai.

Lelaki itu mengangguk dan menyerahkan helm pelindung serta tongkat pemukul besi. "Kamar tiga. Lo tahu aturannya."

Tanpa berkata apa-apa, Alastar berjalan menuju kamar yang dimaksud. Pintu besi berat tertutup dengan bunyi menggelegar di belakangnya. Di dalam, ruangan itu penuh dengan barang-barang usang monitor bekas, piring pecah, botol kaca, hingga manekin tua dengan cat yang mulai mengelupas.

Ia melepas jaketnya, meletakkannya di pojok ruangan, dan mengenakan helm pelindung. Tongkat besi di tangannya terasa dingin, tapi ia tidak peduli. Dadanya terasa sesak, seperti ada ribuan kata yang ingin meledak keluar tapi tertahan oleh sesuatu yang lebih besar: rasa marah yang tak terdefinisi.

Tanpa aba-aba, Alastar mengayunkan tongkat itu ke botol kaca di depannya. Suara pecahannya menggema, namun itu tidak cukup. Ia mengayun lagi, kali ini ke monitor tua. Layarnya pecah berkeping-keping, serpihannya berhamburan di lantai.

"Ayah pikir ini caramu mencintai, Ayah?" desisnya di tengah amarah.

Bayangan wajah ayahnya muncul di benaknya, dingin dan keras, seperti batu karang yang tak pernah runtuh. Sejak kecil, Alastar tumbuh di bawah bayang-bayang otoritas ayahnya. Tidak ada ruang untuk kesalahan, tidak ada ruang untuk perasaan. Dan ketika ibunya pergi meninggalkan mereka, segalanya menjadi lebih buruk.

Tongkat besi itu kembali diayunkan, kali ini menghantam manekin tua. Ia membayangkan manekin itu adalah ayahnya sosok yang selalu memandangnya dengan kekecewaan.

"Ayah nggak pernah mendengarkan aku! Nggak pernah!" teriaknya, suaranya menggema di dalam ruangan.

Pukulan demi pukulan menghantam manekin hingga akhirnya terjatuh ke lantai, tak berbentuk. Napas Alastar tersengal-sengal. Keringat bercampur dengan hujan yang masih menetes dari rambutnya. Namun, rasa marah itu tetap ada, seperti api kecil yang tak pernah benar-benar padam.

Ia terjatuh di sudut ruangan, duduk di antara pecahan kaca dan plastik. Tangannya gemetar, tongkat besi itu terlepas dari genggamannya. Matanya memandang kosong ke depan, namun pikirannya penuh dengan kenangan buruk, teriakan ayahnya, cambukan, perlakuan ayahnya yang membuat bundanya depresi dan trauma hingga meninggal, tamparan yang tak terhitung jumlahnya, dan keheningan yang lebih menyakitkan daripada kekerasan itu sendiri.

Pintu terbuka perlahan, dan seorang pria dengan seragam hitam mengintip. "Alastar, sudah selesai?" tanyanya hati-hati.

Alastar tidak menjawab. Ia hanya mengangguk pelan, lalu berdiri dengan tubuh lemas. "Bersihkan saja," katanya singkat sebelum keluar dari ruangan.

Di meja depan, ia meletakkan helm pelindung dan tongkat besi. Pria penjaga tadi mengamatinya dengan cemas.

"Star, lo nggak apa-apa?"

"Masih hidup, itu cukup," jawab Alastar datar. Ia mengambil jaketnya dan melangkah keluar tanpa menunggu jawaban.

Hujan masih turun deras. Alastar mengeluarkan rokok dari sakunya, menyalakannya di bawah atap sempit gedung itu. Di bawah langit Malang yang kelabu, ia merenungkan sesuatu yang selalu ia pendam: apakah rasa sakit ini akan pernah hilang?

Rage room ini memberinya ruang untuk melampiaskan amarah, tapi tidak pernah memberinya jawaban. Dan jawaban itu, ia tahu, hanya bisa ditemukan di rumah tempat yang tak pernah benar-benar ia sebut rumah.

Dengan langkah berat, ia menaiki motornya. Hujan deras tidak menghalanginya melaju, tapi hati Alastar tetap terjebak di tempat yang sama: penuh amarah, penuh luka, dan penuh pertanyaan tanpa jawaban.

****

Pagi itu, matahari baru saja terbit, menyinari lapangan basket SMA Gonzaga (SMAGA) dengan hangat. Tim basket SMAGA sudah berkumpul sejak pukul enam pagi, mengikuti arahan pelatih mereka, Pak Agas. Sorakan kecil terdengar di pinggir lapangan, tempat para anggota OSIS dan beberapa siswa lain memberikan semangat.

Di tengah lapangan, Alastar berdiri dengan sikap tegas. Sebagai kapten tim basket, ia adalah sosok yang disegani—bukan hanya karena keahliannya, tetapi juga karena caranya membangun semangat tim. Dalam balutan jersey merah khas SMAGA, ia tampak percaya diri dan fokus, meskipun pikirannya sesekali terpecah mengingat pertemuan dengan Kayana malam sebelumnya.

"Okay, guys," suara tegas Alastar memecah suasana. "Minggu depan adalah pertandingan penting, dan kita harus tampil sebaik mungkin. Fokus, disiplin, dan kerja sama. Setuju?"

"Setuju!" teriak tim serempak.

Latihan dimulai dengan pemanasan. Pak Agas memantau dari tepi lapangan, sesekali memberikan instruksi. Setelah itu, mereka beralih ke simulasi pertandingan. Alastar memimpin timnya dengan langkah penuh percaya diri, memberikan strategi yang matang.

Namun, di tengah sesi latihan, bola yang dilempar salah satu anggota tim meleset dan memantul ke luar lapangan, hampir mengenai seseorang.

"Hei, hati-hati dong!" suara perempuan terdengar dari arah bangku penonton.

Semua menoleh. Kayana berdiri di sana, mengenakan sweater oversized berwarna krem. Wajahnya masih terlihat pucat, namun sorot matanya tajam, menunjukkan bahwa ia tidak peduli dengan rasa sakit yang masih terasa di kakinya.

"Kayana?" Alastar melangkah ke pinggir lapangan, ekspresinya terkejut sekaligus khawatir. "Ngapain lo di sini? Bukannya lo harus istirahat?"

Kayana mengangkat bahu. "Gue cuma mau nonton. Lagian, lo kapten tim, kan? Gue penasaran sehebat apa permainan lo."

Alastar tersenyum kecil. Menepuk lembut kepala Kayana. "Yaudah, duduk di sana. Jangan banyak gerak."

Pandangan Alastar kemudian beralih ke arah Falleo, Faldo dan Barram yang duduk di tribun atas. "Jagain Kayana," ujarnya, sementara Barram hanya memberi anggukan kecil.

Latihan dilanjutkan. Kali ini, Alastar berusaha menunjukkan permainan terbaiknya, seolah ingin membuktikan sesuatu di depan Kayana. Dribble bola yang cepat, tembakan tiga angka yang sempurna, dan cara ia mengatur ritme permainan membuat semua yang menonton terpukau.

Di sela-sela istirahat, Alastar mendekati Kayana. "Gimana, udah cukup mengesankan?" tanyanya sambil tersenyum usil.

Kayana menggeleng pelan, tetapi bibirnya melengkung membentuk senyuman kecil. "Lumayan."

Pak Agas tiba-tiba memanggil Alastar kembali ke tengah lapangan untuk memberikan instruksi akhir. Namun, saat Alastar kembali fokus pada tim, Kayana menyadari sesuatu. Pandangannya tertuju pada salah satu anggota tim yang tampak kurang bersemangat.

Saat latihan selesai, Kayana mendekati Alastar yang sedang mengobrol dengan timnya.

"Alas, teman lo yang di pojok itu kelihatan nggak oke banget. Dia main setengah hati," ujar Kayana sambil menunjuk salah satu anggota tim.

Alastar mengernyitkan dahi, lalu menoleh ke arah yang ditunjukkan Kayana. "Lo benar." Ia segera menghampiri anak tersebut.

"Eh, Andra, lo kenapa? Ada masalah?" tanya Alastar lembut.

Andra menggeleng pelan, tetapi matanya menunjukkan kebimbangan. "Nggak, Bang. Cuma lagi mikirin sesuatu."

"Kalau ada masalah, bilang aja. Tim ini nggak cuma soal menang-kalah, kita juga keluarga," ucap Alastar sambil menepuk pundak Andra.

Percakapan itu membuat Andra tersenyum tipis. Kayana yang melihat dari kejauhan tersenyum kecil, mengagumi bagaimana Alastar mampu memimpin dengan empati.

Sebelum pulang, Kayana menghampiri Alastar sekali lagi.

"Gue ngerti sekarang kenapa lo jadi kapten. Lo nggak cuma pinter main, tapi juga ngerti cara bikin tim lo nyaman," katanya dengan nada serius.

Alastar menggaruk tengkuknya, sedikit malu. "Ah, itu biasa aja. Lo istirahat yang bener, ya. Gue nggak mau lo kenapa-napa."

Kayana hanya mengangguk sebelum berbalik, meninggalkan lapangan. Hatinya terasa lebih hangat, seolah kehadiran Alastar sedikit demi sedikit mengobati luka-luka yang selama ini ia simpan rapat.

1
lgtfav
👍
lgtfav
Up terus thor
lgtfav
Thor semangat👍
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!