Di pertengahan tahun 1980, Dewi merasakan pedihnya dijadikan tulang punggung layaknya sapi perah, tapi tetap dianggap sebagai benalu. Bahkan, KDRT kerap Dewi maupun anaknya dapatkan dari suami dan juga keluarga suami, yang selama 5 tahun terakhir Dewi nafkahi. Karenanya, Dewi nekat menjadikan perceraian sebagai akhir dari rumah tangganya.
Dewi bertekad bahagia bahkan sukses bersama kedua anaknya. Segala cara Dewi lakukan, termasuk menjadi ART, sebelum akhirnya menjadi warung keliling. Namun pada kenyataannya, menjadi sukses bukanlah hal mudah. Terlebih, Dewi masih saja diganggu orang-orang dari masa lalunya. Dewi sampai berurusan dengan hukum akibat fitnah keji, sebelum akhirnya mengikuti program transmigrasi di era Orde Baru yang tengah berlangsung.
Akan tetapi karena sederet cobaan itu juga, Dewi menemukan cinta sejati sekaligus kesuksesan yang selama ini Dewi perjuangkan. Kesuksesan yang membuat Prasetyo sekeluarga sangat menyesal!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rositi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
1 : Dewi yang Malang
Suasana yang masih teduh dan jauh dari kemajuan teknologi. Di pertengahan tahun 1980 yang tengah berlangsung, hampir di setiap penjuru juga masih jauh dari polusi. Karena meski jalanan selalu ramai lancar, di sana hanya dipadati oleh delman, becak dan juga pesepeda. Andai ada motor bahkan mobil, itu masih sangat jarang.
“Berisik, ngapain nangis, sih? Diam! Masih pagi sudah berisik! Diam, enggak? Mau, Papa pukul juga?!” ucap Prasetyo murka. Alif sang putra dan usianya belum genap empat tahun, ia amuk di hadapan keluarganya.
Padahal, alasan Alif menangis karena makanan dan mainannya diambil oleh Edo—bocah berusia dua belas tahun yang kelakuannya tidak lebih dewasa dari Alif. Dan dengan entengnya, Edo memakan tuntas jatah ayam goreng yang ia rampas.
Edo sama sekali tidak peduli, meski Alif sampai ditendang Prasetyo yang tak lain merupakan pamannya. Termasuk juga dengan keluarga besar Prasetyo yang ada di sana, mereka malah dengan entengnya mengatai Alif sebagai anak setan. Warti selaku kakak perempuan Prasetyo dan merupakan mama dari Edo juga tidak ambil pusing pada kelakuan anaknya.
“Dasar anak setan, kerjaannya cuma nangis. Ngerepotin terus!” ucap mereka silih berganti sambil menyantap lahap, nasi berikut lauk di piring masing-masing. Semua makanan yang juga disiapkan secara khusus oleh Dewi, wanita yang telah melahirkan Alif.
“Mama ... Mama sakit, Ma. Tolong Mama ... sakit banget Mama! Papa pukul-pukul aku lagi!” Bibir mungil Alif terus berseru, tersedu-sedu bocah itu.
Di dalam kamar mandi, Dewi dengan kehamilannya yang sudah sangat besar, mendengar suara sang putra. Dewi yang sudah mandi keringat, tapi tumpukan cucian yang harus diselesaikan masih tiga ember, buru-buru meninggalkan penyaring air dan memang membuat suasana di kamar mandi bising. Ditambah lagi, suara dari sikat yang Dewi gunakan untuk menyikat pakaian. Kedua kenyataan tersebut membuat pendengaran Dewi jadi terbatas.
“Alif ... itu kenapa lagi ya Allah. Jadi anak paling kecil, tapi yang paling ditindas! Heran, sebenci itu keluarga ini ke kami!” keluhnya susah payah berdiri.
Efek kehamilan yang sudah lewat hpl, memang membuat Dewi jadi melakukan segala sesuatunya dengan terbatas. Itu juga yang membuat para majikannya kompak memberinya cuti. Hanya saja, ketimbang para majikannya yang selalu membayar bahkan memberinya imbalan lebih, keluarga suaminya justru makin merepotkannya.
Keluarga Prasetyo selalu menganggap Dewi dan Alif, tak ubahnya benalu. Karena bagi mereka, meski Dewi sudah membereskan pekerjaan rumah, dari beres-beres, memasak, mencuci piring, termasuk mencuci pakaian satu keluarga suaminya bahkan pakaian suami iparnya, di mata keluarga suami Dewi, bahkan di mata suami sendiri, itu bukan bekerja.
Bekerja versi keluarga Prasetyo ialah Dewi bekerja ke banyak orang hingga Dewi mendapatkan bayaran, tapi Dewi juga tetap wajib mengurus semua pekerjaan sekaligus keperluan rumah.
Kini, baru sampai pintu ruang depan, Dewi sudah disuguhi pemandangan putranya yang meringkuk tersedu-sedu di lantai. Di lantai berupa tanah du sana, sang putra tampak tak berdaya. Sementara yang lain termasuk Prasetyo, justru fokus makan. Namun baru saja, ibu Surmi selaku mertuanya Dewi, bangun dari tikar tempatnya duduk. Lap di sebelah panci berisi sop, ia bawa mendekati Alif. Tebak apa yang ibu Surmi lakukan. Ya, wanita bertubuh gendut itu menyumpalkan lapnya ke dalam mulut Alif hingga penuh.
Karena Alif sibuk berusaha meraih kaki kanan ibu Surmi menggunakan kedua tangan. Ibu Surmi tak segan menggunakan kakinya yang bebas, untuk menendang wajah Alif. Alif yang memang merupakan cucu kandungnya!
“CUKUUUUUUUUUUUUP!” jerit Dewi langsung histeris.
Bergegas Dewi lari, tak terima putranya diperlakukan tak manusiawi. Hanya saja, keputusannya lari malah membuatnya terpeleset.
Sakit luar biasa langsung Dewi rasa. Namun dari semuanya, hanya Alif yang buru-buru menghampirinya. Semuanya sungguh tak peduli padahal kondisi Dewi sedang hamil besar dan bisa berakhir fatal.
“M—Mas ... sakit banget, Mas! Perutku ... rahimku! B—bayiku ... anak kita, Mas!” rintih Dewi benar-benar memohon. Kedua tangannya yang gemetaran berangsur mengelus-elus perutnya.
Sebenarnya, Prasetyo sudah berdiri dan hampir menghampiri sang istri. Namun, ibu Surmi sudah langsung melarang.
“Istrimu hanya pura-pura. Dia sengaja begitu agar bisa malas-malasan!” ucap ibu Surmi. “Dasar wanita benalu! Pemalas! Masih untung anakku mau nikahin kamu! Pantas dari kecil kamu sudah dibuang orang tua kamu. Wong kamu memang pembawa sial!”
Darah Dewi seolah mendidih mendengar itu. Terlebih demi baktinya kepada ibu dan keluarganya, lagi-lagi, Prasetyo mengabaikan kewajibannya kepada Dewi. Prasetyo tetap menjadikan keluarganya sebagai prioritas.
Memiliki suami yang begitu peduli sekaligus menyayangi ibu dan saudaranya, nyatanya tak menjamin suami tersebut bisa membuat istri dan anak-anaknya bahagia. Kiranya, itulah yang Dewi rasakan di pernikahannya dengan Prasetyo. Sebab lima tahun pernikahan mereka, Dewi selalu dituntut menjadi istri yang sempurna.
Bukan hanya perkara pekerjaan rumah sekaligus kebutuhan sehari-hari. Karena sebagai istri Prasetyo dan merupakan anak laki-laki tertua di keluarganya, Dewi juga diwajibkan bekerja menjadi tulang punggung keluarga Prasetyo.
Semua saudara Prasetyo sudah menikah. Malahan, Prasetyo yang menikah paling akhir. Karena demi baktinya, Prasetyo baru menikah setelah semua kakak maupun adiknya menikah.
Prasetyo itu anak ketiga. Dua kakaknya perempuan. Adik pertama perempuan, sementara adik terakhir itu laki-laki. Mereka yang awalnya tinggal di rumah orang tua Prasetyo, kini kompak pindah. Semuanya tinggal di kontrakan Prasetyo dan Dewi menjadi satu kesatuan dan semua keperluan hanya Dewi yang mengurusi. Sebab kebiasaan hidup malas dan apa-apa selalu mengandalkan Prasetyo, membuat mereka sampai menjual rumah berikut tanahnya.
“Tolong ... tolong Mama sakit. Tolong Mamaku jatuh!” Alif yang dewasa terlalu dini karena keadaan, histeris memohon pertolongan kepada tetangga.
Padahal, lebam di tubuh bahkan ingatannya, masih sangat melukainya. Termasuk juga perihal bibir bagian bawahnya yang pecah sekaligus berdarah. Namun demi sang mama, Alif nekat menggedor setiap pintu kontrakan.
Suasana pagi ini sudah membuat kontrakan kompak sepi. Karena sejatinya, mereka yang sadar diri bahwa hidup membutuhkan biaya memang akan lebih memilih bekerja. Ketimbang menumpang ke saudara, tapi selalu zalim kepada yang ditumpangi, seperti keluarga Prasetyo. Benalu teriak benalu, itulah gambaran keluarga Prasetyo kepada Dewi.
Tukang sayur yang akhirnya Alif jumpai, menjadi tujuan Alif. Kebetulan, Alif dan Dewi dikenal sangat baik oleh warga. Jadi, dengan segera bantuan pun datang. Semua yang datang kompak beristigfar.
“Ada wanita hamil tua jatuh begini, kok malah dibiarkan! Saya sebagai keamanan di sini, bisa menjadikan ini sebagai kasus loh!” kesal pak Dayat selaku RT di sana.
Ibu dan saudara Prasetyo memang selalu menjadikan agama sebagai alibi. Menurut mereka, anak laki-laki tertua, wajib bertanggung jawab penuh kepada keluarga. Jadi, anak laki-laki beserta istrinya wajib jadi tulang punggung keluarga. Bodohnya, Prasetyo selalu merasa cara hidup keluarganya itu benar. Baginya, istri dan anak tidak lebih dari orang asing yang bisa kapan saja meninggalkannya. Sementara keluarga apalagi ibunya, akan selalu bersamanya. Hingga Prasetyo memiliki pemikiran, lebih baik mengutamakan keluarganya ketimbang istri dan anaknya.
Meski sudah sampai dimarahi, digerudug oleh tetangga yang sampai meninggalkan pasar tempat mereka bekerja, keluarga Prasetyo tetap fokus makan. Hanya Prasetyo saja yang akhirnya mau membopong Dewi. Itu saja karena dimarahi. Sementara Alif juga turut diboyong. Bocah itu tak mau ditinggal. Ditambah lagi, selain keluarga papanya yang teramat cuek, Alif juga sangat mengkhawatirkan mamanya.
“Ya Allah, ... kuat ya Allah. Tolong izinkan hamba lahiran normal. Enggak kebayang andai hamba lahiran non normal apalagi melahirkan dengan biaya mahal. Pasti keluarga mas Pras makin semena-mena ke kami ya Allah,” batin Dewi.
Di antara hidup dan mati, Dewi yang tak hanya kuyup karena baru saja mencuci pakaian seabreg, juga mendapati kedua kakinya dihiasi darah segar. Dar.ah segar yang mengalir dari pangkal selangkangannya.
••••••
—Novel kakek~nenek Ojan dan memang baru bisa sempat aku bikin. Ketimbang aku stres karena terus nampung cerita ini di pikiran, yuk ramaikan. TOLONG, JANGAN TABUNG BAB. KARENA CERITA INI BAKALAN GAMBARIN ANAK KORBAN PERCERAIAN, KEHIDUPAN WANITA DESA DAN SIAPA TAHU MIRIP KISAH YANG SUDAH ADA.
Salam santun,
Rositi 💗
saat itu jamannya.....
semuanya pada sakit......