Andara Mayra terpaksa menerima perjodohan dengan seorang pria yang sudah dipilihkan oleh ayahnya.
Namun dibalik perjodohan yang ia terima itu ternyata ia sudah memiliki kesepakatan sebelumnya dengan sang calon suami. kesepakatan jika setelah satu tahun pernikahan, mereka akan bercerai.
akankah mereka benar-benar teguh pada kesepakatan mereka? atau malah saling jatuh cinta dan melupakan kesepakatan itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon wiwit rthnawati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bella lagi
Aku masuk kedalam mobil dengan kesal. Tak lama iapun menyusul dan langsung masuk kedalam mobil.
"Kenapa ninggalin?" Dengan wajah tanpa dosanya ia malah bertanya menatapku.
"Mas Bara sengaja kan, bawa aku kesini buat mesumin aku?" Kini kuberanikan diri menatapnya.
Kulihat alisnya sedikit bertaut, kemudian ia kemudian ia menyunggingkan senyum tipis.
"Memang iya. Ayo kita lanjutkan." Mataku membola mendengar jawabannya. Ia kembali mencondongkan tubuhnya mendekat.
"Mmm mas Bara mau apa?"
Posisi yang memang sudah mentok, membuatku tak bisa apa-apa. Apalagi aku yang sudah memakai seatbelt, membuatku tak bisa kabur darinya.
Wajahnya sudah begitu dekat, dan aku hanya bisa memejamkan mata takut. Sedetik, dua detik, tiga detik. Kuberanikan membuka mata saat tak kurasakan apapun.
Kulihat ia sedang menatapku dengan tersenyum manis.
"Pasrah banget sih yang mau dimesumin."
"Iiish mas Bara." Aku membuang muka kearah jendela menyembunyikan pipiku yang memerah karena malu.
"Ayo cepat pulang. Aku pengen pulang." Aku berbicara dengan wajah yang terus menatap jendela.
"Yakin gak mau mesum-mesuman dulu?" Aku mendelik menatapnya yang tersenyum menggodaku.
"Iih mas Bara. Kalau gak pulang, aku turun nih."
"Okey. Okey." Iapun menarik diri dan langsung menjalankan mobilnya.
Tak ada pembicaraan apapun di perjalanan, kami sibuk dengan pikiran kami masing-masing.
Hingga setelah sampai di resort aku langsung mengemasi barang-barangku dan mengajak dia untuk pulang ke jakarta.
"Katanya mau liburan?" Ia nampak keberatan.
"Gak mau. Aku gak mau liburan sama buaya omes kayak mas Bara."
"Buaya omes?"
"Iya. Aku mau pulang. Kalau mas Bara masih betah disini. Ya disini saja. Biar aku telepon papa suruh mang maman menjemputku."
"Kenapa begitu sih?"
"Biarin."
"Ya udah okey. Kita pulang."
Akhirnya aku dan mas Bara pulang. Tak kupedulikan wajahnya yang terlihat kesal. Biarkan saja, aku tak mau mempertaruhkan masa depanku bersama buaya berotak mesum seperti dia.
Setelah datang di rumah aku langsung membersihkan tubuhku yang cukup lengket oleh keringat.
Tok tok tok
"Non ini bibi." Suara bi sumi membuatku segera menyelesaikan mandiku.
"Ya bi?" Aku membuka pintu dengan hanya menggunakan bathrobe.
"Ada tamu yang nungguin non di bawah. Dari kemarin bolak balik datang kesini."
"Siapa bi?" Aku heran karena ada tamu yang mencariku, padahal tak ada siapapun yang tahu tempat tinggalku yang baru selain mama dan papa.
"Katanya abangnya non."
"Abang? Bang erik?" Bibirku tersenyum lebar saat kutahu yang mencariku itu adalah abang kesayanganku satu-satunya.
"Iya non."
"Ya udah bi. Suruh tunggu ya bi. Aku mau pake baju dulu."
"Iya non."
Aku segera memakai baju dan menyisir rambut basahku. Tak lupa aku juga memakai lipstik agar wajahku tak pucat.
Aku turun dan mencari keberadaan abangku itu, di ruang tamu tidak ada, di dapur juga tidak ada. Dimana dia?
"Gue udah peringatin lu bro. Loe boleh nikahin adik gue, tapi loe jangan pernah sedikitpun nyentuh dia. Inget, gue tahu loe masih ada hubungan dengan Ana, gue gak mau ya disaat loe ada hubungan dengan cewek lain, loe juga menginginkan adik gue." Sayup-sayup kudengar suara bang erik sedang berbicara dengan seseorang dari arah kolam renang. Ah ternyata bang erik sedang berbicara dengan mas Bara disana.
"Gue cuman tanya sama loe pacar dia siapa. Bukan berarti gue menginginkan dia kan?"
"Alah. Bara, Bara. Gue udah temenan sama loe lama. Gue tahu gelagat loe. Gue yakin loe mulai tertarik kan sama adik gue? Ngaku aja deh loe. Mending sebelum terlanjur, kalian udahin aja deh pernikahan pura-pura kalian."
"Bang... abang dimana." Aku yang tak ingin mendengar lebih jauh langsung berpura-pura memanggil bang Erik. Aku berpura-pura mencari keberadaan abangku itu.
"Dek." Bang erik masuk kedalam rumah.
"Abaaang." Aku lngsung memeluknya.
"Abang lama banget sih baru pulang. Kepincut bule disana apa?" Sikap manjaku kembali kumat. Ah masa bodoh dengan pendapat mas Bara. Yang pasti jika didepan papa ataupun bang Erik mode manjaku pasti langsung aktif dengan sendirinya.
"Tau aja." Bang erik mencubit hidungku dengan gemas."Gimana kuliahnya? Lancar?"
"Bentar lagi aku wisuda. Abang mau ngasih aku hadiah apa?"
"Ponakan bule mungkin." Sontak kucubit perutnya. "Aaaw. Sakit beby." Bang erik membalas mencubit pipiku pelan.
"Serius dong bang ih."
"Iya. Iya. Apa dong. Mini cooper SUV mau?"
"Aaau boleh. Besok yah?"
"Lah belum lulus juga udah main besok aja. Nanti lah kalau sudah pasti lulus."
"Aku pasti lulus kok."
"Ehem.. asyik banget sih upin dan ipin." Aku melepaskan pelukanku dan menatap mas Bara yang datang memecah kemanjaanku.
"Ngiri bilang bosss." Aku kembali memeluk bang erik.
"Kayaknya dia emang iri pengen dipeluk sama kamu."
"Ogaaaah. Minta aja sama pacarnya."
Bang erik ikut makan malam bersamaku dan mas Bara hingga akhirnya ia pamit.
"Nginep aja lah bang."
"Enggak ah. Takut mengganggu pengantin baru." Bang erik berbicara dengan memandang mas Bara sekilas.
"Iih abang enggak juga."
"Udah ah. Udah malam. Abang pulang dulu ya. Bye."
Setelah kepulangan bang erik aku gelisah tak bisa tidur. Pembicaraan bang erik dan mas bara tadi terus terngiang didalam otakku. Aku takut, benar-benar takut jika apa yang bang erik ucapkan itu benar-benar terjadi. Apalagi mengingat jika mereka memang sudah berteman sejak lama. Sepertinya aku memang harus mulai menjaga jarak dengan mas Bara. Jangan sampai yang dikatakan bang erik tentang mas Bara yang mulai tertarik padaku itu menjadi kenyataan.
Aku sengaja bangun pagi-pagi agar aku bisa berangkat lebih dahulu dari mas Bara.
Saat bu eka menyuruhku meminta tandatangan mas Barapun aku mulai memberi alasan sehingga bu eka akhirnya menyuruh staf lain yang meminta tandatangan dari mas Bara.
Jam makan siang aku memilih makan di kantin bersama staf lain. Aku tak mau makan siang menemani mas Bara lagi kali ini.
"May. Dipanggil pak Bara tuh. Kayaknya dia marah banget deh sama kamu." Bu eka menghampiriku. Ia menatapku dengan tatapan iba.
"Baik bu." Sudah mencoba menghindar dia masih aja nyari.
Toktok
"Masuk."
Aku melangkah ragu menghadapnya.
"Apa ada yang bisa saya bantu?"
"Kenapa berangkat mendahuluiku? Kenapa aku telepon tidak di angkat? dan kenapa hari ini kamu tak muncul dihadapanku?" Ia duduk bersandar di kursi miliknya dengan menatapku bak elang yang hendak menerkam mangsanya.
"Maaf pak. Tapi saya sedang berusaha bersikap profesional. Sebelumnya kita selalu berangkat bersama. Apa bapak tidak takut kalau nanti saya dikira simpanannya bapak?" Ia menaikkan satu alisnya dan merubah posisi menjadi tegap. Matanya seolah tak mau melepaskanku walau sejenak.
"Lama-kelamaan orang kantor pasti tau kan kalau kita sering berangkat dan pulang bareng. Ntar image saya jadi buruk loh. Bapak mau saya di cap sebagai pelakor?" Ia kembali menatapku aneh.
"Jadi lebih baik mulai sekarang kita jalan masing-masing aja ya pak."
"Terus kenapa teleponku tidak satupun kamu angkat?"
"Lah bapak menelponku disaat jam kerja. Kan kita harus profesional. Masa ia mengangkat telepon disaat bekerja sih."
"Disaat jam istirahat pun aku menelponmu. Kamu tahu itu."
"Hee. Ponselku ketinggalan di meja kerja. Maaf." Ah aku terpaksa berbohong.
"Lain kali kalau mau ngapa-ngapain itu bicara dulu."
"Iya maaf."
"Ya sudah. Kembali sana."
"Baik pak. Terimakasih."
Heah aku bernafas lega saat dia menyuruhku kembali. Namun disaat aku kembali aku berpapasan lagi dengan wanita gatal bernama bella itu. Mau ngapain dia ke ruangan mas Bara. Jangan-jangan dia mau godain mas Bara lagi. Saat aku hendak mengintip lagi, dia malah menutup pintunya dengan rapat. Agh sial.
Aku berdiri didepan pintu ruangan mas Bara. Aku benar-benat tak tenang wanita itu ada didalam sana. Dia pasti melakukan hal yang aneh-aneh lagi. Tapi aku juga tak bisa masuk begitu saja, mengingat aku yang baru saja keluar. Cukup lama aku berdiri. Sepertinya ruangan mas bara kedap suara, aku bahkan tak bisa mendengar suara apapun di dalam sana. Kira-kira mereka sedang apa yah. Ah kenapa aku jadi kepo sekali. Biarin aja lah.
Saat aku hendak kembali pintu ruangan terbuka. Kulihat penampilan wanita itu jadi acak-acakan dan salah satu heels sepatunya copot. Apa mereka habis melakukan adegan panas yah. Kok sampe segitunya. Aku masuk ke ruangan mas Bara. Kulihat meja mas Bara juga berantakan. Kertas bertaburan di mana-mana. Dan kemana orang itu.