Di tahun 2145, dunia yang pernah subur berubah menjadi neraka yang tandus. Bumi telah menyerah pada keserakahan manusia, hancur oleh perang nuklir, perubahan iklim yang tak terkendali, dan bencana alam yang merajalela. Langit dipenuhi asap pekat, daratan terbelah oleh gempa, dan peradaban runtuh dalam kekacauan.
Di tengah kehancuran ini, seorang ilmuwan bernama Dr. Elara Wu berjuang untuk menyelamatkan sisa-sisa umat manusia. Dia menemukan petunjuk tentang sebuah koloni rahasia di planet lain, yang dibangun oleh kelompok elite sebelum kehancuran. Namun, akses ke koloni tersebut membutuhkan kunci berupa perangkat kuno yang tersembunyi di jantung kota yang sekarang menjadi reruntuhan.
Elara bergabung dengan Orion, seorang mantan tentara yang kehilangan keluarganya dalam perang terakhir. Bersama, mereka harus melawan kelompok anarkis yang memanfaatkan kekacauan, menghadapi cuaca ekstrem, dan menemukan kembali harapan di dunia yang hampir tanpa masa depan.
Apakah Elara dan Orion mampu m
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Doni arda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 19: Harga Sebuah Perlawanan
Jejak Darah kini hanya puing-puing yang terbakar di tengah gurun. Asap tebal membubung ke langit yang kelabu, seperti tanda peringatan bagi siapa pun yang melihatnya dari kejauhan. Elara dan Ardan berdiri di sebuah bukit pasir yang tidak jauh dari sana, tubuh mereka berlumuran darah dan luka. Nafas mereka berat, tetapi tatapan mereka penuh kebencian terhadap Eden, organisasi yang telah menghancurkan begitu banyak nyawa.
"Berapa lama kita punya sebelum mereka tahu apa yang terjadi?" tanya Ardan sambil menyesuaikan alat komunikasi di lengannya.
Elara mengusap wajahnya yang kotor. "Tidak lama. Eden akan tahu kita menyerang Jejak Darah, dan mereka akan mengirim pasukan untuk memburu kita."
"Tapi kita berhasil menghancurkan Prometheus," kata Ardan, mencoba memberikan sedikit penghiburan.
Elara menoleh padanya, matanya penuh luka. "Harganya terlalu mahal. Nadia, Malik, Jarek... mereka semua mati, dan kita bahkan belum menyentuh inti dari Eden."
Ardan terdiam. Dia tahu Elara benar. Jejak Darah hanyalah salah satu dari banyak fasilitas Eden yang tersebar di seluruh dunia. Dan meskipun mereka berhasil menghancurkannya, Eden masih memiliki sumber daya, teknologi, dan kekuatan militer yang jauh lebih besar daripada yang bisa mereka bayangkan.
Namun, sebelum mereka bisa merencanakan langkah selanjutnya, suara deru helikopter terdengar dari kejauhan.
"Mereka datang," gumam Elara.
---
Elara dan Ardan segera berlari menuju kendaraan yang mereka sembunyikan di balik bukit pasir. Itu adalah kendaraan lapis baja kecil yang dilengkapi dengan senjata ringan—salah satu dari sedikit peralatan yang mereka berhasil curi dari Eden beberapa minggu sebelumnya.
"Tunggu, mereka membawa lebih dari sekadar helikopter," kata Ardan sambil memeriksa drone pengintai kecil yang dia luncurkan.
Gambar di layar drone menunjukkan empat helikopter tempur dan dua kendaraan lapis baja yang melaju di atas pasir, membawa pasukan bersenjata lengkap.
"Kita tidak bisa menghadapi mereka di sini," kata Elara sambil menyalakan mesin kendaraan. "Kita harus membawa mereka ke medan yang menguntungkan bagi kita."
Mereka melajukan kendaraan dengan kecepatan penuh, meninggalkan jejak debu di belakang mereka. Helikopter mulai mendekat, dan tembakan pertama meledak di dekat kendaraan mereka, menciptakan kawah besar di pasir.
"Pegang erat-erat!" seru Elara sambil membelokkan kendaraan untuk menghindari ledakan berikutnya.
Ardan membuka atap kendaraan dan mengoperasikan senjata otomatis yang dipasang di atasnya. Dia menembak ke arah salah satu helikopter, tetapi armor helikopter itu terlalu tebal.
"Kita butuh sesuatu yang lebih kuat dari ini," kata Ardan sambil terus menembak.
Elara menggertakkan giginya. "Ada satu cara."
Dia membelokkan kendaraan ke arah formasi bebatuan besar yang menjulang di tengah gurun. Medan itu penuh dengan celah sempit dan jalan buntu, tetapi Elara tahu bahwa itu bisa menjadi keuntungan mereka.
"Kau gila!" teriak Ardan saat kendaraan mereka hampir menabrak salah satu batu besar.
"Tidak, aku hanya tahu cara membuat mereka bermain sesuai aturan kita," jawab Elara sambil tersenyum tipis.
Helikopter dan kendaraan lapis baja mengejar mereka ke dalam formasi bebatuan, tetapi segera kesulitan untuk bermanuver. Elara memanfaatkan celah sempit dan belokan tajam untuk menghindari tembakan, sementara Ardan menembak ke arah kendaraan musuh yang mulai menabrak bebatuan.
Salah satu helikopter terjebak di antara dua tebing sempit dan meledak saat mencoba melepaskan diri. Namun, mereka tidak bisa berpuas diri.
"Masih ada tiga lagi!" seru Ardan.
---
Elara menghentikan kendaraan mereka di salah satu jalur sempit yang dikelilingi oleh bebatuan tinggi. "Ambil bahan peledak dari belakang," katanya kepada Ardan.
Ardan membuka bagasi kendaraan dan mengambil bahan peledak yang mereka simpan untuk situasi darurat. "Kau serius ingin melawan mereka di sini?"
Elara mengangguk. "Mereka tidak akan mengira kita berhenti. Pasang bahan peledak di kedua sisi tebing, dan cepat!"
Ardan bergerak cepat, menanam bahan peledak di sepanjang dinding tebing. Suara deru helikopter semakin dekat, dan Elara menyiapkan senjata mereka untuk melawan infanteri yang kemungkinan besar akan muncul lebih dulu.
"Siap?" tanya Ardan setelah selesai memasang bahan peledak.
Elara mengangguk. "Tunggu sampai mereka masuk ke perangkap."
Beberapa detik kemudian, kendaraan lapis baja pertama muncul di tikungan, diikuti oleh sepasukan tentara bersenjata lengkap. Mereka bergerak hati-hati, tetapi tidak menyadari jebakan yang telah dipasang.
"SEKARANG!" teriak Elara.
Ardan menekan pemicu, dan bahan peledak meledak bersamaan, menghancurkan dinding tebing di kedua sisi. Bebatuan besar runtuh, menghancurkan kendaraan lapis baja dan tentara yang berada di bawahnya.
Namun, helikopter masih tersisa. Mereka mulai menembaki posisi Elara dan Ardan, membuat mereka berlindung di balik kendaraan.
"Kita tidak bisa melawan mereka di sini!" seru Ardan.
Elara memutar otaknya, mencari cara untuk menghancurkan helikopter. Matanya tertuju pada salah satu senjata antipesawat yang jatuh dari kendaraan musuh yang hancur.
"Senjata itu!" katanya sambil menunjuk.
Mereka berlari menuju senjata tersebut sambil menghindari tembakan dari helikopter. Elara mengambil alih pengoperasian senjata, sementara Ardan memberinya perlindungan.
Helikopter pertama mencoba menyerang, tetapi Elara menembakkan peluru besar dari senjata itu, langsung menghantam rotor helikopter. Helikopter itu kehilangan kendali dan jatuh, meledak dalam bola api besar.
---
Setelah beberapa menit pertempuran yang sengit, Elara dan Ardan akhirnya berhasil menghancurkan semua musuh. Mereka berdiri di tengah puing-puing, napas mereka terengah-engah, tubuh mereka dipenuhi luka dan debu.
Namun, tidak ada waktu untuk merayakan kemenangan. Mereka tahu bahwa Eden tidak akan berhenti.
"Ini baru awal," kata Elara dengan nada dingin. "Mereka akan mengirim lebih banyak pasukan."
Ardan mengangguk. "Kita harus mencari cara untuk menyerang mereka sebelum mereka menemukan kita lagi."
Elara menatap langit, yang mulai memerah oleh cahaya matahari terbenam. "Kita akan membuat mereka membayar. Tapi kita harus menemukan sekutu. Kita tidak bisa melakukannya sendirian."
Ardan menatapnya dengan ragu. "Dan siapa yang mau melawan Eden? Semua orang takut pada mereka."
Elara tersenyum tipis, tetapi ada kegelapan di matanya. "Orang-orang yang tidak punya apa-apa lagi untuk hilang. Sama seperti kita."