Anyelir adalah salah satu nama apartemen mewah yang terletak di sudut kota metropolitan. Suatu hari terjadi pembunuhan pada seorang wanita muda yang tinggal di apartemen anyelir 01. Pembunuhnya hanya meninggalkan setangkai bunga anyelir putih di atas tubuh bersimbah darah itu.
Lisa Amelia Sitarus harus pergi kesana untuk menyelidiki tragedi yang terjadi karena sudah terlanjur terikat kontrak dengan wanita misterius yang ia ditemui di alun-alun kota. Tapi, pada kenyataan nya ia harus terjebak dalam permainan kematian yang diciptakan oleh sang dalang. Ia juga berkerjasama dengan pewaris kerajaan bisnis The farrow grup, Rafan syahdan Farrow.
Apa yang terjadi di apartemen tersebut? Dan permainan apakah yang harus mereka selesaikan? Yuk, ikutin kisahnya disini.
*
Cerita ini murni ide dari author mohon jangan melakukan plagiat. Yuk! sama-sama menghargai dalam berkarya.
follow juga ig aku : @aca_0325
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mapple_Aurora, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 26
Berbeda dengan Rafan, Lisa langsung mengenali siapa perempuan hanya dengan melihat punggung dan rambut panjangnya. Untuk sesat Lisa hanya berdiri membeku, banyak prasangka yang seketika memenuhi kepalanya.
"Vanya?!"Gumamnya lirih, selirih aliran sungai yang mengalir tenang di musim semi. Perempuan itu berbalik kala mendengar namanya dipanggil, suara itu tidak keras, namun karena terdengar sangat akrab dia berbalik tanpa sadar.
Tatapan mereka bertemu. Tangan Vanya terlipat anggun diatas perut, rambutnya menjuntai jatuh pada kedua sisi pipi tirusnya. Dia melangkah cepat menuju pintu.
Lisa masih terpaku sembari mengikuti langkah Vanya dengan matanya, lalu berbagai ingatan akhir-akhir ini tentang adiknya itu berputar silih berganti dalam kepalanya. Tentang mengapa Vanya ada di Villa D'sun, tentang Vanya yang dipindahkan begitu saja oleh ibunya dan tentang suara Vanya yang ia dengar tadi malam.
Vanya berdiri dua langkah dari ambang pintu. Cahaya lilin melambai lembut, wajah cantiknya terlihat jelas sekarang, pucat dan matanya agak meredup. Dia nampak lelah, tentu saja karena dia mengidap penyakit mematikan, bahkan warna merah muda di bibirnya tidak mampu menyembunyikan gurat lelahnya.
"Kakak,"Segaris senyum aneh melengkung di sudut bibirnya.Tangannya yang sedari tadi terlipat anggun perlahan ditarik lalu dibawa kebawah-pada ujung baju panjang yang menjuntai hingga lutut,
Dia mengangkat bajunya keatas memperlihatkan perut putihnya, dan,
Banyak goresan luka diatas pusar hingga bawah dada, luka itu masih baru, berupa goresan dangkal yang menimbulkan bekas berupa garis kemerahan dengan darah yang sudah agak mengering.
Tangan Rafan memegang erat Lilin, sudut matanya berkedip dua kali demi memastikan benarkah penglihatannya atau itu hanya ilusi karena disini kekurangan cahaya?
"Ya tuhan! Vanya, apa yang terjadi?" Lisa membawa tangan ke mulutnya, menekap tak percaya, lalu bergegas menghampiri adiknya dan membawanya kedalam pelukan.
"Lis-"
BRAK!
Suara dentuman pintu menelan teriakkan Rafan. Pintu tertutup tepat setelah Lisa masuk kedalam.
"Lisa!Hei, buka pintunya!"Rafan menggedor pintu, dan juga memukulnya dengan keras. Dengan panik Rafan menarik gagang pintu, tidak terbuka, pintu sudah di kunci dari dalam.
"Lisa! Kamu bisa mendengarku?"Rafan coba melihat melalui lubang pintu. Gelap. Tidak ada yang bisa dia lihat.
Rafan meletakkan lilin di lantai kemudian mendobrak pintu dengan keras. Sayangnya berkali-kali Rafan menabrakkan dirinya pada pintu itu, tetap tidak membuahkan hasil.
Pasti ada beban berat yang menahan pintu itu dari dalam kalau tidak di dobrak berkali-kali pasti engsel pintu sudah rusak. Tapi, tidak, bahkan pintu itu tidak bergerak sedikitpun.
"Sial. Apa benar dia adik Lisa?"monolog Rafan mengacak kasar rambutnya. Ia mengambil kembali lilin, duduk tenang sebentar diatas lantai dingin. Pria itu memejamkan mata sejenak sambil mengatur nafasnya.
Rafan memikirkan kembali apa yang akan dilakukan. Perempuan itu, kalau benar dia adik Lisa, apa yang dia lakukan disini? Apa dia juga di culik? Lantas kenapa dia memancing Lisa masuk ke ruangan itu dan menguncinya.
Beberapa hari ini Rafan sudah sedikit mengenal Lisa, dari yang dia lihat Lisa sangat menyayangi adiknya. Bahkan berjuang untuk mendapatkan biaya operasi, dia melakukan semua yang dia bisa sebagai seorang kakak. Lalu, apakah Vanya tidak menghargainya sama sekali?
Namun, betapapun Rafan ingin berpikir positif tentang perempuan yang notabene nya adalah adik Lisa, rekan yang baru ia kenal belum lama ini, tetap saja keanehan dan kejanggalan menimbulkan kecurigaan dalam hatinya.
Dengan gontai Rafan kembali keatas, tadi pagi dia tak sengaja melihat linggis di sudut dapur, dia akan mengambilnya dan menggunakan untuk membuka pintu.
"Apa kamu sudah menemukan sesuatu?" Baru saja Rafan keluar dari kolong tempat tidur satu suara bertanya dari arah pintu. Rafan berjengit kaget dan kepalanya hampir saja membentur sisi ranjang.
"Huft.. " Rafan mengusap dadanya," kamu mengagetkanku, Prisha."
Prisha Pooja Urvi sedang berdiri bersandar pada kusen pintu dengan tangan bersedekap, berdiri bak model sambil memainkan ujung rambut.
"Mana gadis itu? eum.. siapa namanya ya?" Prisha berpikir sejenak dengan gaya lucunya, mengerjapkan mata bulat nya beberapa kali, dia melanjutkan, "Aha.. Lisa, dimana dia?"
"Dia terjebak dibawah sana dan aku butuh alat untuk membongkar pintu.Jadi, minggir lah, nyawa dia sedang terancam." Kata Rafan tidak punya waktu untuk menjelaskan dengan panjang lebar. Pria itu mendorong lembut Prisha, lalu gegas keluar.
"Hei, tunggu!" Prisha dengan cepat menyusul, "Apa yang terjadi?"
"dia-"
"Rafan, kamu darimana saja? aku mencarimu dari tadi?" Tiara muncul dari lantai dua, langsung menempeli Rafan, mencecarnya dengan pertanyaan tidak berguna yang membuat Rafan muak.
"Lisa mana, Raf?"
Oh, God! Rafan berhenti sebentar di pintu dapur, menghela nafas panjang. Mencoba bersabar, karena dia bahkan belum diberi kesempatan menjawab pertanyaan Prisha dan Tiara, lalu sekarang Hugo muncul dan mengajukan pertanyaan juga.
"Lisa terjebak di salah satu kamar yang ada di ruangan bawah tanah. Dia butuh pertolongan, jadi, daripada kalian hanya sekedar bertanya lebih baik membatuku." Kata Rafan. Dia melangkah lebar ke sudut dapur dan mengambil linggis tersebut.
Tentu saja Tiara mendengus tidak senang dengan jawabannya, maka gadis itu dengan tidak tahu malunya menghalangi jalan Rafan yang hendak keluar.
"Biarkan Hugo yang menolongnya, Raf, atau Prisha dan siapapun itu. Kenapa harus kamu?" Tiara merentangkan tangannya mencegah Rafan keluar.
Prisha melayangkan tatapan penuh tanya, tidak percaya bahwa rumor yang mengatakan Tiara sangat egois dan kekanak-kanakan ternyata memang benar adanya. Sementara Hugo mencabik kesal, kenapa harus dia yang terus dikorbankan Tiara?
"Menyingkirlah, Tiara. Kamu tidak punya hak mengaturku, dan apapun yang aku lakukan tidak ada hubungannya denganmu." kata Rafan datar. Dia menarik tangan Tiara dan mendorongnya pada Hugo.
"RAFAN!! AKU BELUM SELESAI BICARA!" Teriak Tiara marah.
Rafan tidak peduli, dia dengan cepat kembali ke ruangan Clarissa.
"Lepas!" Tiara menyentak kasar tangan Hugo yang memegangnya. Setelah melotot galak pada Hugo, dia setengah berlari pergi menyusul Rafan.
...***...
Like, komen dan subscribe yaa...