Virginia menjual keperawanan yang berharga pada Vincent demi menyelamatkan nyawa adiknya yang saat ini sedang koma. Namun, Vincent yang sedang mengalami prahara dalam hubungannya dengan sang mantan istri, menggunakan Virginia untuk membalas dendam pada sang mantan istri.
Vincent dengan licik terus menambah hutang Virginia padanya sehingga anak itu patuh padanya. Namun Vincent punya alasan lain kenapa dia tetap mengungkung Virginia dalam pelukannya. Kehidupan keras Virginia dan rasa iba Vincent membuatnya melakukan itu.
Bahkan tanpa Vincent sadari, dia begitu terobsesi dengan Virginia padahal dia bertekat akan melepaskan Virginia begitu kehidupan Virgi membaik.
Melihat bagaimana Vincent bersikap begitu baik pada Virgi, Lana si mantan istri meradang, membuatnya melakukan apa saja agar keduanya berpisah. Vincent hanya milik Lana seorang. Dia bahkan rela melakukan apa saja demi Vincent.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon misshel, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ketahuan
"Kakak Pasien Papa, nanti malam tidur lagi sama Brie, ya!" Brie menahan tangan Egi pagi hari saat Brie bangun tidur dan akan bersiap ke sekolah.
Egi mengangguk. "Sekarang Kakak Pasien Papa mau ke dapur dulu, Brie mau sarapan apa?"
"Apa aja, Kakak! Brie suka semuanya." Brie begitu mandiri, jadi tanpa banyak bicara lagi, dia segera ke kamar mandi, membiarkan Egi juga bersiap.
Egi segera keluar kamar, sambutan pertamanya adalah suara percikan minyak, dan suara halus robot vacum.
"Dokter?!" Egi kaget melihat Vincent berdiri di depan kompor dengan celemek menutup pakaiannya. Rasa sungkan menyergap dirinya. "Bangunkan saya saja, Dok, jangan Dokter yang masak—"
Egi sudah mengulurkan tangan untuk mengambil alih wajan dan spatula di tangan Vincent, tapi pria itu justru menjauhkan perangkat masak itu dari Egi.
"Dokter—"
"Duduk saja di meja makan!" Vincent memerintah dengan dagunya."jadilah anak yang baik!"
"Tapi Dokter, tugas masak kan tugas saya sebagai istri Dokter! Saya nanti—"
Vincent meletakkan wajan kembali ke atas kompor, mematikan api, lalu mendorong Egi ke meja makan.
"Kamu makan aja, nggak usah kerjain apa-apa di rumah!" Vincent mengambil susu. "minum ini, lalu jenguk El, katanya tadi udah mulai bisa merespons suara."
Egi menengadah ke arah Vincent yang berada di atasnya. "Bener, Dok?"
Vincent mengangguk. "Nanti sore Andrea juga datang ke sini, jadi jangan terlalu banyak main! Belajar yang bener!"
Vincent tanpa sungkan mencium kepala Egi, hingga membuat Egi merona.
Egi belum pernah menyukai seseorang dan belum pernah pacaran, jadi perasaan ini sungguh baru. Dia merasa geli pada awalnya, tapi tidak menolak Vincent. Dulu ia pikir Vincent menyeramkan, tapi ternyata sangat manis begini. Ditambah, Egi memang terbiasa patuh, jadi Vincent hanya perlu fokus menata masa depan Egi.
"Aku minta Andrea full seminggu ngajarin kamu," sambung Vincent ringan, lalu membisiki Egi sebuah kalimat yang membuat wajah Egi merah padam dan panas. "Aku ingin lagi setelah Brie berangkat sekolah."
"Kakak Egi mau sekolah ya?" Brie muncul begitu saja sehingga membuat Vincent menjauhi Egi secara spontan.
"Kak siapa—?!"
"Kak Egi, kenapa Pa?!" Brie heran.
Vincent menatap Egi dan Brie bergantian. Bingung dengan nama tersebut dari mana datangnya. "Brie tau dari mana?"
"Kak Egi sendiri yang kasih tau pas kenalan. Kata Kakak, itu panggilan dari orang-orang yang mencintai Kak Egi."
Vincent menunduk penuh protes. Dia sendirian yang belum tahu, padahal dia juga mencintai Egi.
"Maaf, saya lupa, Dokter." Egi menunduk demi menyembunyikan muka. Kenapa juga Brie bilang begitu? Itu kan jawaban konyolnya saat Brie bertanya kenapa Egi bukan Virgi.
"Oke!" Vincent menatap belakang kepala Egi penuh dendam. "Brie segera sarapan dan kemas bekalnya, nanti diantar Pak Wahyu ke sekolah seperti biasa."
"Papa—?" Tatapan polos Brie menyapu Vincent. "Kakak Egi aja deh!"
"Papa dan Kak Egi sibuk," jawab Vincent ketus. "Brie nurut aja apa kata Papa! Nanti nggak Papa ajak jalan-jalan lagi, loh!"
Brie sayangnya mengangguk. Anak itu begitu patuh sampai Egi frustrasi dibuatnya. Harusnya ngeyel dikit lah, masa langsung iya aja?
Egi merinding membayangkan benda milik Vincent itu seperti punya mata saat ia melihatnya tak sengaja kemarin. Dan benda itu menyiksanya sampai ia nyaris pingsan.
Sarapan berlangsung hening usai Vincent selesai membuat sarapan sederhana tapi sarat dengan protein. Vincent makan lebih banyak daging dan sayuran mentah tanpa dressing apapun, sementara Egi lebih suka segalanya dalam bentuk matang dan nasi. Meski Vincent bermuka masam tapi semangkuk rendang masuk ke perut Egi tanpa perlawanan berarti.
"Hehehe, aji mumpung! Dulu cuma bisa nyium baunya aja soalnya!" batin Egi cengengesan.
...
Egi melambaikan tangannya pasrah saat Pak Wahyu bahkan menjemput Brie sampai ke dalam rumah. Sedetik usai pintu tertutup, ia sudah melayang dan jatuh di sofa. Ditindih Vincent tanpa ampun, Egi hanya bisa pasrah dan membiarkan Vincent berbuat semaunya, asal badannya masih utuh pas selesai nanti.
...
Vincent memang libur, tapi sekitar jam makan siang, ponselnya berdering terus-menerus. Dengan gerakan santai dan wajah berbinar-binar, Vincent menjawab. Ia bahkan meletakkan tangan di kening Egi dan mengusapnya saat ini.
Tekun, Vincent mendengarkan, sebelum ia mematikan telepon dan turun dari ranjang untuk segera mandi.
...
Lana tidak menyerah. Ia mendekam di dalam mobil, parkir dekat parkiran khusus dokter dan karyawan rumah sakit. Cepat atau lambat, Vincent pasti muncul.
Akan tetapi, hingga jam makan siang hampir habis dan perut Lana keroncongan, Vincent tidak juga muncul.
Menggigit bibir karena resah, Lana memutuskan mencari makan di sekitar sini.
Ia meninggalkan halaman rumah sakit dan bingo! Dia melihat Vincent turun dari taksi.
Namun dia tidak sendirian, melainkan menggandeng mesra Egi. Bukan hanya itu, Egi yang sempoyongan ketika turun itu langsung di dekap erat oleh Vincent.
Tak hanya sampai di situ, Vincent juga memberi Egi kecupan di bibir.
Tangan Lana gemetar. Nalurinya mengatakan bahwa perbuatan Egi diluar batas. Anak itu ternyata ular juga!
Lana keluar dari mobil, lalu melangkah lebar untuk menjambak rambut Egi.
"Auh—sakit!"
"Lana!"