Pedang Pusaka menceritakan tentang seorang manusia pelarian yang di anggap manusia dewa berasal dari Tiongkok yang tiba di Nusantara untuk mencari kedamaian dan kehidupan yang baru bagi keturunannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cut Tisa Channel, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Butiran Cinta Nyata
"Awas kau berani sekali lagi saja mengejek ku, ku tampar hingga gigimu rontok". Gertak Naya dengan wajah di buat buat yang malah membuatnya terlihat semakin cantik.
Baru saja mereka akan melanjutkan percakapan, sekelompok penjahat berjumlah 7 orang datang mengurung mereka berdua.
"Inilah gadis iblis itu Toako". Seru salah seorang yang pernah dikerjai oleh Naya beberapa waktu lalu.
"Ternyata bocah ini masih hidup. Adik Ji, Lekas laporkan pada ketua Ki bahwa pihak kerajaan menjebak kita". Seru Toaba kepada Jiba.
Siaw Jin telah bersiap siap jika harus terpaksa menunjukkan kepandaiannya dihadapan Naya. Namun sebisa mungkin, selagi dia masih bisa menyembunyikan ilmu sakti yang dimilikinya, dia akan pura pura saja.
"Mundurlah, biar aku hadapi mereka semua. Hei kau,, jangan lari". Seruan Naya membuat langkah Jiba terhenti.
Menggunakan sebatang kayu yang dipakai seperti pedang, Raghnaya segera menghadapi ketujuh orang itu seorang diri.
Para penjahat pemberontak itu tak segan segan mengeroyok meski melihat hanya gadis itu saja yang maju.
Memang kecepatan Naya sangat dahsyat ketika dia melepaskan serangan. Baru saja dia menyerang Jiba, tiba tiba tibuhnya telah berada di dekat Twaba. Sambil mengirim pukulan kiri kanan membuat anak buah kedua pimpinan itu rebah kesana sini.
Meski memasang wajah khawatir, Siaw Jin selalu memperhatikan jalan nya pertandingan sambil berjongkok tiga meter dari arena pertarungan.
Terkadang dia mengambil sejumput tanah atau rumput untuk di lemparkan dengan tenaga dalamnya ke arah bawahan Twaba dan Jiba.
Naya yang kini sibuk meloncat kesana kemari sedikit kewalahan juga harus cepat cepat mengalahkan tujuh orang yang terhitung bisa silat dan kungfu.
Tanpa disadarinya, perlahan lahan tujuh orang itu terdesak akibat bantuan tenaga dan senjata 'rahasia' Siaw Jin yang di pungutnya dimana dia berjongkok tersebut.
Ketika sudah hampir 70 jurus Naya mainkan, secara tiba tiba Jiba yang terkena ujung kuku Naya terhempas keras mengeluarkan darah dari hidung dan kupingnya.
Di susul beberapa anak buah mereka yang rebah malang melintang membuat sisa dua orang melarikan diri termasuk Twaba.
Namun dengan jarak 10 meter, Twaba terjengkang seperti menyepak seutas tali. Akhirnya semua nya rebah ada yang pingsan dan ada pula yang tewas.
"Wah wah wah, nona hebat sekali. Mereka bertujuh keok melawan nona seorang diri". Seru Siaw Jin memasang muka bodoh sambil bangkit berjalan ke arah Naya.
"Kau tau apa? Dasar, tadi ada orang sakti yang menolong kita. Shhhht, jangan berisik dulu. Orang gagah, siapapun yang menolong kami, cepat keluar. Setelah menjawab Siaw Jin, Naya berteriak memanggil orang gagah yang membantu mereka.
Siaw Jin merasa geli sekali hatinya. Sudahlah, dia tak mau keluar. Biarkan saja dia. Menurutku kau lah yang hebat sekali nona. Aku beruntung bisa berjumpa dengan seorang dewi kungfu sepertimu".
"Hei, kau mengejek ku ya? Awas kalau kau mengejek ku terus". Gertak Naya menunjuk ke wajah Siaw Jin.
"Baiklah nona macan. Aku tak akan mengejek mu lagi". Jawab Siaw Jin dengan kejenakaannya.
Naya yang di panggil nona macan itu bertambah marah dan menghardik Siaw Jin dengan kata kata,
"Tengkurap lah seperti kodok".
Siaw Jin merasakan getaran sihir yang kuat dalam hardikan Naya. Namun hal itu mampu di lawannya. Siaw Jin malah telentang dan berkata,
"Aduh, kau menyuruhku jadi kodok ya!! Kodok gemuk lagi tidur begini ya? Hahahaha". Siaw Jin yang melihat wajah putih Naya semakin memerah segera memanggil namanya bertepatan saat dia ingin di tampar gadis itu.
"Naya, tak ingatkah kau kepadaku?" ucap Siaw Jin sambil bangkit duduk kembali di akar pohon itu.
"Eh, kau,, Si, shh, siapa?" Tanya Naya tergagap.
"Dulu kau yang merawatku sepanjang jalan ke gunung mong li". Seru Siaw Jin.
"Ah,, Siaw Jin?!" Teriak Naya yang hampir saja memeluknya.
"Eh eh eh. Raghnaya putri pak Rambala dan ibu Durgha!! Kita sudah besar. Bukan anak kecil lagi". Jawab Siaw Jin sambil tertawa.
Mereka pun duduk di bawah sebuah pohon berakar timbul. Pembaca tau sendiri lah apa yang di bicarakan kenalan lama seperti itu.
Mereka saling menceritakan pengalaman nya masing masing selama hampir 10 tahun ini berpisah.
Melihat Wajah Siaw Jin yang baru kini di perhatikan nya dengan seksama.
"Memang aku bodoh, tidak mengenali ahli silat bersama ku. Malah mencari cari penolong kita dan menganggap mu orang dusun. Hihihi". Naya yang teringat keadaan tadi merasa geli.
Akhirnya mereka sepakat melanjutkan perjalanan ke kota raja bersama sama. Siaw Jin sebagai penunjuk jalan bagi Naya.
Sepanjang perjalanan, mereka menemukan kesempurnaan pada diri teman seperjalanan masing masing.
Disana pun timbul benih benih cinta yang kelak akan menjadi buah cinta pendekar dewa sakti dan dewi sihir.
***~###~***
Petang baru saja berganti malam tatkala Si Han mengetuk pintu rumah Rambala.
"Ah, adik Han, silakan masuk". Ucap Rambala setelah membuka pintu.
Si Han yang malam itu datang bersama istrinya, langsung menanyakan perihal perjodohan anak mereka yang pernah di janjikan.
"Masalah itu aku juga tidak tau pasti Han te. Banyak hal yang terjadi setelah kunjungan mu yang terakhir". Sahut Rambala yang duduk didampingi sang istri.
"Justru karena itulah aku datang kemari. Beberapa pekan lalu, Naya putri mu berkunjung saat aku tidak di rumah. Yang ada hanya istriku. Dia berkata bahwa dia hanya mau berjodoh dengan orang yang mampu mengalahkannya". Jelas Si Han kepada rekan yang di anggap seperti abang nya sendiri itu.
"Memang karena hal itulah dia kabur dari rumah. Kami pun bingung harus bagaimana dengan perjanjian kita. Belum lagi permintaan Xiansu tentang Siaw Gin". Saat menjawab, wajah Rambala tampak murung.
"Baik nya masalah ini kita serahkan saja kepada anak anak kita. Mereka bukan lagi anak kecil yang harus kita kekang. Kita lihat saja apa yang mereka inginkan untuk kita nilai baik buruknya". Sambung Can Bi Lan.
"Benar kata nyonya Sie. Baiknya biarkan dulu masalah ini berlarut hingga kita tau bagaimana harus menyikapinya". Lanjut Durgha yang kemudian mengajak nyonya Sie ke belakang untuk memasak bersama.
Selama seminggu mereka berada di sana, namun mereka hanya bertemu dengan Losian dan tuan Bu, karena Xiansu dan murid muridnya sedang berada di kota raja.
***~###~***
Hari terus berlalu bulan pun berubah, pengepungan kota raja oleh pihak pemberontak Ki dan pasukan dari Khitan semakin ketat.
Pasukan kerajaan Khitan semakin banyak dipersiapkan oleh pihak pemberontak.
Kini keadaan kota raja sudah mulai tampak mencekam. Bayang bayang perang terlihat di depan mata mereka.
Jika pihak pemberontak kini mulai terang terangan mempersiapkan diri, dilain pihak, para panglima kerajaan qing bekerja keras secara diam diam di bawah kepemimpinan jenderal besar Bao.
Xinsu yang sementara ini tinggal di rumah besar milik jenderal Bao ikut bekerja mengatur siasat untuk dapat melenyapkan para pemberontak hingga sampai ke akar akar nya.
Malam itu, rumah makan Bu Koan terlihat ramai pengunjung. Diantara para pengunjung yang sedang makan, tampak sepasang muda mudi yanh menarik banyak sekali perhatian sekelilingnya.
Siaw Jin bersama Naya duduk di meja paling sudut ruangan itu sambil makan minum bersama.
Pandangan kagum orang orang kepada mereka tak digubrisnya. Tak lama berselang, masuklah jenderal Shu bersama tiga orang keponakannya langsung menuju ke arah Siaw Jin.
"Siaw Jin, selesai makan kami ingin berbicara kepadamu. Ada hal penting yang ingin kami sampaikan". Sapa jenderal Shu sesampainya disitu.
"Mari paman, duduk dulu makan bersama kami". Seru Siaw Jin.
Kami menunggu mu di luar". Ucap jenderal Shu sambil melangkah kan kakinya ke luar rumah makan.
Setelah selesai makan, Siaw Jin dan Naya segera menjumpai jenderal Shu yang menunggu di kereta kudanya yang terparkir di seberang jalan rumah makan.
"Naiklah Siaw Jin dan kau juga nona, kita ke rumah Shu Minho di ujung jalan ini". Berangkatlah kereta tersebut menuju ke rumah keponakan sang jenderal.
Sesampainya mereka disana, di ruang tamu Shu Minh mereka duduk mengobrol.
"Siaw Jin, apakah kau tau bahwa ayahanda mu telah wafat?" buka jenderal Shu ke arah pembicaraan yang lebih serius.
Sambil tertunduk Siaw Jin menggeleng sedikit menitikkan beberapa air mata.
"Bagaimana kabar ibu paman?" Siaw Jin bertanya setelah beberapa saat.
"Dia baik baik saja. Ada dua hal penting yang ingin ku sampaikan kepadamu Siaw Jin. Aku harap kau mau memenuhi permintaan kami ini". Seru jenderal Shu dengan wajah sangat serius.
Naya hanya menantikan apa yang akan dibicarakan jenderal setengah tua itu kepada Siaw Jin sambil memandang ke wajah mereka satu persatu.
Disana duduk jenderal Shu bersama Shu Minh dan kedua adiknya. Mereka berlima mengobrol sambil makan makanan ringan dan minum teh hangat di sana.
BERSAMBUNG. . .