Di malam satu Suro Sabtu Pahing, lahirlah Kusuma Magnolya, gadis istimewa yang terbungkus dalam kantong plasenta, seolah telah ditakdirkan untuk membawa nasibnya sendiri. Aroma darahnya, manis sekaligus menakutkan, bagaikan lilin yang menyala di kegelapan, menarik perhatian arwah jahat yang ingin memanfaatkan keistimewaannya untuk tujuan kelam.
Kejadian aneh dan menakutkan terus bermunculan di bangsal 13, tempat di mana Kusuma terperangkap dalam petualangan yang tidak ia pilih, seolah bangsal itu dipenuhi bisikan hantu-hantu yang tak ingin pergi. Kusuma, dengan jiwa penasaran yang tak terpadamkan, mencoba mengungkap setiap jejak yang mengantarkannya pada kebenaran.
Di tengah kegelisahan dan rasa takut, ia menyadari bahwa sahabatnya yang ia kira setia ternyata telah menumbalkan darah bayi, menjadikan bangsal itu tempat yang terkutuk. Apa yang harus Kusuma lakukan? mampukah ia menyelamatkan nyawa teman-temannya yang terjebak dalam kegelapan bangsal 13?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon bobafc, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Relawan
Sejak peristiwa tersesat di pemakaman, Kusuma menjalani hidupnya dengan langkah yang lebih berhati-hati, seolah setiap langkah adalah tarian di atas kawat tipis yang menghubungkan dunia nyata dengan dunia lain. Andai bisa memilih, dia ingin menjadi wanita biasa, tanpa beban yang membelenggu jiwa, berusaha sekuat tenaga menutup mata dan telinga agar tidak terjebak dalam masalah yang melibatkan alam gaib. Namun, semua itu bagaikan angin yang berusaha menembus celah-celah jendela, sia-sia dan tak terhindarkan.
Berbagai macam wujud menghampiri Kusuma, seakan mereka adalah bayangan yang tak pernah lelah meminta bantuan, menggoda rasa kemanusiaannya. Di antara mereka, terdapat juga beberapa orang yang dihantui oleh makhluk gaib, dan Kusuma merasa terpanggil untuk membantu mereka terbebas dari belenggu ketakutan, semua itu ia lakukan di luar jam kerjanya, bagai lilin yang menyala di tengah kegelapan, berharap cahaya itu bisa mengusir bayang-bayang yang merundung.
Duduk termenung di balkon klinik milik Dokter Viko, Kusuma merindukan dua sahabatnya, Bilqis dan Agvia, yang bagai bintang-bintang di langit malam, memberi cahaya dalam kegelapan hidupnya. Agvia, yang memilih kembali ke kota Malang, seolah melambung ke angkasa tanpa jejak, tak pernah ada kabar mengenai keadaannya. Begitu pula dengan Bilqis, yang memilih keluar dari rumah sakit Tirtonegoro milik Dokter Lista, meninggalkan Kusuma dalam kesunyian yang menyakitkan.
"Kusuma!" panggil Dinda, suaranya memecah kesunyian yang melingkupi.
"Iya, Din," jawab Kusuma, mengalihkan pandangannya ke arah suara.
"Maaf ya karena aku meminta bantuan kemarin, kamu jadi tersesat," ungkap Dinda, nada penyesalannya terlukis jelas.
"Harusnya aku yang meminta maaf, karena aku tersesat membuat temanmu terpaksa membatalkan acaranya," balas Kusuma, menatap Dinda dengan rasa bersalah yang menggelayut di hati.
"Dia sudah memaklumi, kok," Dinda mencoba menenangkan.
"Nasib mobil kamu gimana?" tanya Kusuma, mengenang kendaraan yang telah menjadi saksi bisu petualangan tidak biasa itu.
"Terpaksa mobilnya aku jual. Mobil itu sudah membawa sial," jawab Dinda, matanya menunduk seolah tak ingin mengingat kembali kesedihan itu.
"Makasih, ya..." Dinda kembali tersenyum, senyum yang tulus setelah beberapa hari dibayangi penyesalan.
Malam pun meliputi klinik, Dinda dan Kusuma memilih tidur di dalam, membiarkan kesunyian menemani mereka dalam persiapan untuk hari yang akan datang.
"Oh iya, apa kamu masih mau berangkat besok untuk menjadi relawan? Kalau nggak, biarkan aku mewakili mu," tanya Dinda, dengan nada penuh harapan.
"Tidak perlu, biarkan aku yang berangkat. Selain menjadi relawan, aku berharap di sana nanti bisa bertemu dengan teman-teman dari kampusku dulu. Tahu sendiri, kegiatan bakti sosial ini bekerja sama dengan para alumni Stikes, salah satunya kampusku," jelas Kusuma, berharap bisa merajut kembali tali persahabatan yang sempat terputus.
Waktu meluncur cepat, dan Kusuma yang sudah bersiap berpamitan dengan Dinda serta karyawan lainnya di klinik. Setibanya di lokasi pertemuan para relawan, Kusuma mulai mengedarkan pandangannya, seperti seorang pemburu yang memburu jejak keberadaan dua sahabatnya.
Selangkah demi selangkah, dia melangkah di antara kerumunan, namun tak menemukan keberadaan Bilqis. Sementara panitia sibuk menata perbekalan, semua tampak berlalu dengan cepat, seperti arus sungai yang tak pernah berhenti.
"Brak!"
Kusuma tanpa sengaja menabrak Abdi, dokter muda yang pernah ia temui ketika mengikuti seminar bersama Viko. Kopi yang sedari tadi di tangan Abdi mengalir seperti air terjun, membasahi jas praktiknya, menciptakan noda hitam yang seolah menjadi lukisan tak diinginkan di atas kanvas putih.
"Maaf, Dok! Saya gak sengaja!" ucap Kusuma, suaranya terbata-bata, rasa malu merambat dalam dirinya.
"Kamu bukannya Alya yang kemarin ikut seminar di Surabaya?" tanya Abdi, alisnya terangkat, tanda ketertarikan.
"Ya Tuhan, dia mengenaliku!" batin Kusuma, hatinya bergetar antara rasa bangga dan cemas. “Waduh, payah lagi jas praktiknya basah,” pikirnya sambil menatap noda kopi yang terus menganga.
"Hallo, kamu Alya kan?" tanya Abdi sekali lagi, konfirmasi yang membuat Kusuma terperangah.
"Eh iya, Dok. Ini saya Alya. Bisa berikan jas praktiknya, Dok? Biar saya cuci." Suara Kusuma bergetar, berusaha sekuat tenaga untuk tetap tenang meski hatinya bergejolak.
"Yakin kamu mau nyuci jas praktik milikku?" tanya Abdi, nada suaranya setengah bercanda, setengah ingin tahu.
"Iya, Dok. Tapi besok setibanya di lokasi bencana, saya bersihkan," jawab Kusuma, tekadnya tak goyah meskipun perutnya berkeroncong.
"Baiklah, kalau begitu," kata Abdi, akhirnya melepaskan jas praktiknya dan memberikannya kepada Kusuma, seolah menyerahkan secercah harapan dalam selembar kain.
"Mas Abdi!" sapa Agvia, sahabat Kusuma yang tak lain adalah sinar terang di tengah kebingungan.
"Agvia!" sahut Kusuma dengan penuh suka cita, kebahagiaannya meluap seperti gelembung sabun yang meledak di udara.
"Kusuma! Apa kabar kamu? Ya Allah, nggak nyangka kita ketemu di sini," Agvia mengerahkan semua energi positifnya, seolah mereka bertemu setelah sekian lama terpisah oleh lautan waktu.
"Kalian saling kenal?" tanya Abdi, wajahnya penuh rasa ingin tahu.
"Kusuma ini teman satu kampusku, Mas. Ini yang dulu pernah aku ceritakan sama Mas Abdi," terang Agvia, menciptakan jembatan baru di antara mereka.
"Ini sepupuku, Kusuma. Kakaknya Bilqis," sambung Agvia kepada Kusuma, membangun ikatan yang semakin erat.
"Loh, namanya Kusuma atau Alya?" tanya Abdi, bingung.
"Namaku Kusuma Magnolya. Karena kemarin ada Shaka, dan kebetulan ia tak mengenalku, jadinya aku pakai nama Alya," jelas Kusuma, seolah menata kembali kepingan identitasnya.
Mereka pun saling berbincang, percakapan yang mengalir seperti aliran sungai yang tak terputus. Kusuma merindukan Agvia setelah hubungan mereka terputus karena Bilqis yang cemburu dan memilih pulang ke Malang, seakan-akan sebuah buku cerita yang hilang halaman-halamannya.
"Dulu, aku pernah ke rumah Dokter Lista dan sempat berkunjung ke rumahmu yang lama. Karena kamu pindah, aku sudah gak tahu lagi mencari kalian," ungkap Agvia, matanya berbinar dengan kenangan.
"Ya sudah, nanti kita lanjutkan di perjalanan. Yuk, kita naik bus dulu!" ajak Abdi, suara antusiasnya menjadi angin segar yang menerpa wajah mereka. Mereka bertiga melangkah menuju bus, dengan harapan dan kisah baru yang siap untuk ditulis bersama.
Rumah sakit Kasih Ibu, bangunan bergaya kolonial Belanda, menjulang megah di lereng gunung, seakan menjadi saksi bisu dari beragam kisah yang terpendam di dalam dindingnya. Meskipun tidak terlalu besar, rumah sakit ini menyimpan harta karun cerita yang bisa membuat bulu kuduk berdiri, seperti rahasia yang berbisik di antara bayang-bayang. Kusuma, Agvia, dan Abdi terpilih untuk menjalani tugas di rumah sakit ini selama satu minggu, seolah mereka dipanggil untuk berpetualang di dunia lain.
"Ayo, cepat bangun! Agvia, kita sudah sampai!" teriak Kusuma, suaranya memecah keheningan pagi.
"Aahh... sudah sampai, ya," jawab Agvia, matanya berbinar saat menatap keluar jendela kaca bus, wajahnya penuh keheranan. Rumah sakit itu, dengan arsitektur kunonya, tampak seperti sebuah museum yang terperangkap dalam waktu, “Ini rumah sakit atau museum? Antik banget. Keren banget ini buat foto-foto,” tambahnya, semangatnya membara.
"Sssttt... sembarangan kamu! Ngomong kayak orang buang sampah! Rumah sakit ini bukan hanya manusia yang isinya! Ada juga itu makhluk halus yang datang," sahut Kusuma, menyentuh kepala Agvia dengan telunjuk, seolah memberi peringatan.
Agvia hanya melirik dan terdiam, membayangkan suasana rumah sakit di malam hari, ketika cahaya bulan bersinar redup dan bayangan mengintai di sudut-sudut ruangan. "Wah, alamat bakal mengalami yang aneh nanti, apalagi kamu, Kusuma,” batin Agvia, menatap Kusuma yang asyik mendengarkan musik di ponselnya, terbuai oleh melodi yang menutupi keraguan.
Bus yang mereka tumpangi akhirnya berhenti di pelataran rumah sakit. Halaman luasnya, dikelilingi hutan pinus yang menjulang tinggi, memberikan nuansa mencekam seolah mengundang misteri untuk terungkap. Setiap hembusan angin seakan membawa bisikan dari masa lalu, memperkuat perasaan bahwa mereka berada di tempat yang lebih dari sekadar bangunan.
Agvia dan Abdi melangkah masuk ke rumah sakit untuk menemui pemilik sekaligus kepala rumah sakit. Di dalam, mereka disambut oleh Dokter Nayla, seorang wanita yang seakan membawa aura kebijaksanaan.
"Selamat datang! Ibu berharap kalian bisa kerasan selama bertugas di sini. Bekerjalah dengan baik, karena ini adalah relawan. Saya berharap kalian bekerja dengan menggunakan hati," ujarnya dengan senyuman yang menghangatkan, meski ada kedalaman misterius di balik tatapannya.
"Karena kalian baru saja tiba, istirahat dulu saja. Kalian bisa mulai bertugas nanti malam," ucap Dokter Nayla, menambahkan lapisan ketenangan di antara mereka.
"Oh iya, kamar tidur kalian selama di sini berada di sebelah barat rumah sakit. Nanti perawat Anisa akan mengantar kalian," jelas Dokter Nayla yang mengenakan kaos hitam, menandakan bahwa ia siap untuk memimpin.
"Anisa, tolong antarkan mereka ke rumah bunga, ya!" teriak Dokter Nayla dengan lantang, suaranya bagaikan lonceng yang menggema di dinding-dinding tua.
"Baik, Bu. Ayo, aku antar." Perawat berambut pendek itu mempersilahkan mereka untuk mengikutinya, langkahnya lincah dan penuh semangat.
"Kalau begitu, kami pamit, ya, Bu," kata Kusuma mewakili mereka bertiga, meskipun hatinya bergetar penuh ketegangan.
"Baik, istirahatlah! Karena mungkin malam kalian akan panjang," kata Dokter Nayla sambil tersenyum, senyuman yang menyimpan teka-teki, membuat mereka bertiga bertanya-tanya sendiri dalam hati tentang apa yang akan mereka hadapi.
Anisa melangkah cepat, membuat mereka bertiga hampir tertinggal. Agvia dan Abdi tergopoh-gopoh mengejar, seperti burung yang terbang mengikuti arus angin. Sementara itu, Kusuma memilih untuk berjalan lambat dan santai, setiap langkahnya penuh dengan kehati-hatian, seakan menghindari jebakan tak terlihat.
Rumah sakit bagi Kusuma adalah tempat yang biasa ia kunjungi, namun kali ini, ia merasa seperti memasuki labirin penuh misteri. Dengan setiap langkah yang diambil, ia merasakan udara dingin yang menusuk, dan hatinya berdebar setiap kali mendengar suara yang tak terduga. Belum terbiasa dengan penampakan yang bisa muncul tiba-tiba, ia tahu bahwa di tempat ini, kehadiran makhluk tak kasat mata bisa membuat siapapun terkejut, bahkan mungkin menjerit histeris seperti jaman dahulu kala ketika roh-roh gentayangan merayap di antara dunia.