NovelToon NovelToon
Di Antara 2 Hati

Di Antara 2 Hati

Status: sedang berlangsung
Genre:Selingkuh / Cinta Terlarang / Pelakor / Pelakor jahat
Popularitas:3.1k
Nilai: 5
Nama Author: cocopa

Amara adalah seorang wanita muda yang bekerja di sebuah kafe kecil dan bertemu dengan Adrian, seorang pria sukses yang sudah menikah. Meski Adrian memiliki pernikahan yang tampak bahagia, ia mulai merasakan ketertarikan yang kuat pada Amara. Sementara itu, Bima, teman dekat Adrian, selalu ada untuk mendukung Adrian, namun tidak tahu mengenai perasaan yang berkembang antara Adrian dan Amara.

Di tengah dilema cinta dan tanggung jawab, Amara dan Adrian terjebak dalam perasaan yang sulit diungkapkan. Keputusan yang mereka buat akan mengubah hidup mereka selamanya, dan berpotensi menghancurkan hubungan mereka dengan Bima. Dalam kisah ini, ketiganya harus menghadapi perasaan yang saling bertautan dan mencari tahu apa yang sebenarnya mereka inginkan dalam hidup.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon cocopa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Duri Dalam Kebisuan

Pagi itu, Amara terbangun lebih awal dari biasanya. Ia tidak bisa tidur dengan nyenyak semalam. Pikiran tentang Bima, Adrian, dan semua hal yang terasa seperti benang kusut terus menghantui. Matahari baru saja mulai menyelinap melalui tirai kamar mereka, tetapi Amara sudah duduk di tepi tempat tidur dengan pandangan kosong.

Bima masih tertidur di sampingnya, wajahnya terlihat damai, seolah tak ada beban. Amara memandang suaminya dengan campuran emosi yang sulit dijelaskan. Ada cinta, tentu saja, tetapi juga ada rasa ragu yang mulai merayap. Seolah ada sesuatu yang perlahan meretakkan fondasi hubungan mereka.

Amara menghela napas dan memutuskan untuk memulai hari lebih awal. Ia berjalan ke dapur dan mulai menyiapkan sarapan sederhana. Aktivitas itu biasanya membuat pikirannya lebih tenang, tetapi pagi ini, bahkan aroma kopi yang harum tidak cukup untuk mengusir kegelisahannya.

Saat Bima akhirnya muncul di dapur, Amara sedang duduk dengan secangkir kopi di tangannya, menatap kosong ke arah jendela.

"Pagi," sapa Bima, suaranya serak karena baru bangun tidur.

"Pagi," jawab Amara singkat tanpa menoleh.

Bima mengernyit, menyadari ada sesuatu yang tidak biasa. "Kamu udah bangun dari kapan? Biasanya aku yang duluan bikin kopi."

"Barusan aja," Amara berbohong, mencoba terdengar biasa.

Bima duduk di depannya, mengamati wajah Amara dengan seksama. "Ada apa, Ra? Kamu kelihatan nggak seperti biasanya."

Amara menggigit bibirnya, menahan diri untuk tidak langsung melontarkan semua pertanyaan yang menghantui pikirannya. "Nggak ada apa-apa, Mas," jawabnya akhirnya.

Bima menghela napas, tetapi tidak mendesak lebih jauh. Ia tahu Amara butuh waktu untuk terbuka, seperti halnya dirinya sendiri.

Setelah sarapan, Amara berangkat ke kafe lebih awal dari biasanya. Ia merasa butuh ruang untuk menyendiri, untuk merenungkan semua yang terjadi. Namun, suasana kafe yang biasanya menjadi pelarian baginya hari itu justru terasa berbeda.

Adrian muncul lagi, lebih awal dari waktu biasanya. Kehadirannya seperti angin dingin yang tiba-tiba masuk ke ruangan. Amara, yang sedang menyusun gelas-gelas di rak, langsung merasa gugup.

"Mas Adrian, pagi-pagi udah ke sini. Biasanya kan siang," kata Amara mencoba terdengar santai.

Adrian tersenyum tipis, tetapi sorot matanya tetap serius. "Kebetulan hari ini ada meeting pagi, jadi mampir dulu sebelum ke kantor."

Amara mengangguk, mencoba fokus pada pekerjaannya. Namun, ia bisa merasakan tatapan Adrian terus mengikuti gerak-geriknya.

"Amara," panggil Adrian setelah beberapa saat.

"Ya, Mas?" jawab Amara tanpa menoleh.

"Kamu kelihatan nggak baik hari ini. Ada yang bisa aku bantu?"

Pertanyaan itu membuat Amara berhenti sejenak. Ia ingin menjawab bahwa tidak ada yang salah, tetapi ia tahu Adrian tidak akan mudah percaya.

"Nggak kok, Mas. Aku cuma capek aja," jawabnya akhirnya, berharap jawaban itu cukup.

Adrian tidak bertanya lebih jauh, tetapi dari raut wajahnya, Amara tahu bahwa pria itu masih penasaran.

---

Sementara itu, di rumah, Bima duduk sendirian di ruang tamu. Ia memandangi foto pernikahannya dengan Amara yang terpajang di dinding. Senyum mereka di foto itu terlihat begitu tulus, tetapi sekarang ia merasa seolah-olah mereka adalah dua orang yang berbeda.

Bima tahu ia tidak bisa terus menunda. Ada terlalu banyak hal yang belum ia ceritakan pada Amara, dan semakin lama ia menyimpan semuanya, semakin besar risiko yang harus ia tanggung.

Ia meraih ponselnya dan menatap nama Adrian di daftar kontaknya. Sudah lama mereka tidak berbicara secara langsung, dan Bima merasa waktu itu sudah tiba. Dengan tangan gemetar, ia mengetik pesan singkat.

"Adrian, kita perlu bicara. Temui aku malam ini di tempat biasa."

Pesan itu terkirim, tetapi Bima merasa hatinya semakin berat. Ia tidak tahu bagaimana percakapan itu akan berjalan, tetapi ia tahu bahwa ia tidak bisa lari lagi.

---

Malam itu, Amara pulang lebih awal dari biasanya. Kafe sedang sepi, dan ia merasa tidak ada gunanya berlama-lama di sana. Namun, saat ia sampai di rumah, Bima sudah tidak ada.

Amara menemukan catatan kecil di meja makan. "Aku ada urusan penting. Jangan tunggu aku, tidur aja duluan," tulis Bima singkat.

Hati Amara terasa semakin gelisah. Ia tahu suaminya tidak biasa meninggalkan rumah tanpa alasan yang jelas, apalagi menuliskan pesan seperti itu.

Di luar rumah, Bima melangkah ke sebuah tempat yang penuh kenangan—sebuah taman kecil yang dulu sering ia dan Adrian kunjungi. Malam itu, tempat itu sepi, hanya ada deru angin dan suara gemerisik dedaunan.

Adrian tiba beberapa menit kemudian, wajahnya penuh tanda tanya. "Kenapa tiba-tiba ngajak ketemu di sini?" tanyanya.

Bima menatap Adrian dengan sorot mata yang sulit diartikan. "Kita nggak bisa terus begini, Adrian. Semuanya harus jelas, sebelum ini jadi lebih rumit."

Adrian mengerutkan kening, tetapi ia tidak menjawab. Ia tahu apa yang akan dibicarakan Bima, tetapi ia tidak yakin siap untuk menghadapinya.

Bima menghela napas berat, mencoba merangkai kata-kata yang tepat. Ia merasa seolah sedang berjalan di atas tambang tipis yang bisa putus kapan saja.

"Adrian, kamu tahu aku nggak pernah keberatan sama persahabatan kita. Aku selalu percaya sama kamu, sama integritas kamu." Bima menghentikan kata-katanya, mencoba membaca ekspresi Adrian.

Adrian hanya menatapnya, menunggu kelanjutan tanpa memberikan reaksi yang berarti.

"Tapi sekarang, aku mulai merasa ada yang berubah," lanjut Bima. Suaranya lebih rendah, tetapi penuh emosi. "Amara... dia bukan cuma istri aku, dia pusat hidup aku. Dan akhir-akhir ini, aku nggak bisa menghilangkan pikiran kalau kamu—"

"Kalau aku apa?" potong Adrian, suaranya terdengar datar namun tajam.

"Kamu terlalu sering muncul di sekitar dia," jawab Bima dengan tegas, meskipun suaranya sedikit bergetar. "Aku nggak tahu apakah aku terlalu paranoid, tapi aku nggak bisa terus berpura-pura semuanya baik-baik aja."

Adrian mendengarkan dengan tenang, meskipun ada ketegangan yang terlihat jelas di wajahnya. Ia menyilangkan tangannya di dada, berpikir sejenak sebelum menjawab.

"Jadi, kamu mau bilang kalau aku... berusaha merebut Amara dari kamu?" tanyanya, suaranya penuh kehati-hatian.

Bima mengangguk kecil, meskipun hatinya terasa berat untuk mengucapkan tuduhan itu. "Aku nggak bilang kamu seperti itu, Adrian. Tapi kamu terlalu dekat dengan dia, dan aku nggak bisa mengabaikan itu lagi."

Adrian menghela napas panjang, lalu melangkah mundur. Ia menatap langit malam seolah mencari jawaban di antara bintang-bintang.

"Bima," katanya akhirnya, suaranya lebih tenang. "Aku nggak pernah punya niat buruk sama kamu atau Amara. Dia hanya teman, dan aku menghormati kamu sebagai suaminya."

Namun, ucapan Adrian tidak cukup untuk menghapus keraguan yang sudah berakar di hati Bima. Mereka berdua terdiam, terjebak dalam suasana yang penuh ketegangan.

---

Sementara itu, di rumah, Amara duduk di sofa ruang tamu dengan perasaan campur aduk. Kepergian Bima yang tiba-tiba membuatnya semakin gelisah. Ia mencoba mengalihkan perhatian dengan menonton televisi, tetapi pikirannya tetap kembali ke pertanyaan yang sama: apa yang sebenarnya terjadi di antara mereka?

Amara mulai berpikir tentang semua momen aneh yang ia alami belakangan ini. Kedekatan Adrian yang kadang terasa terlalu personal, perhatian kecil yang tidak ia temukan lagi dari Bima, dan bagaimana semuanya perlahan-lahan menciptakan jarak di hatinya.

"Apa aku yang salah?" gumam Amara pada dirinya sendiri.

Saat itu, ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk dari nomor tak dikenal:

"Amara, aku tahu ini mungkin terdengar gila, tapi aku harus bilang sesuatu. Kita perlu bicara. Bisa ketemu besok di kafe jam biasa? - Adrian."

Amara terdiam, membaca pesan itu berkali-kali. Pesan itu singkat, tetapi penuh implikasi. Adrian ingin bicara dengannya secara langsung.

Amara tidak tahu apakah ia harus merespons atau mengabaikan pesan itu. Tapi satu hal yang pasti, hatinya semakin gelisah.

---

Kembali di taman, Bima akhirnya memutuskan untuk mengakhiri pembicaraan mereka.

"Adrian, aku nggak tahu apakah aku bisa percaya sama kamu saat ini," kata Bima dengan nada putus asa. "Tapi kalau kamu benar-benar menghormati aku, aku minta kamu jaga jarak dari Amara."

Adrian menatapnya lama sebelum menjawab. "Kalau itu yang kamu mau, aku akan coba. Tapi aku harap kamu juga ngerti, Amara itu teman aku, dan aku nggak akan pernah menyakitinya."

Bima tidak menjawab. Ia hanya mengangguk kecil sebelum berbalik dan berjalan pergi, meninggalkan Adrian sendirian di bawah langit malam yang gelap.

1
Zein Shion
Gemesin banget sih tokoh utamanya, bikin hati meleleh😍
ANDERSON AGUDELO SALAZAR
Sekali baca, rasanya nggak cukup! Update dong, thor! 👀
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!