Di tengah dunia magis Forgotten Realm, seorang pemuda bernama Arlen Whiteclaw menemukan takdir yang tersembunyi dalam dirinya. Ia adalah Pemegang Cahaya, pewaris kekuatan kuno yang mampu melawan kegelapan. Bersama sahabatnya, Eira dan Thorne, Arlen harus menghadapi Lord Malakar, penyihir hitam yang ingin menaklukkan dunia dengan kekuatan kegelapan. Dalam perjalanan yang penuh dengan pertempuran, pengkhianatan, dan pengorbanan, Arlen harus memutuskan apakah ia siap untuk mengorbankan segalanya demi kedamaian atau tenggelam dalam kegelapan yang mengancam seluruh Forgotten Realm.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon orionesia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Gerbang Tersembunyi
Mereka mengikuti Joran dengan langkah hati-hati di sepanjang jalan sempit yang diapit pepohonan lebat. Matahari mulai terbenam, mewarnai langit dengan semburat jingga dan bayang-bayang yang panjang. Langkah Joran tenang dan terukur, sementara Arlen, Finn, dan Eira saling melempar pandang penuh tanya. Meski Joran mengaku sebagai mantan murid Pengawal Cahaya, rasa was-was tetap menyelimuti mereka.
"Berapa jauh lagi, Joran?" tanya Finn, suaranya terdengar was-was.
Joran menoleh, menatap Finn dengan mata tajam. "Tidak jauh. Gerbang tersembunyi itu berada di balik lembah ini. Tapi kalian harus ingat, melewati gerbang itu bukanlah hal yang mudah."
Arlen mengerutkan kening. "Maksudmu?"
Joran melanjutkan langkahnya, suaranya penuh teka-teki. "Tanah Pelindung adalah tempat yang hanya bisa dicapai oleh mereka yang layak. Gerbang ini dijaga oleh penjaga roh, makhluk yang dapat melihat ketulusan hati kalian. Jika ada sedikit saja keraguan atau ketakutan dalam diri kalian, mereka akan menghalangi jalan."
Finn menelan ludah, ragu. "Kedengarannya tidak mudah."
Eira menyentuh lengan Finn, memberikan senyuman tenang. "Kita harus percaya pada diri kita sendiri. Kau punya keberanian yang besar, Finn."
Arlen menarik napas dalam-dalam. "Baik, kami siap."
Setelah berjalan beberapa saat, mereka tiba di mulut lembah. Udara di sini terasa dingin dan sunyi, seolah-olah lembah ini terputus dari dunia luar. Kabut tebal melayang-layang, membuat pandangan mereka terhalang.
Joran berhenti di depan sebuah batu besar yang ditutupi oleh lumut. Ia mengangkat tangannya, mengucapkan mantra dalam bahasa kuno yang membuat udara bergetar. Batu besar itu perlahan-lahan bergeser, memperlihatkan celah sempit yang di dalamnya terlihat gelap dan dalam.
“Di sinilah gerbang menuju Tanah Pelindung. Ikuti aku dan jangan berpaling,” ucap Joran.
Mereka bertiga mengikuti Joran masuk ke dalam celah tersebut. Semakin dalam mereka melangkah, semakin pekat kegelapan yang menyelimuti. Suara langkah kaki mereka bergema, menambah kesan misterius di sekitar.
Finn bergumam, “Aku tidak suka tempat seperti ini. Terlalu sunyi.”
Baru saja Finn selesai bicara, dari balik kegelapan, muncul bayangan-bayangan yang mengitari mereka. Mata merah mereka menyala, tampak seperti arwah-arwah yang menunggu untuk menyergap.
Arlen terhentak. “Apa itu, Joran?”
Joran menoleh cepat. “Tetap tenang. Mereka adalah penjaga roh. Jika kita menunjukkan ketakutan, mereka akan menyerang.”
Namun, salah satu roh itu melayang lebih dekat, tepat di hadapan Arlen. Sosok itu perlahan berubah, menjadi mirip dengan bayangan dirinya sendiri. Bayangan itu mulai berbicara dengan suara Arlen.
"Arlen, apa kau yakin bisa melindungi teman-temanmu? Apa kau cukup kuat untuk memegang Cahaya?" kata bayangan itu, suaranya dingin.
Arlen merasakan detak jantungnya berpacu. Ia tahu itu hanyalah ujian, namun bayangan itu berbicara seperti membacanya hingga ke dasar hatinya. “Aku… aku akan berusaha sekuat tenaga.”
Bayangan itu tersenyum sinis. “Cukupkah berusaha? Atau kau hanya akan membahayakan mereka?”
Eira menyentuh lengan Arlen, membuatnya tersadar. “Arlen, jangan dengarkan itu. Fokus pada tujuan kita.”
Arlen mengangguk, meski kata-kata bayangan itu menimbulkan keraguan kecil dalam dirinya. Mereka melanjutkan langkah, diiringi bisikan dan tawa bayangan yang terus mengikuti mereka.
Tiba-tiba, salah satu roh berwujud seperti sosok yang Finn kenal baik—ayahnya yang telah lama hilang. Sosok itu mendekat dan berbisik, "Finn, kau takkan pernah bisa menjadi seperti aku. Kau hanya beban bagi mereka."
Finn menggertakkan giginya, merasa marah sekaligus terluka. “Kau bukan ayahku!” Ia berusaha untuk tetap tenang, meski di dalam hatinya ia merasakan keraguan mulai merayap.
Joran menoleh ke arah Finn. “Jangan biarkan emosi menguasaimu. Itu yang mereka inginkan.”
Akhirnya, mereka tiba di sebuah pintu batu besar di ujung lorong. Pintu itu dihiasi ukiran-ukiran kuno dengan simbol Cahaya di tengahnya. Namun, sebelum mereka sempat mendekat, dua penjaga roh terbesar berdiri menghalangi mereka.
Salah satu dari mereka berbicara dengan suara menggelegar, “Hanya mereka yang layak yang bisa melewati gerbang ini. Buktikanlah hati kalian.”
Eira melangkah maju, menatap penjaga roh dengan penuh keyakinan. “Kami datang untuk meminta perlindungan dari Cahaya dan melawan kegelapan. Buka pintu ini, dan biarkan kami melanjutkan perjalanan kami.”
Penjaga itu terdiam, lalu perlahan-lahan menghilang, membuka jalan di depan mereka.
Joran memberi isyarat agar mereka segera masuk. "Kita harus cepat. Gerbang ini tidak akan terbuka lama."
Arlen, Finn, dan Eira bergegas melangkah melewati pintu batu yang perlahan tertutup di belakang mereka. Namun, saat mereka memasuki ruangan di balik gerbang, mereka terkejut mendapati sebuah tempat luas yang dipenuhi pilar-pilar batu, tampak seperti aula besar yang sunyi dan tak berujung.
Eira tertegun. “Ini… apa ini?”
Joran menjawab dengan suara berbisik, seolah takut mengganggu sesuatu yang tidak terlihat. “Ini adalah Aula Kebenaran. Di sini, segala ketakutan, rahasia, dan kebohongan akan terungkap. Hanya mereka yang mampu menerima kebenaran dalam diri mereka yang bisa melanjutkan perjalanan ke Tanah Pelindung.”
Finn menelan ludah, menatap sekeliling dengan wajah penuh ketakutan. “Kita… kita harus melewati tempat ini?”
Joran mengangguk pelan. “Kalian harus. Setiap orang akan dihadapkan pada sesuatu yang tak bisa mereka hindari.”
Mereka mulai melangkah, setiap langkah membawa mereka lebih dalam ke aula yang penuh bayangan dan gema suara aneh. Tiba-tiba, cahaya kecil muncul di tengah aula, membentuk bayangan yang berbeda-beda di hadapan masing-masing dari mereka.
Bayangan di hadapan Arlen memperlihatkan dirinya sendiri, namun kali ini dengan sorot mata penuh kebencian dan kekecewaan.
“Arlen,” kata bayangan itu, suaranya dingin. “Kau tak layak memegang Cahaya. Kau lemah, dan hanya akan menjadi beban bagi teman-temanmu.”
Arlen mengepalkan tangannya, berusaha melawan perasaan takut dan ragu yang timbul. “Aku mungkin belum cukup kuat. Tapi aku akan terus berusaha, demi melindungi mereka yang aku sayangi.”
Bayangan itu tersenyum samar, kemudian menghilang, meninggalkan Arlen yang masih terguncang namun lebih percaya diri.
Di sisi lain, Finn melihat bayangan dirinya yang tampak lebih kecil dan lemah. Bayangan itu berbisik dengan suara yang penuh keraguan. “Kau tidak akan pernah bisa melindungi mereka. Kau hanya beban.”
Finn merasakan keraguan mencengkeram hatinya, namun ia mengingat kata-kata Eira yang selalu memberinya kekuatan. Ia memejamkan mata dan berkata, “Aku mungkin tidak punya kekuatan seperti Arlen, tapi aku punya keberanian. Aku akan melindungi teman-temanku.”
Bayangan itu menghilang, meninggalkan Finn yang merasa lebih kuat.
Sementara itu, Eira menghadapi sosok bayangan yang menyerupai dirinya namun dengan tatapan penuh rasa bersalah.
“Kau meninggalkan keluargamu, Eira. Mereka semua membutuhkanmu. Kau pengecut,” suara itu berbisik dengan nada sinis.
Eira mengangkat dagunya, berusaha menahan emosi yang muncul. “Aku memilih jalan ini karena ingin melindungi yang lebih lemah. Aku tahu itu berat, tapi aku takkan pernah berhenti berjuang.”
Dengan kata-kata tersebut, bayangan Eira pun lenyap.
Setelah berhasil melalui ujian masing-masing, mereka akhirnya melihat pintu besar di ujung aula, bercahaya dan terbuka lebar, menandakan jalan menuju Tanah Pelindung.
Namun, saat mereka hendak melangkah, Joran tiba-tiba berhenti, wajahnya tampak diliputi keraguan yang tidak biasa.
“Joran?” Arlen memanggilnya dengan penuh rasa penasaran. “Ada apa?”
Joran menunduk, suaranya bergetar. “Aku… aku tidak bisa melanjutkan. Aku telah membuat kesalahan besar di masa lalu. Aku tidak layak untuk memasuki Tanah Pelindung.”
Finn mendekatinya. “Joran, kau telah membimbing kami sejauh ini. Kau telah menolong kami.”
Namun, Joran hanya menggelengkan kepalanya dengan rasa penyesalan yang mendalam. “Tidak, kalian tidak mengerti. Kesalahan yang kubuat… terlalu besar. Aku melanggar janji kepada Pengawal Cahaya. Aku… menyembunyikan sesuatu dari kalian.”
Arlen menatap Joran dengan raut wajah bingung dan khawatir. “Apa maksudmu? Apa yang kau sembunyikan dari kami, Joran?”
Joran menundukkan kepala, suaranya penuh rasa bersalah. “Sebelum aku diasingkan, aku bekerja sama dengan Malakar. Aku membantu dia dalam mencari jalan menuju Tanah Pelindung. Karena itulah aku tidak dapat melewati gerbang ini. Penjaga roh tahu bahwa aku pernah berkhianat pada Cahaya.”
Finn menatap Joran dengan kecewa, sementara Eira menggeleng tak percaya. “Joran… mengapa kau melakukan itu?”
Joran mengangkat pandangannya, air mata menggenang di matanya. “Aku menyesalinya. Aku terperdaya oleh Malakar, dipenuhi ambisi yang buta. Tapi setelah melihat kalian… melihat tekad kalian… aku tahu aku salah. Aku hanya ingin menebus dosaku.”
Arlen menggenggam bahu Joran, mencoba memberikan dorongan. “Kau telah membantu kami sejauh ini. Kau sudah menunjukkan niat baikmu, Joran. Mungkin itu cukup untuk menebus kesalahanmu.”
Namun, Joran menatap pintu dengan getir. “Aku tak bisa melanjutkan. Ini adalah hukuman yang harus kuterima.”
Tepat saat itu, sebuah suara gemuruh terdengar di balik pintu. Cahaya dari dalam Tanah Pelindung meredup seketika, dan sebuah bayangan gelap tampak melintasi celah pintu, mendekat dengan cepat.
Arlen, Finn, dan Eira saling bertatapan, hati mereka diliputi ketegangan. “Kita harus bersiap,” bisik Arlen. “Bayangan itu… adalah Malakar.”