Gadis cantik selesai mandi, pulang ke gubugnya di tepi sungai. Tubuh mulus putih ramping dan berdada padat, hanya berbalut kain jarik, membuat mata Rangga melotot lebar. Dari tempatnya berada, Rangga bergerak cepat.
Mendorong tubuh gadis itu ke dalam gubug lalu mengunci pintu.
"Tolong, jangan!"
Sret, sret, kain jarik terlepas, mulut gadis itu dibekap, lalu selesai! Mahkota terengut sudah dengan tetesan darah perawan.
Namun gadis itu adalah seorang petugas kesehatan, dengan cepat tangannya meraih alat suntik yang berisikan cairan obat, entah apa.
Cross! Ia tusuk alat vital milik pria bejad itu.
"Seumur hidup kau akan mandul dan loyo!" sumpahnya penuh dendam.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Syarifah Hanum, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 26
Satria menepuk pelan pundak Rangga, seakan memberi sedikit kehangatan bagi pemuda yang mentalnya sedang kacau itu.
"Rangga...!", panggil Satria setelah beberapa saat ruangan itu senyap, karena keduanya membisu, dengan isi kepala yang riuh.
" Hem..!", sahut Rangga singkat.
"Berapa banyak perempuan yang sudah menjadi korbanmu? Dan apakah kamu tidak menyesali sedikit pun?", tanya Satria.
Sebagai seorang perawat di rumah sakit jiwa, ia sangat yakin, jika pasien yang sedang bersamanya itu tidak gila.
Makanya ia bicara kepada Rangga selayaknya pria dewasa yang punya pikiran normal.
" Nyesal? Ya, elah, nggaklah! Enak gitu kok nyesal, ada ada saja kamu!"
Suara kekeh tawa Rangga terdengar riuh, wajahnya juga berseri seri menandakan ia bahagia sekali.
Sedangkan Satria di sebelahnya menggeram kesal, ingin sekali ia menimpuk kepala Rangga yang isinya cuma rongsokan begitu.
"Lalu, setelah seperti ini, apakah lau masih bisa berbangga diri karena sudah berhasil meniduri banyak cewek?"
Raut ceria di wajah Rangga seketika lenyap tak berbekas, berganti dengan wajah murung yang menyedihkan.
"Kau benar, aku kehilangan masa depanku! Aku benci cewek itu! Jika suatu saat aku bertemu dengannya, akan aku balas dia!
Membuatnya menderita, merusak asetnya, sama persis seperti yang dia lakukan padaku!"
Mata Rangga berkilat marah, rahangnya mengeras sehingga terdengar suara gemertak gigi gerahamnya yang saling beradu.
"Tak perlu seekstrim gitu! Dalam hal ini kau yang salah. Kau salah memilih lawan, kawan!
Dia bukan cewek rendahan yang rela dilecehkan hanya demi segepok uang yang tak seberapa.
Ia melindungi harga dirinya! Walau dia sudah ternoda, namun alam semesta tahu, jika dia wanita terhormat yang berjuang mati matian demi melindungi marwahnya.
Akan ada rekam jejak yang membuktikan, jika hilangnya selaput daranya bukan karena ia murahan, namun direngut paksa oleh seorang bajingan seperti kamu ini".
Tenang dan datar Satria berkata, namun membuat jantung Rangga tertohok nyeri. Ia tersinggung, sangat tersinggung.
" Jangan menghinaku? Aku bisa saja menghabisimu sekarang!"
"Ha ha ha..., bagaimana kau mau menghabisi aku? Sedangkan kedua kakimu terikat di situ!", kata Satria dengan tawanya yang keras dan telunjuknya mengarah ke kaki Rangga.
" Sial!", geram Rangga sambil mengepalkan kedua telapak tangannya.
"Hei, kawan, aku bicara seperti ini karena aku tahu kamu tidak gila! Hanya karena kepanikan orang tuamu lah makanya mereka membawamu ke tempat ini.
Kau hanya depresi, tidak bisa menerima kenyataan, karena hilangnya separuh harga diri dan keperkasaanmu, kawan!
Sadarlah, masa depanmu masih panjang, tidak perlu melulu memikirkan hal itu.
Jika kau masih kuliah, tamatkan kuliahmu, dan carilah kerja yang bagus.Bangkit! Dan lupakan kesialanmu hari ini!"
Satria bicara blak blakan, ia tidak perlu menjaga perasaan pasiennya karena memang Rangga itu tidak apa apa, hanya kecewa yang terlalu dalam akan nasibnya sehingga tidak mampu mengendalikan pikiran liarnya.
Rangga termenung, omongan Satria masuk akal, jadi ia memutuskan untuk tidak sakit hati.
"Berarti aku tidak gila? Aku sudah bisa pulang ? Kapan?", tanya Rangga senang.
" Kau tidak gila tapi pesong!", ucap Satria bercanda dan ia tertawa lebar.
"Atau kau mau kutunjukan orang yang benar benar terganggu jiwanya sehingga mereka tidak sadar siapa dirinya?
Akan ku lepaskan ikatan kakimu dan kita keluar untuk melihat mereka.
Tapi ingat, kau jangan macam macam, aku bakal mudah melumpuhkan kau karena aku atlet karate".
" Iya..!"
Setelah mendengar jawaban Rangga, Satria membuka ikatan kaki Rangga dan juga mencopot jarum infus di tangan Rangga.
"Kau waras, maka bersikaplah selayaknya orang waras!", ucap Satria penuh tekanan.
Lalu keduanya beriringan menyusuri koridor rumah sakit hingga menuju ke halaman belakang.
" Lihatlah mereka! Apa kamu ingin seperti mereka dengan bersikap seenaknya mengeluarkan emosimu? Menyerang adikmu dan melempari kaca jendela rumahmu?
Kau memang boleh marah dengan apa yang terjadi padamu, namun sungguh naif jika kau melampiaskan secara ugal ugalan pada orang lain, tanpa menyadari jika masalah itu sebenarnya berasal dari kebrengsekan dirimu sendiri!"
Sepertinya Rangga tidak mendengarkan ucapan Satria.
Perhatiannya terfokus pada orang orang yang berada di halaman.
Mereka memakai baju gamis putih, hilir mudik tak tentu arah.
Ada yang tertawa sendiri, mengoceh ngoceh tak karuan, menangis menjerit jerit dan ada pula yang duduk termenung di bangku taman dengan pandangan kosong.
"Kau mau seperti mereka? Maka teruslah pelihara rasa stresmu sehingga otakmu tak mampu lagi menerimanya!"
Sengaja Satria bicara kasar pada Rangga, karena pemuda ini hanya tidak bisa mengelola tingkat kestresannya saja.
"Aku lapar!"
Rangga tidak menanggapi omongan Satria, ia memang lapar dan ia ingin segera makan.
"Ayo kita kembali ke kamarmu, makanlah makananmu yang sudah disediakan oleh rumah sakit".
" Masakannya tidak enak, aku mau makan yang lain",tolak Rangga.
"Memang kau punya uang untuk membeli makanan di luar?", tanya Satria dengan kening berkedut.
" Tidak! Traktir aku! Nanti aku ganti jika orang tuaku datang".
"Tidak perlu diganti, aku ikhlas tapi tak lebih dari tiga puluh ribu ya!", ucap Satria serius.
" Satu lagi, berjanjilah untuk tidak datang ke tempat ini! Belajarlah untuk mengelola rasa kecewamu!
Kau memang sudah cacat, tapi hidupmu belum tamat. Bangkitlah dan tetap semangat!" Ucap Satria terus memotivasi Rangga.
Setelah beberapa saat, mereka tiba dikantin rumah sakit.
"Pesanlah apa yang kau mau!", ucap Satria.
Tanpa banyak.bicara, Rangga langsung menyantap nasi berserta lauk pauk yang ia pesan hingga tandas tak bersisa.
" Aku sudah selesai, ayo ke kamarku, mungkin sebentar lagi orang tuaku datang menjemputku".
"Pergilah sendiri ke kamarmu! Ku harap kau masih ingat jalannya dan tidak kesasar. Aku ingin di sini", kata Satria.
" Kau percaya kepadaku? Tidak takut aku kabur?"
"Silahkan kamu kabur! Tempat ini dikelilingi oleh tembok tinggi. Lagi pula jika kau tertangkap, kau akan dibius total lalu diikat tangan dan kakimu serta kau akan dimasukkan ke ruang rehab yang gelap dan pengap", ucap Satria menakut nakuti Rangga.
Pada hal ia berbohong, namun sepertinya Rangga terpengaruh dan percaya omongan Satria.
Ternyata, setibanya Rangga di kamarnya, ayah dan ibunya sudah ada di ruangan ini.
Hanya berdua, tanpa Naomi adiknya.
" Naomi mana bu?", tanya Rangga dengan melongokan kepalanya dan matanya bergerak mencari keberadaan adiknya itu.
"Dia tidak mau ikut, dia masih takut padamu!", ucap Masitha.
Mendengar omongan ibunya Rangga menunduk, ia menyesal telah bersikap sangat buruk terhadap adik satu satunya itu.
" Maafkan Rangga bu!", ucapnya sedih.
"Sudahlah, sekarang kita pulang! Tadi kami sudah bertemu dokter yang merawatmu, beliau bilang kau tidak gila hanya stres saja.
Sekarang yang penting, kau bisa bijak mengelola emosimu agar tidak membahayakan orang lain.
Andai itu kau ulangi lagi, maka kami akan benar benar membenamkan kau di tempat ini, bersama dengan mereka yang memang terganggu jiwanya!", ancam Indra serius.
Pria paru baya itu sengaja menghantam mental anaknya dengan tujuan untuk membuat Rangga takut.
Namun setelah dari tempat ini, ia sudah memiliki rencana untuk melakukan sesuatu demi pemulihan mental anaknya itu.