Naira berbalik menghadap Nauval ."wah kalungnya bagus Nai ,ada huruf inisial N," Kata Naira sambil tersenyum.
"N untuk Naira, N untuk Nauval juga, jadi di mana pun kamu nanti nya akan selalu ingat sama aku Nai ," Kata Nauval sambil tersenyum.
"Bisa aja kamu Val , makasih ya, aku akan jaga baik baik Kalung ini ,"ucap Naira senang sambil memeluk Nauval.
Nauval terdiam saat Naira memeluknya,ada rasa nyaman yang dia rasa, seakan tidak mau jauh lagi dari sahabat nya itu.dia membalas pelukan itu sambil mengusap kepala Naira .
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Naura Maryanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 32. Cinta dan dendam
Dua minggu menjelang pernikahan yang seharusnya menjadi momen paling bahagia dalam hidup Ciara berubah menjadi mimpi buruk. Ketika ia melihat Vino, calon suaminya, bergandengan tangan mesra dengan wanita lain, hatinya hancur berkeping-keping. Tidak ada penjelasan, tidak ada alasan yang bisa membenarkan tindakan Vino. Ia merasa dikhianati dan dibiarkan tenggelam dalam rasa sakit yang menusuk.
Malam itu, Ciara duduk sendirian di kamarnya, air mata mengalir deras. Di antara isak tangisnya, sebuah pikiran muncul—kalau Vino bisa mempermainkannya, mengapa ia tidak bisa melakukan hal yang sama? Bukan untuk balas dendam semata, tapi untuk mengembalikan harga dirinya. Saat itu, sebuah nama muncul di benaknya: Alvian Dharmawan, kakak kandung Vino yang selama ini dikenal sebagai pria yang pendiam, tenang, dan dewasa.
Pikiran itu semakin kuat di kepalanya. Alvian sering memperlihatkan perhatian lebih padanya, meski ia selalu menganggap itu sebagai sikap seorang calon kakak ipar. Tapi sekarang, Ciara berpikir untuk memanfaatkan perhatian itu.
"Memulai Permainan"
Keesokan harinya, Ciara sengaja mengirim pesan kepada Alvian.
"Kak Alvian, bisa kita bertemu? Aku butuh bicara soal sesuatu yang penting."
Alvian merespons dengan cepat.
"Tentu, Ciara. Ada apa? Kamu baik-baik saja?"
Ciara tersenyum tipis membaca pesannya. Dia selalu perhatian, berbeda dengan Vino, pikirnya. Mereka sepakat bertemu di sebuah kafe kecil yang tenang di pinggir kota.
Saat bertemu, Ciara langsung menumpahkan isi hatinya. Ia menceritakan betapa hancur hatinya setelah melihat Vino dengan wanita lain, meski ia sengaja menyembunyikan niat balas dendamnya. Alvian mendengarkan dengan seksama, tatapannya dipenuhi rasa simpati dan marah kepada adiknya.
"Vino keterlaluan," gumam Alvian sambil mengepalkan tangan. "Aku tak menyangka dia bisa berbuat seperti itu padamu. Kalau kau butuh seseorang untuk mendukungmu, aku selalu ada, Ciara."
Mendengar itu, Ciara menatap Alvian dengan mata yang tampak rapuh. "Kak Alvian, aku hanya butuh seseorang yang bisa membuatku merasa dihargai lagi. Aku lelah dengan rasa sakit ini."
Alvian, tanpa ragu, menggenggam tangan Ciara. "Aku di sini untukmu. Kau pantas mendapatkan kebahagiaan, bukan rasa sakit."
Hubungan mereka semakin intens. Alvian mulai sering mengajak Ciara makan malam, mengantarnya pulang, dan mengirim pesan setiap malam untuk memastikan ia baik-baik saja. Di sisi lain, Ciara mulai menikmati perhatian yang diberikan Alvian. Meski awalnya ini hanya bagian dari rencana balas dendam, perlahan-lahan ia mulai merasa nyaman.
Sementara itu, Vino tampak tidak menyadari perubahan sikap Ciara. Ia tetap sibuk dengan kegiatannya dan wanita yang entah siapa. Ciara bahkan tidak peduli lagi jika Vino mencurigainya. Ia terlalu fokus pada hubungannya dengan Alvian yang mulai terasa lebih nyata.
Suatu malam, Alvian mengajak Ciara berjalan-jalan di taman. Di bawah rembulan, ia menatap Ciara dengan penuh kehangatan. "Aku tahu ini mungkin bukan waktu yang tepat, tapi aku harus jujur," katanya pelan.
"Apa itu, Kak?" tanya Ciara, meski ia sudah bisa menebak jawabannya.
"Aku mencintaimu, Ciara," ujar Alvian tegas. "Sejak pertama kali aku melihatmu, aku tahu kau berbeda. Tapi aku menahan perasaanku karena kau tunangan Vino. Sekarang aku tak bisa lagi berpura-pura. Aku ingin kau tahu bahwa aku akan selalu ada untukmu, jika kau memberiku kesempatan."
Kata-kata itu membuat Ciara terdiam. Ia merasa dilematis. Di satu sisi, ia masih terluka oleh pengkhianatan Vino dan berniat membalas dendam. Tapi di sisi lain, ia tak bisa menyangkal bahwa ia mulai merasakan hal yang sama terhadap Alvian.
Saat hubungan mereka semakin dalam, Vino akhirnya mulai curiga. Ia mendapati Ciara semakin sering menghindarinya dan lebih banyak menghabiskan waktu dengan Alvian. Ketika ia mencoba mengonfrontasi Ciara, jawaban yang diterimanya membuatnya terkejut.
"Kenapa kau peduli, Vino? Bukankah kau sudah punya wanita lain?" tanya Ciara dengan nada tajam.
"Itu hanya salah paham, Ciara!" sergah Vino. "Aku mencintaimu! Kau calon istriku!"
Ciara tertawa pahit. "Mencintaiku? Kalau begitu, apa penjelasanmu soal wanita itu?"
Vino terdiam, tak mampu menjawab. Di saat yang sama, Alvian muncul. Ia berdiri di belakang Ciara, melindunginya seperti seorang ksatria.
"Vino, kau sudah kehilangan hak untuk berbicara soal cinta," ujar Alvian dingin. "Jika kau benar-benar mencintainya, kau tak akan menyakitinya."
Konfrontasi itu membuat semuanya semakin rumit. Ciara tahu bahwa ia harus membuat keputusan: tetap melanjutkan rencana balas dendamnya atau menerima perasaan Alvian yang tulus.
Di tengah kekacauan itu, ia mulai menyadari satu hal—cinta dan dendam tak pernah bisa berjalan beriringan. Dan di antara dua pria itu, ia harus memilih yang benar-benar mencintainya, bukan sekadar melukai yang lain.
Ciara yang mendengar pengakuan Alvian Dharmawan yang mengatakan mencintainya pun senang. karena tinggal sedikit lagi rencana nya berhasil untuk balas dendam kepada vino , Menikah dengan Alvian Dharmawan dan menjadi kakak ipar vino adalah hal yang paling sakit untuk vino lihat apalagi dengan Ciara bermesraan dengan Alvian sang kakak dari vino
"Menciptakan Luka yang Lebih Dalam"
Malam itu, setelah mendengar pengakuan cinta dari Alvian, Ciara merasa senang sekaligus puas. Rencananya semakin mendekati keberhasilan. Ia tahu bahwa menikah dengan Alvian, kakak Vino, akan menjadi pukulan yang tidak pernah bisa dilupakan oleh mantan tunangannya.
“Kalau Vino bisa mempermainkan aku, aku juga bisa menghancurkan dunianya,” pikir Ciara dengan senyum licik.
Alvian, yang tidak tahu apa-apa tentang rencana licik Ciara, semakin menunjukkan perhatiannya. Ia mulai sering mengajak Ciara bertemu, mengenalkannya pada beberapa rekan kerja, bahkan menunjukkan niat serius untuk melamar Ciara.
Beberapa hari setelah pengakuan itu, Ciara sengaja mengunggah foto-foto bersama Alvian di media sosial. Foto-foto itu memperlihatkan kebersamaan mereka di restoran mewah, di taman, dan bahkan di rumah keluarga Dharmawan. Ia tahu bahwa Vino akan melihatnya, dan ia berharap foto-foto itu menjadi duri di hati mantan tunangannya.
Benar saja, Vino melihat foto-foto itu. Hatinya dipenuhi rasa marah dan sakit yang mendalam. Ia tidak pernah menyangka bahwa Ciara akan mendekati Alvian, kakak kandungnya. Baginya, ini adalah penghinaan yang sulit diterima.
Suatu malam, Vino datang menemui Ciara. Wajahnya penuh amarah. "Ciara, apa yang kau lakukan dengan kakakku? Kau tahu ini salah!"
Ciara hanya tersenyum dingin. "Salah? Apa yang salah, Vino? Aku hanya mencari kebahagiaan. Bukankah itu yang kau lakukan saat menggandeng wanita lain di belakangku?"
"Itu berbeda! Aku tidak pernah berniat meninggalkanmu, Ciara!"
"Tapi kau melakukannya," Ciara memotong dengan tegas. "Dan sekarang, aku hanya membalas apa yang kau lakukan. Bedanya, aku tidak melakukannya diam-diam. Aku ingin kau melihat semuanya."
Vino terdiam, tidak mampu membalas. Untuk pertama kalinya, ia merasakan bagaimana rasanya dihancurkan oleh seseorang yang ia sayangi.
Apakah Ciara akan memilih Alvian? Ataukah ia tetap menjalankan balas dendamnya pada Vino?