Setelah terbangun dari mimpi buruk di mana ia dibunuh oleh pria yang diam-diam ia kagumi, Ellison, Queen merasa dunianya berubah selamanya.
Sejak hari itu, Queen memutuskan untuk tidak lagi terlibat dalam kehidupan Ellison. Dia berhenti mengejar cintanya, bahkan saat Ellison dikelilingi oleh gadis-gadis lain. Setiap kali bertemu Queen akan menghindar- rasa takutnya pada Ellison yang dingin dan kejam masih segar dalam ingatan.
Namun, segalanya berubah saat ketika keluarganya memaksa mereka. Kini, Queen harus menghadapi ketakutannya, hidup dalam bayang-bayang pria yang pernah menghancurkannya dalam mimpinya.
Bisakah Queen menemukan keberanian untuk melawan takdirnya? Mampukah dia membatalkan pertunangan ini atau takdir memiliki rencana lain untuknya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ladies_kocak, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 25
Queen melangkah gontai di jalan menuju pemakaman keluarga, air mata perlahan mengalir di pipinya. Hatinya berkecamuk, tidak percaya orang yang paling ia cinta telah membentaknya.
Dengan penuh penolakan, dia menolak tawaran Gio untuk mengantarnya pulang.
Sampai di pemakaman, dia menatap kuburan keluarganya dengan mata sayu. Ia berlutut lemah, kepala menunduk, tangisan pun pecah memecah keheningan pemakaman.
Penjaga pemakaman yang selalu melihat Queen berdiri tegar terakhir kali, kali ini tercengang menyaksikan tangisannya yang begitu menggugah.
"Ma, Pa, Kak Vale," bisiknya lirih, tatapan matanya kini kabur, tak lagi berbinar seperti biasanya saat mengunjungi tempat suci ini.
“Ajak Uin bersama kalian... Uin enggak sanggup lagi, Uin ingin bersama kalian,” lanjutnya dengan suara terbata, meraih simpati dari para penziarah lain yang tidak kuasa menahan iba.
Mereka menyaksikan Queen, masih mengenakan seragam sekolah, menangis tersedu-sedu di tengah pemakaman, menggerakkan kepalanya perlahan di antara lipatan tangannya, menahan duka yang kian menggema.
"Tolong bawa Uin bersama kalian, kak Ell enggak sayang lagi sama Uin."
Queen terduduk lemas di tempat itu, air mata terus mengalir membasahi pipinya selama tiga jam penuh. Saat dia bersiap meninggalkan tempat tersebut, dia berbisik putus asa, "Uin tunggu kalianjemput aku."
Di kejauhan, Alexi yang kebetulan menziarahi kubur ibunya, mengamatinya dengan penuh keprihatinan.
Pemandangan Queen yang berantakan - seragamnya yang kusut dan rambut panjangnya yang berantakan, mendorong Alexi untuk bertindak. Dia segera mengendarai mobilnya, menghadang Queen dan turun sambil berjalan cepat menuju gadis itu.
Sambil memegang kedua bahu Queen, Alexi bertanya dengan suara penuh kekhawatiran, "Vale, ada apa hm?"
Queen hanya mampu memandang Alexi dengan mata yang berkaca-kaca, lalu, tak mampu menahan beban, dia memeluk kakak kelasnya dan menangis keras dalam dekapan yang menenangkan.
Di saat itu, Queen hanya memerlukan sebuah pelukan yang dapat memberinya kekuatan.
Alexi merasakan kejutan ketika Queen tiba-tiba memeluknya. Mata Alexi memandang Queen dengan perasaan prihatin yang mendalam, tangannya secara refleks membalas pelukan gadis itu.
"Gue antar lo pulang, ya?" tawarnya dengan suara lembut.
Queen hanya mengangguk pelan, membenamkan wajahnya di bahu Alexi enggan melepaskan pelukan itu.
Di dalam mobil, suasana hening memisahkan keduanya. Queen memandang keluar jendela dengan tatapan kosong, sementara Alexi tenggelam dalam pikirannya sendiri, bertanya-tanya apa yang telah terjadi pada gadis di sampingnya yang tampak begitu rapuh.
Alexi tidak pernah melihat Queen selemah ini sebelumnya, yang dia tahu gadis itu sangat kuat.
***
Di markas utama, heningnya suasana seolah membelenggu, diperparah dengan Ellison yang menenggak minumannya dalam diam.
Teman-temannya menatapnya dengan wajah muram, setiap tatapan mengirimkan empati untuk Ell5 yang baru kali ini menunjukkan penyesalan mendalam terhadap perlakuannya pada Queen.
Mereka tahu, amarah Ellison bukan murni dari hatinya, tetapi terpicu oleh ledakan emosi sesaat.
Suara pintu utama terbuka membuyarkan lamunan mereka. Di ambang pintu, seorang wanita paruh baya berdiri, pesonanya tak luntur meski usia sudah melewati 40 tahun.
"Mommy," suara Gio lembut memecah sunyi.
Soya melangkah masuk dengan senyuman menghiasi wajahnya. Dia mendekati dan duduk di samping Putra bungsunya yang masih terperangkap dalam kekecewaannya sendiri.
Ketika Soya ingin membuka percakapan, Ellison memotong, suaranya datar namun menusuk, "Jika Mommy datang hanya untuk menanyakan kenapa aku memarahi Vale, lebih baik mommy pulang saja."
"Sayang, apa kamu yakin Vale itu selicik itu. Mommy tahu dari dulu kamu mengenal Vale sebagai gadis arogan dan licik, tapi coba kamu pikir, apakah kamu merasakan Vale sangatlah berbeda dari 10 tahun yang lalu? " kata Soya dengan lembut.
Ellison mengernyit, alisnya terangkat seraya ia mendengar sang mommy berbicara tentang Queen.
Wajah Ellison terlihat bingung dan curiga. Sang mommy, dengan suara lembut, berusaha menenangkan, "Adek, Mommy mungkin tidak tahu segalanya, tapi Mommy percaya dia tidak melakukannya."
"Kenapa Mommy begitu yakin?" tanya Ellison masih dengan nada keheranan.
Soya mendekat, menatap mata anaknya dan berkata, "Kalau Mommy bilang dia itu Uin, gadis yang selalu kamu rindukan, kamu percaya nggak?" Kata-katanya menggantung, memancing reaksi.
Mata Ellison melebar, terkejut, atas perkataan sang ibu. Tanpa suara, ia mencoba mencerna ucapan ibunya.
"Kamu tahu gak bedanya Vale dengan Uin?" Soya kembali bertanya.
Ellison mengangguk lemah. "Mata mereka, Mom. Setiap kali mata Uin memandang, aku merasa damai."
Senyuman merekah di wajah Soya, menyentuh dan lembut. "Nah, lihatlah Vale apakah kamu merasakan yang sama?"Soya menasihati dengan hangat.
Ellison termenung, membiarkan pemikirannya melayang, menyadari mata teduh yang selama ini dicarinya, tersemat pada sosok gadis yang ia benci.
Ellison menatap Soya dengan intens, matanya menyempit seolah mencoba menangkap setiap kata yang dilontarkan ibunya. Wajahnya memerah, tidak menentu, saat menangkap makna dibalik perkataan tersebut.
"Dia Uin, sayang... orang yang kamu rindukan selama ini," ulang Soya dengan nada lembut, tetapi tegas.
Deg!
Ellison merasakan degupan jantungnya semakin kencang, pikirannya kacau.
Bukan hanya Ellison yang terkejut, para sahabatnya yang berdiri tak jauh dari sana, yang tampak sama terkejutnya.
Mereka semua diam, bertukar pandang, tidak yakin bagaimana menanggapi pengungkapan yang tidak terduga tersebut. Suasana tegang menggantung di udara, terasa hampir seperti pengkhianatan.
"Tapi dia punya mata hitam seperti Vale, mom!" kata Ellison tidak Terima.
Soya kembali tersenyum,"Dia memakai soflen sayang, mata aslinya berwarna biru seperti Uin,"
"Kenapa kalian menyembunyikan hal ini dari Ell, mom?" tanyanya dengan nada tinggi, menunjukkan rasa tidak percayanya. Dia merasa terkhianati, tersakiti.
Soya mendekati Ellison, mengambil tangan anaknya itu dalam genggamannya. "Ini semua keinginannya, sayang. Awalnya, Mommy ingin memberitahumu semua, tapi Uin melarang karena kamu sudah memiliki kekasih. Dia tidak ingin mengganggu hubungan kamu," jelasnya, berusaha menenangkan suasana dengan suaranya yang penuh kasih sayang namun terasa berat.
Ellison tenggelam dalam kekesalan dan penyesalan yang mendalam. Raut wajahnya memucat ketika mengingat insiden memarahi Queen beberapa saat yang lalu. Bodohnya lagi dia tidak menyadari, padahal Queen menyebut dirinya sebagai Uin.
"Tapi bukan begini caranya, Mom," desahnya, suara bergetar. "Aku merasa tersiksa. Tadi aku membentaknya,bahkan dia menangis histeris."
Soya menatap anaknya dengan penuh empati, menarik napas sebelum melanjutkan, "Ini bukan hanya masalah dia harus berbohong, Dek."
Dia berhenti sejenak, melihat kegundahan yang menerpa putranya, kemudian menambahkan, "Jika kamu ingin tahu seluruh alasannya, carilah jawaban dari Ayah Mario. Tanya bagaimana dia bisa bertahan hidup selama sepuluh tahun tanpa kita di sisinya."
Setelah mendengar penjelasan panjang lebar dari ibunya, Ellison terdiam, berusaha mencerna semua informasi itu. Kepalanya terasa berat, dadanya sesak. Tangan gemetarnya menyusuri helaian rambut, mencoba mengusir frustasi yang menumpuk.
"Kamu ingat saat Uin berteriak histeris di pesta pertunangan?" tanya Soya membuat Ellison menggeleng cepat.
"Bangun dari pingsan, Uin ketakutan karena baru saja bermimpi kalian menyiksa dan membunuhnya," kata-kata Soya membuat jantung Ellison sakit seperti dihantam baru besar, dia membola matanya dengan berkaca-kaca. Bagaimana bisa gadisnya ketakutan kepadanya selama ini hanya karena mimpi.
"Setiap bertemu kalian, dia selalu lari dan membuat kakinya lemah untuk bergerak," lanjut Soya.
"Kata Ayah Mario, mimpi itu terjadi karena salah satu penyebab penyakitnya kambuh, mommy juga tidak tahu pasti penyakit apa yang dideritanya, tapi yang jelas mimpi itu akan datang jika ada orang yang mengancamnya atau menakutinya,"
Soya kemudian perlahan berdiri, dengan lembut, dia mengelus rambut anaknya dan berkata, "Sudah, Mommy harus pergi sekarang. Cobalah perbaiki hubunganmu dengan Uin, dia selamanya menunggumu," pesannya penuh kasih.
"Dan, jangan terlalu menyalahkan diri sendiri. Ingat, ini bukan sepenuhnya salahmu."
Soya berjalan perlahan meninggalkan ruangan sambil memandang para sahabat anaknya dengan tatapan penuh harapan. "Jagalah dia! Dia mungkin akan menyakiti diri sendiri," bisiknya lembut namun serius.
Sean, dengan rasa tanggung jawab, membalas, "Tentu Mommy. Kami akan selalu berada di dekatnya."
Soya hanya mengangguk, sambil tersenyum tipis. Para sahabat anaknya sudah seperti keluarga baginya, jadi dia bisa bernafas lega saat Ellison berusaha menyakiti dirinya.
Para sahabat terdiam, tidak menyangka Queen selalu lari dari mereka karena sebuah mimpi yang tidak akan terjadi dalam kehidupan nyata. Mereka juga bersalah karena ikut menyakiti dan mengatai Queen.
Sesaat setelah Soya pergi, seorang pengawal masuk dan membawa berita. "Maaf tuan, di luar ada nona Alexi menunggu." Semua terkejut, bertanya-tanya apa yang membawa Alexi kesana.
"Persilakan dia masuk, Pak," perintah Geo.
Dengan langkah gontai, Alexi menghampiri mereka. Tatapannya jatuh pada Ellison yang tampak menahan emosi, lalu ia hanya mengangkat bahu dengan acuh tak acuh.
" Kenapa?" tanya Geo ketika Alexi berhenti di samping Dion.
"Mama minta kak Geo dan kak Gio pulang. Malam ini ada perjamuan keluarga," jawab Alexi, suaranya datar namun membawa kabar penting.
Mama Geo dan Gio, lebih tepatnya mama tiri Alexi, terus berupaya memperbaiki hubungan yang sempat retak dengan anak-anaknya. Walaupun masa lalu penuh luka, si kembar tersebut perlahan membuka hati untuk memaafkan. Sering kali mereka menerima ajakan sang mama, tapi selalu menolaknya.
Kali ini mereka akan menerimanya, "Kenapa nggak nelpon aja?"
Alexi, yang sedang berada dalam suasana hati yang buruk, mendengus kesal. "HP gue mati," ujarnya dengan wajah cemberut.
"Ok, kita akan pulang," kata Gio, menenangkan suasana.
"Makasih," sahut Alexi, matanya tak bisa lepas dari Ellison yang tampak acak-acakan, membangkitkan rasa takut dalam dirinya karena belum pernah melihat Ellison dalam keadaan seperti itu.
Geo menangkap kekhawatiran Alexi dan bertanya, "Ada apa?"
" Apa terjadi sesuatu? Gue juga lihat Vale terlihat kacau seperti Ellison,"
Ketika Ellison sedang meneguk air, nama Queen yang disebut membuatnya tersedak dan gerakannya terhenti. Nama itu telah memenuhi pikirannya sejak tadi.
Sean mengernyitkan dahi, penuh ketidakmengertian atas kata-kata Alexi. "Maksud lo apa?" tanyanya dengan nada penasaran.
Alexi menghela nafas panjang, memulai cerita dengan suara berat. "Gue nggak sengaja ketemu dia di pemakaman. Dia bersimpuh di depan tiga kuburan, menangis kencang. Awalnya gue acuh, tapi lama-lama gue iba," ungkapnya, suaranya terhenti sejenak, seolah-olah berat untuk dilanjutkan.
Setelah mengumpulkan tenaga, Alexi melanjutkan, "Gue jadi penasaran. Gue ikutin dia deh, lalu hadang dia dan tanya ada apa. Dia cuma mandang gue dengan tatapan kosong, terus tiba-tiba dia meluk gue dan nangis lebih kencang lagi."
Alexi merenungi kembali pengalaman itu, "Saat gue bawa dia pulang, tatapannya masih sama. Dia melewati para pengawal, dan semua memandang dia dengan rasa takut."
Ellison, yang selama ini mendengarkan, merasa hatinya tersayat mendengar kisah tersebut. Cintanya kepada sang pujaan hati membuatnya tidak tahan membayangkan tangisan itu.
Dengan cekatan, dia meremas kaleng di tangannya hingga terbuka, dan darah segar mulai keluar dengan deras. Semua yang hadir menghela nafas menyaksikan Ellison, si pembunuh berdarah dingin, menunjukkan sisi rapuhnya.
Berbeda dengan Alexi yang sekarang gemetar ketakutan, dia secara refleks membenamkan dirinya di belakang Dion, enggan melihat darah atau luka.
Melihat ini, Dion meraih tangan Lexia yang dingin dan menggenggamnya, memberikan sedikit kekuatan.
"Dion," panggil Geo dengan suara penuh kekhawatiran. "Antar dia pulang."
Dion hanya mengangguk pelan dan menggiring Alexi yang masih bergeming meninggalkan mansion yang mencekam itu.
Sementara itu, Geo mendekati Ellison "Sudah, bro... Jangan nyakitin diri sendiri." Geo memegang bahu Ellison, mencoba memberikan dukungan.
Ellison, dengan mata berkaca-kaca, menambahkan, "Gue pantas dapat ini, gue sendiri yang buat menangis."
"Bukan begini juga caranya, Lison," sahut Geo, sambil dengan hati-hati membersihkan darah di tangan Ellison, dibantu oleh Sean.
Ellison hanya mampu tersenyum pahit," dia pasti benci banget sama gue,"
Melihat keadaan Ellison yang begitu terpukul, Geo berusaha menghibur. "Gue yakin dia gak akan benci lo. Mata dia berbinar tiap lihat lo, dia sangat mencintai lo, sama seperti lo yang juga sangat mencintainya," jawab Geo dengan penuh keyakinan.
" Dia tidak akan benci lo malah dia akan sangat memerlukan lo, gue bisa lihat dari matanya, jadi perbaiki semuanya kita akan selalu berada dibelakang lo. "
Perkataan Geopun selesai mengiringi Sean menyelesaikan balutan ditangan Ellison.
seru cerita nya🙏
GK jd mewek UIN🤭
ko ada aja yg GK suka