Ara adalah seorang personal asisten Garvi, hubungan mereka cukup unik. Terkadang terlihat layaknya kawan sendiri tapi tak jarang bersikap cukup bossy hingga membuat Ara lelah sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lin_iin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
dua puluh
💙💙💙💙
Fani memutuskan kembali ke kamarnya setelah keduanya selesai membeli nasi goreng. Awalnya Ara meminta gadis itu untuk makan bersamanya, tapi berhubung karena Fani ingin makan sambil menelfon sang kekasih jadi mereka gagal makan bersama. Ara pun pada akhirnya memutuskan untuk mandi terlebih dahulu sebelum makan. Saat hendak membuka bungkus nasi gorengnya tiba-tiba terdengar chat masuk. Awalnya ia pikir kalau itu sepupu Fani, tapi ternyata justru gadis itu sendiri yang mengirim chat. Tumben banget telfonannya cepat.
Sebenarnya boleh juga sih, apalagi jika mengingat profesi sepupu Fani ini. Tidak munafik kalau ia sedikit tergoda. Tapi mendadak perasaan bersalah terhadap Garvi dan Dika. Padahal kalau dipikir-pikir lagi kan mereka tidak memiliki hubungan spesial yang membuatnya harus merasa bersalah. Tapi kenapa dirinya merasa demikian ya?
Ara menghela napas berat, merasa kesal dengan dirinya sendiri.
Masa bodoh lah, lebih baik sekarang ia makan karena perutnya mulai keroncongan. Saat kembali menyuap tiba-tiba ada chat yang kembali masuk.
Ara nyaris tersedak saat mendapat kirimin foto sepupu Fani. Ia kemudian meraba dada sebelah kirinya yang mendadak berdebar aneh. Sudut bibirnya kemudian membentuk senyuman malu-malu. Cepat-cepat ia membalas chat yang sempat ia abaikan tadi.
Awalnya Ara ingin segera membalas pesan yang Evan kirimkan, tapi berhubung tiba-tiba ada panggilan masuk. Ia terpaksa mengurungkan niat tersebut dan memilih untuk menjawab panggilan yang baru saja masuk.
"Halo, assalamualaikum!"
"Wassalamu'alaikum. Kenapa lama banget sih angkatnya padahal juga lagi online?"
Ara sedikit berdecak kesal. "Yang penting diangkat kan, Bu? Kenapa sih malam-malam nelfon?"
"Kenapa? Enggak suka ibuk kamu nelfon?"
Ara mendengus lalu menyuap nasi gorengnya. "Yang bilang nggak suka siapa sih? Orang cuma nanya juga. Lagian kan ibuk tumben banget nelfon jam segini. Pasti ada sesuatu kan?"
Kali ini yang terdengar suara dengusan dari seberang. "Kok su'udzon?" balas ibu Ara dengan nada tidak terima.
Ara sedikit terkekeh lalu kembali menyuap nasi gorengnya.
"Lagi ngapain kamu ini to?"
"Makan."
"Jam segini baru makan? Makan apa?"
"Nasi goreng yang beli di abang-abang depan kostan."
Rita berdecak kesal. "Nasi goreng itu masakan paling simple, Ra, masa iya begitu aja harus beli. Bikin sendiri lah. Kamu itu perempuan, udah tua, harus bisa masak."
"Ara juga bisa masak kok. Cuma emang nggak sempet aja, Buk, Ara capek loh seharian kerja. Maunya ya tinggal makan."
"Ya, makanya cari suami biar nggak usah capek-capek kerja."
Suapan Ara mendadak terhenti. Kan, tidak mungkin ibunya menelfon secara cuma-cuma. Pasti ada niat terselubung nih. Minta mantu.
"Kamu sudah punya pacar belum sih, Ra? Kalau belum ada ya udah pulang saja, sini Ibuk cariin jodoh buat kamu. Mau yang profesi apa tinggal sebut! Tentara, perawat, PNS, perangkat desa, pengusaha, atau dokter. Ibuk punya semua kandidatnya."
Terlalu malas dengan bahasan semacam ini, Ara memilih untuk tidak menjawab dan kembali menyuap nasi gorengnya. Hal ini membuat Rita langsung mengomel kesal.
"Ara, Ibuk tahu ya kamu denger. Nggak usah pura-pura nggak denger kamu! Kamu ini sudah tua, sudah nggak muda lagi, sudah waktunya menikah dan ngurus rumah tangga. Bukannya kerja, kerja, kerja terus."
Ara masih tetap diam dan kembali menyuap nasi gorengnya, mendengarkan celotehan perempuan yang telah melahirkannya ke dunia ini.
"Azzahra Janitra!"
"Dalem, Ibuk," sahut Ara seadanya.
"Diajak omongan sama orang tua kok malah diem saja. Sopan begitu?"
Ara menghela napas panjang. "Ara dengerin Ibuk ngomong loh."
"Ya habis dengerin ya dijawab. Sekarang jawab Ibuk, kamu ada pacar nggak di Jakarta?"
"Enggak ada, Buk."
"Kalau calon?"
"Ya, banyak."
"Bercanda saja. Jawab serius lah, Ra," decak Rita mulai kesal, "Ibuk ini malu loh, Ra, kamu ini anak satu-satunya Ibuk sama Ayahmu. Anaknya Pak Lurah, masa iya nggak nikah-nikah? Kamu inget anaknya Pakde Harso?"
Sejujurnya Ara tidak terlalu yakin mengingatnya, tapi berhubung ia sedang malas mengingat jadi ia langsung mengiyakan begitu saja.
"Hm."
"Anaknya yang baru lulu SMA itu loh, Ra, udah nikah kurang empat bulanan lah pokoknya. Minggu lalu udah lahiran. Masa kamu kalah sama anak yang baru lulus SMA?"
Ara sampai tersedak dengan suapan nasi goreng yang baru saja hendak ia kunyah.
"Gimana, Buk?"
"Iya, itu anaknya Pakde Harso, duh, siapa ya Ibuk lupa namanya, pokoknya yang paling kecil udah nikah dan udah jadi ibu. Masa kamu yang udah lulus kuliah, kerja bertahun-tahun nggak nikah-nikah? Ibuk malu loh, Ra. Nggak kasian kamu sama Ibuk jadi bahan omongan tetangga karena anaknya jadi perawan tua?"
"Astagfirullah, Ibuk, itu kalau baru nikah empat bulan tapi udah lahiran itu artinya dia hamil di luar nikah loh."
"Yang penting kan Bapaknya mau tanggung jawab, Ra. Mau nikahin, bukannya kabur. Jalan kisah tiap orang kan beda-beda."
"Ibuk," panggil Ara kesal. Ia memijat pelipisnya yang mendadak pening, "stop ikut-ikutan menormalisasi hal yang salah begini dong, Buk. Hamil di luar nikah itu dosa loh. Ibuk mau Ara begitu?"
"Ya kalau bisa ya jangan sampai lah, cuma kalau memang terpaksa harus begitu, Ibuk nggak papa asal kamu nikah."
Speechless tengah Ara rasakan. Bibirnya terbuka dan tertutup beberapa kali, tapi tidak ada kata-kata yang keluar karena ia memang tidak tahu harus berkomentar apa. Ara benar-benar kehabisan kata-kata sekarang. Kenapa ibunya sampai berpikiran demikian karena dirinya belum kunjung membawa calon menantu untuknya?
"Asal Ibuk tahu, Ara sedih Ibuk bilang begitu," aku Ara jujur.
Rita mendengus. "Kamu pikir Ibuk nggak sedih juga kamu beginikan? Ibuk lebih sedih, Ra, Ibuk yang mengandung kamu selama sembilan bulan nyusuin kamu hampir dua tahun, terus ngebesarin kamu bertahun-tahun, tapi waktu Ibuk minta kamu segera menikah, kamu malah terlalu terlena dengan dunia kerja kamu. Kamu nggak mikirin Ibuk, kamu pikir Ibuk nggak sedih?"
Sekarang Ara merasa bersalah. Kedua matanya mendadak terasa perih. Ia ingin menangis detik itu juga, tapi secara mati-matian ia harus menahannya.
"Sudah lah, Ibuk capek ngobrol sama kamu yang nggak pernah bisa ngertiin Ibuk."
Tanpa mengucap salam, Rita langsung mematikan sambungan telfon begitu saja. Ara hanya mampu menatap nanar ke arah ponsel yang berada di genggamannya. Helaan napas berat terdengar setelahnya. Ia benar-benar berada di posisi sulit. Harus bagaimana ia sekarang?
💙💙💙💙