menjadi anak pertama dan satu-satu nya membuat aku merasakan kasih sayang sepenuhnya dari kedua orangtua ku terutama ayahku.
tapi siapa sangka, kasih sayang mereka yang begitu besar malah membuat hidupku kacau,,,.
aku harus menjalani hidupku seorang diri disaat aku benar-benar sedang membutuhkan keberadaannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Titik.tiga, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 26 : dibayar lunas
Lima hari setelah ayahku pulih, kami memutuskan untuk melakukan syukuran sederhana. Meski kondisi ekonomi kami tak bisa dibilang mapan, ayahku tetap teguh pada niatannya untuk berbagi. Rasa syukur itu, menurutnya, tak bisa hanya dipendam sendiri. Ia ingin membagikan kebahagiaan ini kepada orang-orang sekitar.
“Ayah ingin buat 500 porsi bakso dan 500 porsi mie kocok untuk dibagikan gratis,” kata ayahku dengan senyum penuh keteguhan.
Aku terdiam sejenak, kaget dengan keputusan ayahnya. Di tengah keadaan mereka yang sederhana, ide untuk menghabiskan tabungan yang tersisa demi berbagi makanan terasa sedikit berat di hati. Namun, ia tahu ini adalah cara ayahnya untuk mengungkapkan rasa syukur yang tulus.
"Ayah... kenapa harus sebanyak itu?" tanya Ku, lembut, mencoba memahami niatan ayahnya.
Ayahnya tersenyum dan mengusap kepala ku. “Nak, rezeki ini datang dari Tuhan. Dan sebaik-baiknya rezeki adalah yang bisa kita bagi kepada sesama. Selama kita masih bisa memberi, kita tak akan kekurangan.”
Meski hatinya sedikit bimbang, aku akhirnya mendukung penuh rencana itu. Ayahku rela menghancurkan tabungan yang selama ini dikumpulkannya demi rasa syukur ini. Dari pagi hingga sore, kami menyiapkan bakso dan mie kocok dalam jumlah besar.
Sore pun tiba, aku dan kedua orangtua ku mulai menyusun bakso dan mie kocok di atas meja kecil yang kami miliki. Di pinggir jalan raya, kami membagikan makanan secara cuma-cuma kepada siapa saja yang lewat. Senyuman ayahku tak pernah pudar meskipun tubuhnya terasa lelah.
“Silakan, gratis,” ucap ayahku penuh semangat.
Warga sekitar yang lewat, tukang becak, pedagang kaki lima, hingga anak-anak sekolah, semuanya ikut menerima dengan penuh rasa terima kasih. Nurra melihat wajah-wajah mereka yang bahagia saat menerima semangkuk bakso atau mie kocok yang masih hangat. Rasanya ada kebahagiaan yang tak terukur dalam berbagi ini.
Ketika malam tiba, bakso dan mie kocok sudah habis dibagikan. Ayahku tampak tersenyum puas, meski wajahnya terlihat lelah. Kami semua mulai berbenah, membereskan meja kecil yang digunakan, mengumpulkan peralatan, dan memasukkannya ke dalam kantong kresek.
“Ayah, terima kasih... atas pelajaran ini,” ucap ku pelan, menatap sang ayah yang sedang mengemas barang-barang.
Ayahku hanya tersenyum kecil. “Kita tak pernah tahu seberapa besar rezeki yang kita terima di masa depan, Nurra. Tapi selama kita bisa berbagi, itu sudah lebih dari cukup.”
Dengan kelelahan dan kebahagiaan bercampur dalam hati, mereka akhirnya selesai beres-beres. Malam itu terasa begitu damai, penuh kehangatan syukur di tengah kesederhanaan.
Malam itu, setelah lelah membagikan 500 porsi bakso dan mie kocok kepada warga sekitar, orangtua ku beres-beres di depan rumah. Aku pun masuk ke dalam, membantu menyiapkan air untuk cuci tangan. Suasana sekitar mulai sepi, hanya angin malam yang berhembus lembut. Di tengah-tengah suasana damai tersebut, tiba-tiba terdengar suara motor berhenti tepat di depan rumah. Seorang pemuda turun dari motornya, mendekati ayahku dengan senyum lebar yang tampak penuh rasa terima kasih.
“Pak, Bu, terima kasih banyak atas kebaikan kalian dulu,” ujar pemuda itu dengan nada hangat namun serius.
Ayahku menatap pemuda tersebut dengan bingung. Ibuku yang berada di samping ayahku pun ikut heran. Orangtua ku sama sekali tidak mengenali pemuda itu, apalagi mengingat ada sesuatu yang pernah di lakukan untuknya.
“Kebaikan yang mana ya, Nak? Sejujurnya, saya tidak ingat pernah bertemu denganmu,” jawab ayahku sambil mengerutkan kening, berusaha mengingat-ingat.
Pemuda itu tersenyum, lalu memperkenalkan dirinya. “Nama saya Bayu, Pak. Sepuluh tahun yang lalu, saya pernah dibantu oleh Bapak, saat saya kehilangan arah di tengah kota. Waktu itu, saya sedang dalam kondisi putus asa, tidak punya uang, tidak tahu arah pulang, dan lapar. Bapak memberikan saya makanan dan sedikit uang untuk naik angkot. Sejak saat itu, hidup saya perlahan berubah.”
Mendengar cerita Bayu, orangtua ku semakin terkejut. Mereka masih tidak ingat jelas tentang kejadian yang diceritakan oleh Bayu. Namun, ayahku mulai meraba-raba kenangannya, mengingat saat-saat ketika ia sering membantu orang yang ditemuinya di jalan.
“Ah, mungkin itu sudah lama sekali ya, Pak. Bapak sering membantu orang, jadi bisa saja Bapak lupa,” kata Bayu sambil tersenyum.
Ayahku tertawa kecil, lalu menggeleng-gelengkan kepalanya. “Ternyata kebaikan sekecil itu bisa berarti besar bagi seseorang. Tapi, Nak, apa yang membuatmu datang malam ini?”
Bayu duduk di kursi kecil yang ada di depan rumah, mengobrol dengan santai. Ia kemudian bertanya tentang kegiatan yang baru saja dilakukan , apa yang mendorong hatinya untuk membagikan makanan gratis itu. Ayah Nurra dengan penuh kebahagiaan menceritakan bahwa kegiatan tersebut dilakukan sebagai bentuk rasa syukur atas kesembuhannya setelah mengalami kecelakaan. Ibuku, yang duduk di sebelahnya, mengangguk penuh rasa syukur.
“Bapak habiskan tabungan kami untuk berbagi. Meski kami sedang kesulitan ekonomi, tapi syukuran ini harus dirayakan,” ujar ayahku dengan mata berbinar.
Bayu terdiam sejenak mendengar cerita tersebut. Hatinya tersentuh oleh kesederhanaan dan ketulusan keluarga ini. Ia merasa bahwa kebaikan yang diterimanya dulu masih terpancar dalam diri mereka hingga sekarang.
“Saya benar-benar kagum dengan Bapak dan Ibu,” kata Bayu dengan penuh hormat. “Sebetulnya, saya datang ke sini bukan hanya untuk berterima kasih, tapi juga untuk mengajak Bapak dan Ibu menunaikan ibadah umrah bersama saya.”
Sekejap suasana berubah hening. Ayahku terdiam dengan mulut sedikit terbuka, tampak terkejut luar biasa. Ibuku tak mampu berkata-kata, tubuhnya bergetar ringan. Bayu melanjutkan, “Saya ingin membalas semua kebaikan Bapak dan Ibu dengan membawa kalian beribadah ke Tanah Suci. Selama ini, saya sudah mempersiapkan semuanya. Bapak dan Ibu tidak perlu memikirkan apa pun, hanya tinggal berangkat.”
Tanpa bisa menahan emosinya, ayahku langsung bersujud di hadapan Bayu. Air mata mengalir deras di wajahnya. “Ya Allah… ini mimpi apa?” desisnya lirih sambil terisak, tubuhnya gemetar oleh rasa syukur yang tak tertahan. Sang ibu, yang berada di sebelahnya, terkulai lemas. Dengan penuh kejutan dan haru, ia memegang erat tangan suaminya. Air mata mengalir deras di pipinya.
“Terima kasih… terima kasih, Nak…” bisik ibuku dengan suara serak. Bayu tersenyum hangat, membantu ayahku bangkit dari sujudnya. Mereka semua kemudian berpelukan erat, merasakan kebahagiaan yang meluap-luap. Malam itu, di bawah langit yang mulai dipenuhi bintang, ada kebahagiaan besar yang melingkupi keluargaku.
Setelah beberapa saat, Bayu pamit dengan janji akan datang kembali besok siang untuk membahas persiapan lebih lanjut. Ia melambaikan tangan sambil tersenyum hangat, meninggalkan orangtua ku dalam kebahagiaan yang penuh keajaiban. Ayah dan ibu ku duduk di teras rumah, masih terkejut dengan pemberian yang begitu luar biasa.
Aku, yang menyaksikan semuanya dari dalam rumah, mendekat ke orang tuanya. “Ini bener-bener bukti nyata kalau kebaikan Ayah dan Ibu selalu kembali dengan cara yang tidak terduga,” ujarku dengan mata yang basah oleh haru.
Ayahku mengangguk, lalu memelukku dengan erat. Malam itu, di tengah kesederhanaan, kami merasakan berkah yang luar biasa besar. Dan perjalanan ibadah yang selalu mereka impikan kini ada di depan mata, berkat kebaikan yang tanpa disadari telah mereka sebarkan bertahun-tahun lalu.
Siang itu, Bayu kembali ke rumah Ayahku dengan langkah mantap. Angin sejuk berhembus lembut, seakan menyertai perjalanan Bayu menuju tempat yang kini sangat berarti baginya. Setelah beberapa hari yang penuh keharuan, hari ini adalah hari penting. Di dalam rumah sederhana itu, aku dan kedua orangtua ku, telah menantikan kedatangannya dengan hati berdebar.
Ketika Bayu tiba, aku menyambutnya dengan senyum hangat sambil membuka pintu. "Ayo masuk, Mas Bayu. Ayah dan Ibu sudah siap," kataku dengan lembut.
Bayu masuk ke dalam rumah yang tampak sederhana namun terasa nyaman. Dinding-dindingnya dipenuhi dengan kenangan keluarga, dari foto-foto kecil ku hingga hiasan sederhana yang menambah kehangatan rumah. Di ruang tamu, orangtua ku sudah duduk, raut wajah mereka penuh rasa syukur namun masih tak percaya dengan keberuntungan yang mereka dapatkan.
"Assalamu’alaikum, Pak, Bu," sapa Bayu dengan suara penuh penghormatan.
"Wa’alaikum salam, Nak Bayu," jawab Ayahku, suaranya serak karena emosi yang begitu mendalam. Matanya berkaca-kaca saat Bayu duduk di depannya. "Aku masih tidak menyangka kamu datang untuk kami. Ini seperti mimpi, benar-benar seperti mimpi."
Bayu tersenyum lembut, lalu menyerahkan beberapa dokumen yang telah ia persiapkan. "Ini surat-surat yang perlu diisi, Pak, Bu. Kita hanya butuh beberapa tanda tangan untuk pendaftaran umrah," katanya dengan tenang.
Ketika Bayu melihat lebih dekat, ia tertegun sesaat saat membaca nama lengkap ayah dan ibu Nurra di dokumen itu. "Barkah... Fatimah Aulia Zahra," gumamnya pelan, mengenang masa lalu yang samar-samar, namun belum sepenuhnya jelas di ingatannya. Rasa familiar itu mulai tumbuh, namun Bayu memilih untuk menyimpannya dalam hati. Tak ingin mengganggu suasana yang sedang menyelimuti keluarga itu.
Nurra, yang duduk di samping ibunya, menatap Bayu penuh rasa terima kasih. “Terima kasih, Mas Bayu. Nurra gak tau gimana cara balas kebaikannya. Apalagi setelah semua yang terjadi pada Ayah.”
Dengan rendah hati, Bayu menjawab, “Ini bukan apa-apa, Nurra. Allah yang menuntun semua ini. Kebaikan ayahmu telah membuat semua ini terjadi.” Setelah percakapan singkat itu, Bayu pun membawa kedua orangtua ku ke tempat pendaftaran umrah yang telah ia persiapkan jauh-jauh hari.
Perjalanan ke kantor pendaftaran umrah itu dipenuhi obrolan ringan, namun di setiap kata, terasa ada keharuan yang dalam. Ayahku menatap keluar jendela mobil dengan tatapan kosong, seakan masih belum sepenuhnya menerima kenyataan ini. Ibuku menggenggam erat tangan ayahku, berusaha menahan air mata yang beberapa kali nyaris jatuh.
Sesampainya di tempat pendaftaran, prosesnya berjalan lancar. Para petugas menyambut dengan ramah, semuanya sudah dipersiapkan dengan matang oleh Bayu. Mereka hanya perlu menunggu tanggal keberangkatan.
Malam itu, setelah segala proses selesai, Bayu mengantar mereka pulang. Sepanjang perjalanan kembali, suasana terasa hening, namun di balik keheningan itu, ada perasaan syukur yang begitu mendalam. Ketika mereka tiba di rumah, orangtua ku keluar dari mobil dengan langkah lambat, seakan masih terkejut dengan kenyataan yang baru saja mereka hadapi.
Setelah berpamitan, Bayu pun pulang, meninggalkan keluarga itu dalam suasana penuh haru. Di dalam rumah, ayahku duduk di kursi ruang tamu, menghela napas panjang. Matanya menatap ke arah langit-langit, seolah mencari jawaban dari Tuhan.
“Bu, apa yang baru saja kita alami ini… benar-benar nyata?” tanya Ayahku, suaranya penuh dengan kebingungan dan takjub.
Ibuku hanya bisa tersenyum, meski air mata mulai mengalir di pipinya. “Ini nyata, Pak. Kebaikanmu selama ini akhirnya dibalas dengan cara yang bahkan tidak pernah kita duga.”
Ayahku mengangguk pelan, hatinya masih dipenuhi rasa tak percaya. Di tengah segala kesulitan yang mereka hadapi, biaya rumah sakit yang menumpuk, biaya kuliah ku yang membuat mereka harus mengorbankan banyak hal, dan bahkan uang yang ia habiskan untuk membuat 500 porsi bakso dan mie kocok untuk dibagikan secara gratis, semua itu terasa kecil dibandingkan dengan hadiah yang kini mereka terima.
Malam itu, aku duduk di samping ayahku. Kami saling menatap, tanpa sepatah kata pun, kami saling memahami perasaan masing-masing. Aku tahu betapa berat beban yang telah ditanggung oleh ayahku selama ini. Aku tahu bahwa ayahku telah berkorban banyak demi keluarganya, tanpa pernah mengeluh sedikit pun.
“Yah,” kata ku dengan suara bergetar, “Ayah pantas dapet ini semua. Ayah adalah orang yang paling kuat yang pernah Nurra kenal. Makasih untuk segalanya.”
Ayahku hanya tersenyum lembut, air mata mengalir perlahan di pipinya. Ia menepuk bahu putrinya dengan penuh kasih sayang. “Semua yang Ayah lakukan itu, hanya demi kalian. Kalian adalah hidupku. Jika Ayah bisa kasih segalanya, Ayah pasti melakukannya tanpa ragu.”
Suasana rumah malam itu terasa begitu damai. Meskipun kami bukan keluarga kaya, kebahagiaan yang kami rasakan jauh melampaui harta benda. Dalam kesederhanaan dan keikhlasan, kami merasakan cinta yang begitu tulus, dan keyakinan bahwa Tuhan selalu punya rencana indah untuk mereka yang bersabar.
Malam pun semakin larut. Orangtua ku duduk berdua di ruang tamu, saling berpegangan tangan, memandangiku yang sudah tertidur dengan damai. Mereka masih tak habis pikir, bagaimana Tuhan telah mengganti semua pengorbanan mereka dengan sesuatu yang begitu luar biasa.
“Yah, besok kita siapkan semuanya,” kata Ibuku dengan suara pelan.
Ayahku mengangguk, “Iya, Bu. Ayah masih gak percaya. Ini semua seperti mimpi.”
“Tapi ini nyata, Yah. Tuhan sudah memberi kita hadiah yang tak ternilai.”
Dan dengan itu, mereka pun tenggelam dalam ketenangan malam, bersyukur atas keajaiban yang datang dengan cara yang tak terduga.