Sebuah perjodohan membuat Infiera Falguni harus terjebak bersama dengan dosennya sendiri, Abimanyu. Dia menerima perjodohan itu hanya demi bisa melanjutkan pendidikannya.
Sikap Abimanyu yang acuh tak acuh membuat Infiera bertekad untuk tidak jatuh cinta pada dosennya yang galak itu. Namun, kehadiran masa lalu Abimanyu membuat Infiera kembali memikirkan hubungannya dengan pria itu.
Haruskah Infiera melepaskan Abimanyu untuk kembali pada masa lalunya atau mempertahankan hubungan yang sudah terikat dengan benang suci yang disebut pernikahan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kunay, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tuduhan yang Menyakitkan
Abimanyu menatap punggung Infiera yang mulai menghilang setelah berbelok dari pintu masuk ruangannya. Dia merasa gusar setelah melihat perubahan ekspresi di wajah wanita itu ketika melihat kedekatannya dengan Almira.
Bukankah mereka sudah membahas mengenai hal ini?
Brak!
“Apakah kalian mau seperti ini terus di hadapan jomblo?”
Tiba-tiba, Gerald melemparkan buku yang sebelumnya diberikan oleh Infiera ke atas meja kerja Abimanyu. Bukan hanya Abimanyu yang terkejut, tapi juga Almira.
Almira tertawa sambil menutup mulutnya. “Pak Gerald, hentikan! Lihatlah, wajah Pak Abi yang memerah karena malu.” Almira menggoda, dia melirik Abimanyu. Dia berniat bercanda karena dari semua dosen yang bekerja di sana, dirinya salah satu—mungkin satu-satunya orang yang tahu jika Abimanyu sudah menikah.
“Tidak apa-apa. Sebentar lagi saya tidak akan jomblo jika mahasiswa cantikku itu mau menikahi denganku.”
Tiba-tiba suara tawa menggelegak dari sisi barat ruangan, Bu Rita tidak tahan dengan kelakar rekan dosennya itu. “Pak Gerald rupanya serius, ya? Kalau begitu, ayo, berjuang, Pak. Saya orang pertama yang akan menyiapkan kado jika Anda menikah.”
Gerald mengacungkan kedua jempolnya ke arah Bu Rita. “Ibu memang the best! Saya akan memperjuangkannya, sebelum diambil orang lain.” Gerald berkata, seraya melirik Abimanyu yang masih menatap gusar ke sembarang arah.
Bu Rita kembali tertawa, kini diikuti oleh Almira yang masih duduk di kursi Abimanyu. Wanita itu sesekali menimpali karena merasa dosennya itu sangat lucu dan sangat jujur dengan perasaannya.
Sedangkan Abimanyu tiba-tiba dia bangkit berdiri dan meraih tasnya.
“Mau ke mana, Bi?” tanya Gerald, dia tahu kalau Abimanyu hari ini tidak memiliki jadwal, tapi sejak tadi dia lupa untuk menanyakan alasannya.
“Ada urusan di kantor.”
Gerald hanya mengangguk. Dia paham betul kantor yang dimaksud Abimanyu adalah redaksi penerbitannya. Selain aktif mengajar, sahabatnya itu memang cukup kompeten menjalankan bisnis lainnya. Itu sebabnya, dia pun tak ragu mengajak pria itu bekerja sama untuk membangun bisnis cafe bersama-sama.
Abimanyu berlari meninggalkan ruangannya. Gerald hanya menarik sudut bibirnya tersenyum penuh makna seraya menggelengkan kepalanya dan Almira hanya menatap pria itu tanpa berani menanyakan apa pun lagi karena sadar, mereka sudah tidak memiliki hal yang spesial setelah hari itu—hari di mana Abimanyu mengatakan kalau dirinya harus menikah karena dijodohkan kedua orang tuanya.
Sampai parkiran, Abimanyu mencoba menghubungi Infiera, dia berniat mengajak wanita itu untuk pulang bersama dan menjelaskan apa yang terjadi antara dirinya dan juga Almira, tapi sayangnya nomor wanita itu tidak aktif.
“Angkatlah, Fiera.” Tiga panggilan yang dilakukannya masih tidak membuah hasil, Abimanyu semakin tidak nyaman dengan keadaan itu.
Ada apa dengan dirinya? Bukankah kemarin mereka sepakat untuk menjadi teman? Mereka berdua sama-sama tahu jika pernikahan itu terjalin karena sebuah perjodohan yang tidak diinginkan.
Hampir lima menit Abimanyu duduk di dalam mobilnya dan tidak melajukannya, tapi tetap saja tidak istrinya tidak mengangkat panggilannya itu.
Akhirnya, Abimanyu memutuskan untuk kembali ke rumahnya. Bagaimanapun, dia harus menjelaskan hubungannya dengan Almira.
Sampai di rumahnya, Abimanyu turun dari mobil dengan tergesa. Sepi, tidak ada siapa pun di dalam rumah itu. Bahkan, di dalam kamarnya juga tidak ada siapa-siapa. Ruangan itu masih sama seperti terakhir dia meninggalkannya, tadi pagi, masih rapi.
Abimanyu juga tidak melihat kedua orang tuanya. Sepertinya, mereka masih berada di tempat seminar, ayahnya juga mengatakan kalau mereka akan pulang aga sore.
Abimanyu mengusap wajahnya kasar, kenapa dia merasa segusar itu hanya karena tahu kalau Fiera melihat kedekatan dirinya dan juga Almira?
Bukankah, seharusnya semua baik-baik saja jika mengingat bagaimana hubungan mereka selama ini? Tetapi, pemikiran itu tetap tidak membuat dirinya merasa tenang.
Sore hari, mobil hitam milik Gunawan terlihat memasuki halaman.
Abimanyu segera berlari keluar untuk melihat, apakah istrinya juga sudah pulang atau belum. Ternyata, mereka hanya berdua. Abimanyu semakin cemas dan juga tegang. Jam segini, Infiera belum kembali juga, sedangkan orang tuanya sudah kembali. Bagaimana kalau mereka menanyakan menantunya?
“Kamu baru pulang, Bi?” tanya ibu menghampiri putranya.
Abimanyu terlebih dahulu mencium punggung tangan kedua orang tuanya, lalu menjawab, “Tidak, Bu, aku pulang aga siangan.”
Ibu mengangguk, wanita paruh baya itu ternyata tidak menanyakan apa pun mengenai Infiera.
“Ayah mandi saja dulu, ibu mau masak ini.” Ibu menunjukkan belanjaannya yang tadi dia beli di jalan. Supaya kita bisa makan bersama nanti malam.”
Ayah langsung mengiyakan, sedangkan Abimanyu terus melihat ke arah luar pagar rumahnya, untuk melihat apakah Infiera pulang atau tidak. Biasanya, wanita itu akan kembali sekitar pukul empat sore. Saat ini sudah pukul lima sore, tapi batang hidungnya sama sekali belum kelihatan.
Sampai waktu makan malam tiba, Infiera masih belum terlihat juga, membuat Abimanyu semakin khawatir, apa lagi saat ini kedua orang tuanya ada di rumah mereka. Dia terus menghubungi wanita itu, tapi tidak mendapatkan jawaban juga, pesannya juga hanya ceklis satu.
17.00
[Fiera, kau di mana? Ayah dan ibu sudah pulang.]
17.30
[Fiera, kalau ibu marah, aku benar-benar tidak akan membantumu.]
18.00
[Fiera, ibu menanyakanmu.]
Abimanyu sudah ingin melemparkan ponselnya sejak tadi, tapi masih ditahannya.
19.30
[Fiera, ini benar-benar engga lucu. Apakah kau sengaja ingin membuat ibu marah dan membuatku malu?]
Pesan itu berderet Abimanyu kirimkan pada Infiera, tapi masih juga belum berubah ceklis dua. Setelah makan malam, orang tuanya bahkan mengajak Abimanyu berbicara, tapi mereka masih tidak menanyakan keberadaan istrinya.
Apakah orang tuanya tahu kalau dirinya dan Fiera sedang dalam masalah? Lau, mereka sebagai orang tua tidak mau ikut campur? Ya, pasti seperti itu.
Sampai akhirnya, sekitar pukul sembilan malam, sebuah motor berhenti di depan rumah Abimanyu. Fiera turun dari ojek online dan masuk ke dalam rumah dengan terburu. Ekspresi wajahnya sama sekali tidak menunjukkan kalau dia merasa takut. Dia melangkah dengan ekspresi biasa saja dan mengucap salam.
“Baru pulang, Fier?” Ibu yang lebih dulu bertanya.
Fiera tersenyum dan mengangguk, menghampiri kedua mertuanya dan mencium punggung tangan mereka, lalu menghampiri Abimanyu yang duduk di depan ayahnya. Pria itu memasang ekspresi dingin, tapi sungguh Fiera sama sekali tidak memperhatikan hal itu.
“Apakah kamu sudah makan malam?” tanya ibu lagi.
“Sudah, Bu, tadi Fiera makan malam di jalan.”
Mendengar jawaban Fiera, Abimanyu mengepalkan tangannya jengkel. Wanita itu benar-benar mengabaikan ibunya yang sudah memasak untuk mereka. Fiera bahkan berani makan di luar saat orang tuanya ada di rumah.
“Ya sudah, kamu naik sana. Istirahatlah. Pasti sangat cape.”
Fiera tersenyum dengan pengertian mertuanya itu. Dia segera berpamitan untuk pergi ke kamarnya. Setelah beberapa saat Abimanyu juga berpamitan, dia menyusul Fiera ke kamarnya.
“Kau dari mana saja?” tanya Abimanyu, suaranya sedikit meninggi, tapi dia masih menahannya supaya orang tuanya tidak dapat mendengar. “Apa kau sengaja ingin membuatku malu di hadapan ayah dan ibu?”
Infiera yang baru saja mengambil handuk untuk mandi segera menghentikan langkahnya. Dia menoleh pada Abimanyu yang menatapnya garang. Infiera mengerutkan keningnya. “Membuat malu? Memangnya apa yang sudah aku lakukan?” Infiera bertanya karena dia merasa pertanyaan Abimanyu seolah sedang menuduhnya melakukan sesuatu yang menyalahi aturan.
Abimanyu bergeming, dia masih menatap garang pada istrinya. “Apakah kau tahu ini jam berapa?”
“Tentu saja aku tahu. Aku masih bisa melihatnya di ponselku.”
“Terus? Kenapa kau jam segini baru pulang?”
Infiera semakin tidak paham dengan sikap Abimanyu yang tiba-tiba marah.
“Memangnya kenapa? Bukannya Mas Abi juga sering pulang jam segini? Bahkan mungkin lebih larut dari ini.”
“Tentu saja itu berbeda. Aku harus menyelesaikan banyak pekerjaan. Selain itu, sekarang ibu dan ayah ada di rumah. Seharusnya kau mengerti untuk pulang lebih awal.”
Mendengar hal itu, Fiera terdiam. Sebenarnya, dia sudah memberi tahu ibu mertuanya mengenai ke mana dirinya pergi. Bahkan, tadi siang ayah dan ibu mertuanya mengajak dirinya untuk makan siang bersama karena ternyata acaranya berlangsung lebih cepat dari dugaan mereka.
Fiera terlambat karena memang dia harus mengerjakan tugas kelompoknya yang harus selesai minggu depan. Setelahnya, dia juga harus menemui Gio, editornya, dan juga tim yang lainnya untuk membahas mengenai bukunya yang ditolak oleh salah satu penerbit, yang memintanya merevisi ending cerita yang sudah ditulis.
Fiera menolak untuk mengubah keseluruhan, akhirnya dia meminta pendapat editornya. Dan, semua kegiatannya itu diketahui oleh kedua mertuanya.
“Memangnya, hanya Mas Abi yang harus bekerja? Lalu bagaimana denganku?” tanya Fiera dengan suara rendah, tatapannya begitu datar. “Aku harus memenuhi kebutuhan pribadiku sendiri. Kalau tidak bekerja, siapa yang mau memenuhinya?”
Abimanyu terkesiap dengan jawaban Infiera. Itu sungguh menampar dirinya sebagai suami yang harus memenuhi kebutuhan istrinya. Jadi, selama ini Fiera bekerja? Bagaimana mungkin Abimanyu tidak mengetahuinya?
“Ka-kau bekerja?” tanya Abimanyu.
Fiera diam, dia enggan untuk menjawabnya.
Ya, tentu saja. Semua itu karena Abimanyu tidak pernah mempedulikan apa pun tentang wanita di hadapannya. Dia hanya memenuhi kebutuhan pokok di rumahnya dan membayarkan biaya kuliah wanita itu. Selebihnya, dia sama sekali mengabaikan kewajibannya.
Fiera kembali menjelaskan, “Tenang saja. Aku juga sudah memberi tahu ayah dan ibu kalau aku akan pulang terlambat karena mengerjakan tugas!”
Kenyataannya, Fiera tidak hanya mengatakan pada mertuanya kalau dia harus mengerjakan tugas, tapi dia juga mengatakan kalau dirinya suka menulis dan mengisi waktu luangnya dengan membuat sebuah buku untuk diterbitkannya di platform digital.
Jadi, dia meminta izin juga untuk menemui editornya. Fiera tetap menjaga marwah suaminya di depan kedua orang tuanya. Fiera bahkan memuji pria itu yang mendukung hobinya, padahal Abimanyu tidak tahu apa-apa.
“Ka-kau sudah memberi tahu ayah dan ibu?”
“Ya.”
Abi terkejut dan merasa bersalah. Tidak heran jika mereka tidak mencari keberadaan istrinya. Mungkin juga orang tuanya mengira kalau Abimanyu sudah tahu mengenai hal itu. “Ma-maaf, aku benar—“
“Tenang saja. Tidak perlu khawatir aku mempermalukanmu, seperti aku baru saja bepergian dengan pria lain.” Dia memotong ucapannya.
Lagi-lagi Fiera menampar wajahnya dengan sangat keras. “Fiera,” ucapnya dengan lirih. “Sebenarnya, aku dan juga Almira adalah...”
“Pasangan kekasih?” Fiera memotong ucapan suaminya.
“Kau sudah tahu?” Abimanyu terkejut. “Tapi, sebenarnya kami itu sudah—“
Fiera tersenyum sangat lebar. “Tenang saja, aku mengerti, kok. Ada lagi yang ingin dibicarakan? Aku mau mandi.”
“Ah, tunggu sebentar.” Abimanyu tidak sempat menjelaskan lebih banyak. Dia melangkah menuju nakas, di dekat tempat tidur dan mengambil sesuatu dari dalam dompetnya, lalu kembali membawanya ke hadapan Infiera.
“Gunakanlah ini untuk kebutuhanmu. Maafkan aku yang selama ini lalai.”
Fiera sedikit menunduk, melihat kartu yang disodorkan oleh Abimanyu.
“Kenapa tiba-tiba?” Fiera tertawa hambar. “Sungguh, aku mengatakan kalau aku juga bekerja bukan untuk ini. Aku hanya ingin memberi tahu, kalau aku pulang terlambat karena ada pekerjaan. Jadi, kamu tidak perlu cemas untuk aku mempermalukanmu.”
Abimanyu merasa bersalah dengan tuduhannya itu. “Aku minta maaf dengan hal itu. Tolong terimalah, jangan buat aku semakin merasa bersalah.”
Fiera mendengkus tipis. “Baiklah. Aku akan menerimanya.” Dia mengambil kartu itu dari Abimanyu. “Terima kasih, ya. Kalau begitu, aku mandi dulu.”
Fiera bergerak melangkah dari hadapan Abimanyu. Dia meletakkan begitu saja kartunya di atas nakas, samping dompet Abimanyu, lalu mengambil pakaian yang sudah disiapkan sebelumnya sebelum masuk ke dalam kamar mandi.
Abimanyu menatap nanar punggung istrinya yang menghilang di balik pintu kamar mandi.
Meski wanita itu mengatakan tidak apa-apa dan terima kasih, tapi Abimanyu malah diliputi rasa bersalah yang luar biasa.
Apa lagi, dia sungguh tidak salah melihat pancaran kesedihan di mata wanita itu ketika dirinya menyebut nama Almira. Meski tersenyum, Fiera tidak mampu menutupi kegelisahannya. Abimanyu mengacak rambutnya frustrasi.
Kenapa belakangan ini, dia semakin peduli dengan hubungan mereka? Bukankah selama satu tahun ini semuanya berjalan baik-baik saja?
Di dalam kamar mandi, Fiera terduduk di lantai dengan kepala yang tertunduk. Wajahnya ia tutup dengan handuk untuk meredam suara yang keluar dari mulutnya. Guncangan di pundaknya menunjukkan dengan jelas kalau wanita itu sedang menangis tersedu untuk meredakan rasa sesak di dadanya. Abimanyu sungguh kejam mengatakan kalimat kasar seperti itu, tanpa bertanya terlebih dahulu.