Perkumpulan lima sahabat yang awalnya mereka hanya seorang mahasiswa biasa dari kelas karyawan yang pada akhirnya terlibat dalam aksi bawah tanah, membentuk jaringan mahasiswa yang revolusioner, hingga aksi besar-besaran, dengan tujuan meruntuhkan rezim curang tersebut. Yang membuat mereka berlima menghadapi beragam kejadian berbahaya yang disebabkan oleh teror rezim curang.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Zoreyum, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hadangan Yang Nyata
Setelah pertemuan singkat namun mengancam dengan Bayu, ketegangan di antara Haki, Luvi, Dito, Yudi, dan Mayuji mulai meningkat. Mereka sadar bahwa mereka tidak lagi berhadapan dengan aparat atau sistem hukum yang bisa diprediksi. Kini, ada sesuatu yang lebih gelap dan lebih sulit dikendalikan: musuh yang bergerak dalam bayang-bayang, dengan kekuatan yang sulit dilawan.
Dito dan Perang Siber
Dito, yang bertanggung jawab atas keamanan digital, semakin tertekan dengan serangan siber yang semakin intensif. Setelah kejadian yang Haki ceritakan tentang Bayu, Dito mulai lebih waspada dan menyadari bahwa ancaman ini bukan lagi hanya tentang pengawasan pemerintah. Ada seseorang di luar sana yang dengan sengaja mencoba menghancurkan sistem mereka dari dalam.
Suatu malam, saat Dito sedang memonitor jaringan mereka, dia menemukan pola aneh di salah satu server yang mereka gunakan. “Ada yang nggak beres,” gumamnya sambil mengetik dengan cepat di keyboard. Dia berusaha melacak sumber serangan itu, tetapi semakin ia menggali, semakin dalam ancaman itu terasa.
“Gue nggak bisa ngelacak siapa mereka,” kata Dito dalam sebuah pertemuan darurat dengan teman-temannya. “Ini jauh lebih canggih dari yang biasanya kita hadapi. Gue rasa ini bukan sekadar aparat biasa. Ini kerjaan orang yang tahu cara main di dunia ini.”
Luvi, yang bergantung pada jaringan Dito untuk menyebarkan video-video perlawanan, merasa semakin khawatir. “Jadi, mereka bisa ngambil alih kontrol kita?”
“Belum,” jawab Dito, matanya masih terpaku pada layar laptopnya. “Tapi gue nggak yakin bisa jaga ini lama. Mereka main lebih keras sekarang. Kita harus lebih hati-hati. Setiap langkah digital yang kita ambil bisa dipantau.”
Saran Dito membuat mereka semua merasa cemas, tetapi mereka tahu tidak ada jalan lain. Dunia digital adalah salah satu kekuatan terbesar mereka dalam menyebarkan pesan perlawanan, dan jika jaringan mereka sampai diambil alih, dampaknya bisa sangat fatal.
Mayuji dan Tekanan Hukum
Sementara itu, Mayuji menghadapi tekanan yang semakin berat di jalur hukum. Meskipun gugatan mereka terus berjalan di pengadilan, ancaman terhadap dirinya secara pribadi mulai semakin nyata. Beberapa pengacara yang tadinya bersedia membantu tiba-tiba menarik diri tanpa alasan yang jelas. Mayuji curiga bahwa mereka ditekan oleh seseorang, mungkin dari lingkaran Bayu, yang tidak ingin kasus ini berlanjut.
Di tengah kesulitan itu, Mayuji menerima panggilan dari Rudi, pengacara senior yang selama ini menjadi mentor sekaligus teman seperjuangannya.
“Kita dalam masalah,” kata Rudi dengan suara pelan namun serius. “Ada tekanan besar dari atas. Beberapa orang yang tadinya mendukung kita mulai mundur. Mereka takut.”
Mayuji berusaha tetap tenang meski di dalam hatinya mulai merasa cemas. “Apa kita bisa lanjut tanpa mereka?”
“Kita bisa, tapi resikonya lebih besar,” jawab Rudi. “Mereka nggak main-main. Gue udah dengar beberapa kabar bahwa ada orang yang dikirim buat nutup mulut kita. Lo harus hati-hati, Mayu. Gue takut mereka nggak cuma pakai cara legal.”
Percakapan itu membuat Mayuji merasa berat. Ia tahu bahwa pertarungan di pengadilan semakin sulit, tapi ia tidak bisa berhenti sekarang. Jika mereka mundur, itu berarti pemerintah menang—dan semua yang mereka perjuangkan akan sia-sia. Namun, ancaman terhadap keselamatannya dan teman-temannya kini terasa lebih nyata daripada sebelumnya.
Tekanan pada Yudi dan Haki di Lapangan
Di lapangan, Yudi dan Haki terus berjuang untuk menjaga semangat aksi. Namun, tekanan dari aparat semakin meningkat, terutama setelah kejadian Haki bertemu dengan Bayu. Setiap kali mereka mengadakan aksi protes kecil, aparat selalu muncul dengan lebih cepat dan lebih terorganisir, seolah-olah mereka sudah tahu langkah yang akan diambil.
“Kita diawasin ketat,” kata Yudi suatu sore ketika mereka berdua berdiri di tengah kampus yang mulai lengang. “Gue nggak tahu gimana caranya, tapi setiap kali kita ngelakuin sesuatu, mereka selalu satu langkah di depan.”
Haki, yang biasanya optimis, mulai merasakan beban yang semakin besar. “Gue juga merasain hal yang sama. Gue rasa ini bukan cuma aparat biasa. Orang ini—Bayu, atau siapapun dia—punya jaringan lebih luas dari yang kita duga.”
Mereka berdua mulai sadar bahwa gerakan mereka, meskipun semakin mendapat dukungan dari masyarakat, berada dalam bahaya besar. Musuh yang mereka hadapi sekarang jauh lebih pintar dan licik. Setiap langkah yang mereka ambil terasa seperti jebakan.
Meskipun demikian, mereka tahu bahwa mundur bukanlah pilihan. Haki, dengan semangat yang masih tersisa, berkata kepada Yudi, “Kita nggak bisa biarin mereka bikin kita takut. Kita udah sampai sejauh ini, dan kita nggak bisa berhenti sekarang.”
Yudi mengangguk, meski keraguan masih menghantui. “Gue setuju, Hak. Tapi kita harus ubah cara main. Kita nggak bisa terus-terusan pakai taktik lama. Mereka udah belajar dari gerakan kita. Kita harus lebih cerdik.”
Misteri Bayu Semakin Terkuak
Di balik layar, Bayu terus menjalankan rencananya. Ia tahu bahwa kelompok ini tidak akan mudah dihancurkan hanya dengan ancaman. Ia perlu mengendalikan mereka dengan lebih sistematis, menyerang kelemahan yang belum mereka sadari.
Bayu memutuskan untuk mendekati orang-orang di sekitar kelompok itu, memanfaatkan siapa saja yang bisa dia tekan atau manipulasi. Dia tahu bahwa cara terbaik untuk melumpuhkan kelompok kuat seperti ini adalah dengan menghancurkannya dari dalam, memecah mereka, dan membuat mereka saling mencurigai satu sama lain.
Suatu malam, di sebuah ruangan kecil yang remang-remang, Bayu duduk di depan komputer, mengamati laporan dari orang-orangnya. Ia tahu bahwa waktunya hampir tiba—saat untuk melancarkan serangan besar yang tidak akan bisa dilawan oleh Haki dan teman-temannya. Bayu tersenyum tipis, merasa bahwa ia berada di puncak kendali.