Pondok pesantren?
Ya, dengan menempuh pendidikan di Pondok Pesantren akan memberikan suatu pengalaman hidup yang berharga bagi mereka yang memilih melanjutkan pendidikan di pondok pesantren. Belajar hidup mandiri, bertanggung jawab dan tentunya memiliki nilai-nilai keislaman yang kuat. Dan tentunya membangun sebuah persaudaraan yang erat dengan sesama santri.
Ina hanya sebuah kisah dari santriwati yang menghabiskan sisa waktu mereka di tingkat akhir sekolah Madrasah Aliyah atau MA. Mereka adalah santri putri dengan tingkah laku yang ajaib. Mereka hanya menikmati umur yang tidak bisa bisa mendewasakan mereka.
Sang Kiyai tak mampu lagi menghadapi tingkah laku para santriwatinya itu hingga dia menyerahkannya kepada para ustadz mudah yang dipercayai mampu merubah tingkah ajaib para santri putri itu.
Mampukah mereka mengubah dan menghadapi tingkah laku para santri putri itu?
Adakah kisah cinta yang akan terukir di masa-masa akhir sekolah para santri putri itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon @nyamm_113, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
NASEHAT PERNIKAHAN
Setelah mendapatkan banyak nasehat dan ceramah 45 dari para suami mereka, di sini lah mereka menyikat semua kamar mandi masjid. Menjemur semua karpetnya, membersihkan luar dalam masjid dan jangan lupakan terik matahari yang begitu menusuk hingga ketulang-tulang.
Mereka baru saja menjemur karpet yang jumbelahnya itu sangatlah banyak dan mereka hanya berempat saja, siapa suruh kabur…,
“Astagfirullah Ya Allah, ana panas banget weee.” Ayyara mengibas-ibaskan ujung hijabnya yang menutupi hingga batas dadanya. “Panassss.”
“Benar, mana haus juga.” Lanjut ALmaira. Didalam masjid walau semua kipas angina dinyalakan tetap saja masih terasa sangat panas.
“Apa mataharinya yang sangat dekat dengan bumi ya?” Tanya Aruna. Berbaring telentang di lantai keramik itu tanpa beralaskan apapun, merasakan sensasi dingin dari lantai masjid itu.
“Gosong lah kalau mataharinya kelewatan dekat.” Timpal Adira. Ikut tertidur disebelah Aruna di susul kedua temannya Ayyara dan Almaira.
Mereka terdiam sesaat memandangi langit-langit masjid dan suara bising dari kipas angin, mereka mulai merasakan sejuk mungkin karena berbaring dilantai tanpa beralaskan apapun.
“Benar kata ustadz Agra, kita sudah kelas tiga. Bukan waktu bermain lagi, harunya kita banyak belajar untuk persiapan ujian dan juga tentunya mencari universitas untuk kita lanjut jika mau.” Tutur Adira.
“Ya, kita banyak menghabiskan waktu cuman untuk mendapatkan perhatian sampai lupa jika kita ini harusnya lebih banyak waktu untuk belajar.” Timpal Almaira.
“Jadi?” Tanya Aruna.
“Ayok! Mulai besok kita hidup normal, kita…,”
Plak
Adira memukul lengan Ayyara. “Normal apaan! Kamu kira kita ini suka sesama jenis?” Tanya Adira.
“Astagfirullah, bukan itu maksudnya ya Allah.” Ayyara menatap jengah Adira. Bisa-bisanya otak temannya ini sampai kesana.
“Hahah! Makanya jangan kebanyakan mikirin homo Dir, iyakan Mai?” Aruna meminta pendapat kepada Almaira yang diangguki langsung oleh Almaira tentunya.
“Hussttt! Kalau tidak tahu apa-apa tentang itu, mending kalian diam saja.” Kata Ayyara. Adira sontak mengubah posisinya menjadi duduk menatap kedua temannya.
“Benar! Anak kecil diam saja.” Timpalnya merasa senang karena Ayyara memihaknya. Tentu saja, mereka ini bisa sefrekuensi.
“Kenapa jadi bahas yang beginian si? Ini didalam masjid tau!” Sela Almaira. Bisa-bisanya mereka membahas yang tak seharusnya dibahas didalam masjid.
“Astagfirullah Ya Allah, maaf ana khilaf tadi.”
“Maaf Ya Allah, salahkan Ayyara saja.”
“Adira Ya Allah yang mulai lebih duluh.”
xxx
“Membina rumah tangga yang harmonis dan langgeng membutuhkan usaha dan cinta yang kuat dari kedua belak pihak. Seperti saling terbuka dan jujur, komunikasi yang baik, mengutamakan kebersamaan, kemudian bijak dalam menghadapi masalah, lalu saling memberikan perhatian, menerima kelebihan dan kekurangan, dan menjalin hubungan baik dengan keluarga.”
Pengajian rutin setelah shalat subuh, semua santri mendengarkan dengan baik kajian yang dibawakan oleh ustadz Maulana salah satu ustadz seusia kiyai Aldan.
“Rumah tangga yang bahagian dan harmonis merupakan idaman bagi setiap mukmin bukan? Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberi teladan kepada kita, mengenai cara membina keharmonisan rumah tangga.” Ustadz Maulana menatap semua santri-santrinya.
Dibarisan depan tentunya, tak seperti biasanya santriwati yang dikenal sangat suka tertidur diwaktu pegajian subuh ini tiba-tiba saja mereka duduk di saf depan dan dengan mata bulat dan cerah memperhatikan dan mendengar dengan baik kejian pada pagi ini.
Wow! Bukankah itu suatu pencapaian yang harus dirayakan?
“Mereka terlihat berbeda bukan?” Bisik Abraham kepada Agra yang kebetulan duduk disebelahnya.
“Hm.” Jawab seadanya. Agra tengah sibuk menatap dalam diam istrinya.
“Sungguh pada diri Rasulullah itu terdapat teladan yang paling baik, dan seorang suami harus menyadari bahwa dalam rumahnya itu ada pahlawan di balik layar. Pembawa ketenangan dan kesejukan, yakni sang istri.”
Waktu terus berjalan, hingga kajian pada pagi itupun telah selesai dan semua santri bergegas menuju asrama.
Ada yang kekantin pondok, koperasi pondok, atau sekedar berjalan-jalan disekitaran pondok. Minggu atau hari libur yang hanya sehari itu telah dinantikan banyak orang.
Seperti Adira dkk yang sangat santai berjalan menuju rumah masing-masing, mereka tentu melewati jalan menuju Ndalem kemudian asrama khusus lalu barulah rumah mereka.
Dalam perjalanan pulang, mereka memikirkan ucapan kiyai Aldan. Bagaimana pun mereka ini tetap salah, kewajiban mereka adalah meminta maaf kepada suami mereka. Bahkan setelah memberi hukuman kepada Adira dkk para suami itu masih enggan memulai percakapan hingga pada pagi ini.
CEK! CEK! SATU, DUA… ASSALAMU’ALAIKUM WARAHMATULLAHI WABARAKATUH.
DISAMPAIKAN KEPADA SELURUH SANTRIWATI DAN SANTRIWAN AGAR SEKIRANYA MERAPAT KE AULA PONDOK.
SEKARANG!
SEKALI LAGI! DISAMPAIKAN KEPADA SELURUH SANTRI PUTRA DAN SANTRI PUTRI AGAR SEKIRANYA MERAPAT KE AULA PONDOK.
SEKARANG!
YANG MASIH MAKAN ATAU MANDI, KALIAN BISA MENYUSUL DAN YANG MENGANGGUR SEGERA MERAPAT SEKARANG!
JANGAN LELET!
“Buset, itu pasti Ilham.” Lirih Adira. Sangat mengenali suara dari toa masjid itu, salah satu santri putra yang berhasil memikat semua santri putri tanpa kecuali.
“Pasti pembahasan acara pentas seni pondok deh, tinggal mengitung hari juga kan?” Tanya Almaira. Kemudian menatap ketiganya.
“Yaudah deh, kita simpan barang-barang kita dulu terus ke aula.” Timpal Ayyara. sebenarnya dia sedari tadi menahan ngantuk, namun apalah daya jika ia tertidur bisa-bisa suami dingin dan kakunya itu menghukum dirinya lagi.
“Ayok.”
xxx
“Nah, untuk acara ini masing-masing tingkatan harus menampilkan satu drama. Bebas! Mau drama apapun itu kalian bebas memilih, durasinya juga jangan terlalu panjang karena waktu kalian latihan ini mungkin kurang.” Jelas Abraham.
“Dan yang terakhir, siapapun bisa menampilkan bakatnya yang selama ini kalian pendam. Mau itu menyanyi atau bermain music atau semacamnya, ingat ini kesempatan untuk mengeluarkan bakat kalian.” Lanjut Abraham lagi. Ia adalah termasuk salah satu panitia.
“Untuk putra… jika semisalnya ingin menampilkan drama lalu didalam drama itu terdapat pemeran perempuan kalian bisa meminjam hijab atau rok mungkin juga ya…,”
Santri putra yang ditatap ustadz Abraham menutup wajah mereka dengan kopiahnya masing-masing, sepertinya mereka malu dan salah tingkah mungkin.
“Tidak usah malu seperti itu.” Ucap Abraham merasa lucu dengan santri putra yang malu-malu itu. “Baiklah, aaahhh begitu pula santri putri jika siapa tahu nanti juga dramanya tentang gus atau seorang santri atau ustadz mau pinjam kopiah silahkan.” Lanjutnya.
“NA’AM USTADZ!”
“Nah! Kalian ada pertanyaan?” Abraham membenarkan letak kopiah hitamnya sebari menatap istrinya lalu memberikan senyum tipis yang orang-orang mungkin tidak menyadari itu kecuali Aruna tentunya.
Aruna menunduk malu, sepertinya dia salah tinggak. Bagaimana bisa suaminya itu memberikan senyum mautnya disaat hubungan mereka tidak baik-baik saja? Ah, atau mungkin Abraham sudah tidak marah lagi? Jika benar, tentu Aruna sangatlah senang.
“Cieee… salting ngak tuh, hihih.” Cicit Adira kepada Aruna. Aruna mendelik kepada Adira, malu.
“Apaan si! Tidak ya, siapa juga yang salting.” Elak Aruna. Namun Adira tentu tidak percaya itu.
“Kamu tidak bisa bohong, buktinya liat wajah kamu merah seperti tomat.” Aruna menyentuh wajahnya setelah mendengar ucapan dari Adira.
“Mana ada merah, ini itu karena panas.” Elaknya lagi. Adira berdecak lalu tersenyum jahil.
“Wajah kamu seperti kepiting rebus Run, sepengaruh itu senyum ustadz Abraham ke kamu sampai merah begini.”
“Isss Adiraaaa!”
“Jangan dipendam saltingnya Run, kasian loh itu… kabar jantung kamu aman juga?”
“Diem deh Adira! Tuh liat tatapan ustadz Agra kekamu, dari tadi natap kamu seperti mau makan kamu hidup-hidup.”
“Jangan mengalihkan pembicaraan Aruna, ingat ya. Saltingnya jangan dipendam, tidak baik.”
tinggalkan jejak 👣 kalian, terimakasih😇
semangat 💪👍