Di tengah gelapnya kota, Adira dan Ricardo dipertemukan oleh takdir yang pahit.
Ricardo, pria dengan masa lalu penuh luka dan mata biru sedingin es, tak pernah percaya lagi pada cinta setelah ditinggalkan oleh orang-orang yang seharusnya menyayanginya.
Sementara Adira, seorang wanita yang kehilangan harapan, berusaha mencari arti baru dalam hidupnya.
Mereka berdua berjuang melewati masa lalu yang penuh derita, namun di setiap persimpangan yang mereka temui, ada api gairah yang tak bisa diabaikan.
Bisakah cinta menyembuhkan luka-luka terdalam mereka? Atau justru membawa mereka lebih jauh ke dalam kegelapan?
Ketika jalan hidup penuh luka bertemu dengan gairah yang tak terhindarkan, hanya waktu yang bisa menjawab.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Selina Navy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
13
Adira meremas baju di dadanya, dia merasa sulit bernapas.
"Hah.. hah.. hah.." suara napas Adira terdengar.
Ricardo menyadari ada yang tak beres pada Adira yang sejak tadi duduk di sofa di dekat jendela. Ricardo tiba-tiba mendengar suara napas Adira yang cepat dan kencang.
Instingnya langsung merespons. Ia bergegas mendekati Adira, mengenali tanda-tanda serangan panik yang tak asing baginya.
Saat Ricardo kecil belasan tahun lalu, ia pun pernah mengalami hal serupa, terjebak dalam ketakutan yang tak terduga.
Dengan hati-hati, Ricardo menempatkan dirinya di samping Adira dan mencari cara untuk menenangkan. Ia tahu bahwa kata-kata bisa terasa hampa saat seseorang terjebak dalam kecemasan.
“Adira, " ucap Ricardo dengan suara yang lembut dan tegas sambil memeluk kedua pipi Adira.
Ia sekarang ingin Adira fokus padanya, bukan pada ketakutan yang Adira rasakan.
"Hah.. hah.. hah.. " Adira semakin sesak.
"Bernapas Adira.. " ucap Ricardo lembut menenangkan.
“Tak apa.. aku disini.. tak apa.. coba ikuti aku.”
Telapak tangan Ricardo yang besar masih memeluk pipi Adira, lembut dan penuh ketulusan. Adira samar-samar menyadari Ricardo di hadapannya.
"Follow me, " ucap Ricardo sambil menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskan nya pelan.
Adira mengikuti teknik pernapasan yang Ricardo tirukan. Perlahan, napas Adira mulai stabil. Adira menatap mata Ricardo penuh arti.
"Sudah tenang?," tanya Ricardo hangat.
Adira menjawab dengan anggukan kecil.
Ricardo pun tampak lega melihat Adira yang mulai tenang. Dalam keheningan itu, Ricardo merasa terdorong untuk mengetahui lebih banyak tentang Adira. Segala hal, termasuk penyebab serangan paniknya.
Namun, alih-alih bertanya, Ricardo hanya membiarkan dirinya terhanyut dalam pandangan, menikmati setiap detail wajah Adira.
Tiba-tiba, Ricardo mengajukan pertanyaan yang sederhana namun penuh kehangatan,
"Apa kau mau es krim?"
Mendengar pertanyaan itu Adira langsung tersenyum manis.
"Tidak… aku tak suka es krim." senyum Adira sambil menggelengkan kepalanya.
"Bukan kah semua wanita suka es krim?" tanya Ricardo.
Adira hanya mengkat kedua bahunya.
Ricardo menatap Adira dengan hangat, lalu dengan suara tenang bertanya,
"Jadi, apa yang kau suka, Adira?"
Adira tersenyum lebar, matanya bersinar sedikit nakal, dan menjawab dengan tawa ringan,
"Gorengan."
Tawa Adira yang lepas memenuhi ruangan, melihat ekspresi bingung Ricardo yang jelas-jelas tidak mengerti.
"Bahasa apa itu?" tanya Ricardo lagi.
"Go.reng.an?" ucapnya perlahan, mencoba mengucapkan kata itu dengan lidahnya yang terbiasa berbahasa Inggris dan Spanyol.
"Bahasa apa itu 'gorengan'?" tanya Ricardo, masih bingung tapi tak bisa menahan senyum tipis di wajahnya.
Melihat Ricardo yang tampak kebingungan, Adira tertawa lebih keras, tak bisa menahan geli karena ternyata kata sederhana yang begitu akrab baginya terasa asing di telinga Ricardo.
Ricardo tetap diam, menikmati tawa Adira yang begitu lepas, meskipun dirinya masih kebingungan.
Dia belum tahu bahwa Adira berasal dari Indonesia, tapi momen itu membuatnya semakin ingin tahu lebih banyak tentang Adira.
Adira yang mulai tenang setelah tertawa, menarik napas dalam-dalam, memperhatikan Ricardo yang masih berlutut di hadapannya sejak tadi. Perlahan, ia berkata dengan suara lembut,
“Aku lapar…”
Ricardo tersentak sejenak, menyadari bahwa mereka sudah melewatkan waktu makan siang.
Dia menoleh ke arah jam dinding dan merasakan amarah mulai berkumpul di dadanya, menyalahkan para pelayan yang tidak berani masuk tanpa perintah.
Tanpa berpikir panjang, Ricardo hendak berdiri, niatnya jelas: ia ingin keluar dan mengamuk pada para pelayan yang tidak melaksanakan tugas mereka dengan benar.
Namun, gerakannya tertahan saat merasakan sentuhan lembut di lengan kirinya. Adira, yang duduk di depannya, dengan cepat menarik halus lengan Ricardo yang keras dan berotot, seolah berusaha menenangkan amarah yang siap meledak.
Sentuhan itu menghentikan langkahnya.
“Jangan…” suara Adira lembut, namun tegas.
Dia menatap Ricardo dengan tatapan yang mengatakan bahwa semuanya baik-baik saja, tidak ada yang perlu dipermasalahkan. Mata mereka bertemu lagi, dan dalam sekejap, kemarahan Ricardo perlahan mereda.
Ricardo menunduk sejenak, merasakan detak jantungnya melambat kembali.
"Baiklah," katanya dengan nada yang lebih tenang.
"Aku akan memanggil mereka untuk menyiapkan sesuatu," ujarnya, kali ini tanpa emosi meledak-ledak.
“Hmmm, aku boleh minta spaghetti carbonara tidak?” tanya Adira pada Ricardo dengan nada manis.
Ricardo terdiam sejenak, memandangi sisi manis Adira. Adira mulai merasa bingung, menantikan jawaban sambil menggembungkan kedua pipinya, tampak imut.
Melihat itu, Ricardo tak bisa menahan senyumnya. Ujung matanya menyipit, menggambarkan kebahagiaan yang mengalir dalam dirinya. Adira yang bingung, kini menganga heran, alisnya mengkerut.
“Coba lagi,” pinta Ricardo.
“Ha? Coba apa?” tanya Adira, masih dalam kebingungan.
Ricardo sambil menunjuk pipi kanan Adira berkata,
“Gembungkan sekali lagi.”
Tanpa niat untuk menuruti, Adira kembali menggembungkan pipinya, meski refleksnya merasa kesal digoda.
“Laper tauuuuk!” serunya.
Ricardo yang masih tertawa lembut, berdiri sambil mengangguk.
“Oke, khusus untukmu, aku akan memasak sendiri spaghetti carbonara,” ujarnya, lalu pergi meninggalkan Adira sendirian di ruangan itu.
Adira menatapnya pergi dengan tanda tanya besar di kepala.
“Tampang seram begitu, emang bisa masak?” pikirnya.
....
(ehemmm/Shhh//Shy/)