Reynard Fernando, seorang CEO sukses yang lumpuh, menikahi Caitlin Revelton, gadis ceria dan penuh semangat yang dikenal tak pernah mau kalah dalam perdebatan. Meskipun Caitlin tidak bisa membaca dan menulis, ia memiliki ingatan yang luar biasa. Pernikahan mereka dimulai tanpa cinta, hanya sekadar kesepakatan.
Namun, apakah hubungan yang dimulai tanpa cinta ini dapat berkembang menjadi sesuatu yang lebih mendalam? Atau, mereka akan terjebak dalam pernikahan yang dingin dan hampa?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon linda huang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 26
Lucy menyaksikan dari kejauhan ketika Caitlin dibawa pergi oleh pamannya, dan sebuah senyum penuh kemenangan menghiasi wajahnya. Ada kepuasan aneh yang terpancar dari matanya, seolah-olah ia baru saja menyaksikan langkah pertama dari sesuatu yang telah ia tunggu-tunggu.
“Untuk apa paman membawanya pergi?” Lucy bergumam dengan nada sinis, matanya mengawasi sosok Caitlin yang semakin menjauh. “Sepertinya bukan sesuatu yang baik…”
Di sisi lain, Caitlin yang dibawa ke sebuah ruangan mewah dipenuhi perabotan, melangkah ragu-ragu sebelum akhirnya duduk berhadapan dengan Tommy yang sudah lebih dulu menunggunya. Pria itu bersandar santai di sofa sambil merokok, dengan pandangan tajam yang memerhatikan setiap gerakan Caitlin.
“Ada apa membawaku kemari, Paman?” Caitlin bertanya, mencoba menutupi ketidaknyamanan yang mulai menyelusup ke dalam dirinya.
Tommy menarik napas dalam-dalam, menikmati hisapan terakhir dari rokoknya sebelum membuangnya ke asbak dengan gerakan pelan namun penuh makna. “Caitlin, setelah kamu menikah dengan Reynard, kita belum pernah benar-benar duduk dan makan bersama,” ujarnya, menatap Caitlin dengan mata yang sulit ditebak.
Caitlin menundukkan kepalanya sesaat sebelum kembali menatap Tommy. “Paman jarang datang ke rumah kami,” jawabnya dengan suara rendah. “Lagipula, Reynard juga tidak pernah membawaku keluar.”
Tommy tersenyum tipis, matanya menyipit penuh perhitungan. “Caitlin, aku menyukaimu,” katanya pelan namun dengan nada yang penuh maksud tersembunyi. “Kamu adalah gadis yang baik, dan bisa menjadi bagian dari keluarga kami adalah keberuntungan besar bagiku.” Tommy melirik ke arah anak buahnya, memberi isyarat kecil yang langsung dipahami.
Tanpa menunggu lama, salah satu anak buah Tommy muncul membawa tas kulit hitam besar. Caitlin menatap tas itu dengan dahi berkerut, merasakan ada sesuatu yang ganjil di balik kebaikan mendadak yang ditunjukkan oleh paman suaminya ini.
Anak buah Tommy membuka tas itu, memperlihatkan tumpukan uang dolar yang terlipat rapi. Mata Caitlin membelalak sejenak, kaget dan bingung melihat jumlah uang yang luar biasa banyaknya.
“Kenapa banyak sekali uangnya? Ini untuk apa, Paman?” tanya Caitlin, suaranya terdengar ragu, tidak yakin apa maksud dari pemberian ini.
Tommy kembali tersenyum, senyum yang kali ini terlihat lebih seperti senyum pemangsa yang sedang mengamati buruannya. “Hadiah untukmu, Caitlin,” ujarnya sambil menyandarkan punggungnya dengan santai, “karena telah menjadi bagian dari keluarga kami.”
“Apakah Paman ingin aku melakukan sesuatu?” tanya Caitlin.
“Mantan pacar Reynard sudah kembali,” ucapnya, matanya berkilat tajam seakan mengukur reaksi Caitlin. “Lucy adalah adik sepupu dekat Reynard. Mungkin saja mereka masih memiliki perasaan yang kuat satu sama lain.”
“Reynard sempat putus asa dan terpuruk saat berpisah dengan Lucy,” lanjut Tommy,“Begitu juga dengan Lucy, dia masih merindukan keponakanku. Caitlin, sebagai seorang istri… kamu pasti merasa tidak adil dan terancam, bukan?” Tommy menatap Caitlin dengan tatapan tajam, sengaja ingin menekannya.
“Reynard sangat keras kepala, Dia bahkan sempat tidak ingin menikah, karena masih menunggu Lucy. Paman penasaran kenapa dia bersedia menikahimu, padahal sepertinya dia masih terikat pada masa lalunya.”
Caitlin menatap Tommy dengan sorot mata penuh kecurigaan, berusaha memahami maksud tersembunyi di balik kata-katanya. Satu per satu informasi yang ia ungkapkan tentang Lucy dan hubungan masa lalunya dengan Reynard semakin membuat Caitlin merasa tak nyaman, tetapi ia tak ingin terlihat ragu di depan pamannya.
“Lalu, kenapa Paman beritahu aku tentang mereka?” Caitlin akhirnya bertanya, suaranya terdengar hati-hati, seolah ia sedang mengukur niat Tommy yang sebenarnya.
Tommy menyeringai tipis, memperlihatkan senyum yang terasa asing dan dingin. “Karena Paman merasa tidak adil untukmu,” katanya, nada suaranya seakan-akan penuh perhatian, “Bagaimana kalau kita bekerja sama?”
“Bekerja sama?” Caitlin mengulangi.
“Benar!” Tommy mengangguk pelan yang meletakan sebotol obat di atas meja.
“Apakah isinya sejenis obat?” Caitlin bertanya sambil memandang Botol putih itu terlihat polos, tanpa label atau keterangan apa pun, menambah rasa penasaran sekaligus ketidakpercayaan di dalam dirinya.
“Obat untuk menyembuhkan kakinya,” jawab Tommy dengan nada meyakinkan. “Selama ini dia tidak percaya padaku. Obat ini hanya untuk membantunya. Sejak kecil, Reynard selalu menantangku. Apa yang Paman lakukan ini hanya demi kebaikan dia saja.”
Caitlin memegang botol itu, merasakan permukaan halus tanpa label yang membuatnya semakin ragu.
“Aku… akan memberikan padanya langsung!” katanya sambil memandang Tommy.
Tommy langsung menggeleng, wajahnya berubah serius. “Jangan!” sergahnya. “Kamu cukup campurkan ke dalam makanannya, dengan begitu dia tidak akan tahu. Hanya butuh seminggu saja, dan kakinya pasti akan pulih seperti dulu.”
“Baiklah, aku mengerti. Lalu mengenai uang ini…,” ucap Caitlin.
Tommy tersenyum samar, senyum yang tak sepenuhnya hangat. “Uang ini untukmu. Paman tahu, sejak kecil kamu tinggal bersama keluarga pamanmu. Kamu tidak memiliki rumah sendiri. Dengan uang ini, kamu bisa membeli rumah yang kamu suka,” jelasnya, nadanya penuh dengan kepura-puraan perhatian.
Tak lama kemudian, salah satu anggota Tommy mengantar Caitlin keluar dari tempat itu.
“Tuan, apakah Caitlin akan melakukannya?” tanya salah satu anggotanya dengan nada meragukan.
Tommy mendengus, wajahnya penuh dengan kebanggaan licik. “Dia akan melakukannya. Uang itu bukan jumlah yang kecil. Gadis itu sudah masuk dalam jebakanku. Setelah Reynard meninggal, dia akan menjadi tersangka utama dan akan dipenjara,” ujarnya, senyumnya berubah sinis. “Kalau saja dia tidak patuh tadi, sudah ada orang yang siap untuk ‘mengurusnya.’”
Sementara itu, Caitlin turun di tempat semula, memegang tas sambil menggerutu dalam hati. “Dasar siluman tua, uang dan obat? Kalau tadi aku tidak patuh, aku pasti sudah dilenyapkan. Aku tidak sebodoh itu untuk masuk ke dalam jebakanmu, tapi… ini obat apa sebenarnya?” gumamnya sambil memandangi botol kecil tanpa label itu.
Tiba-tiba, sebuah mobil putih berhenti di dekatnya. Jendela mobil diturunkan, memperlihatkan wajah seorang pria yang familiar.
“Nyonya Caitlin,” sapa pria itu yang ternyata adalah Felix.
“Felix? Kenapa kamu ada di sini?” Caitlin bertanya dengan nada terkejut, sedikit lega melihat wajah yang dikenalnya.
Felix tersenyum ramah. “Masuklah, aku akan mengantarmu!” ajaknya dengan sopan.
---
Malam hari
Di Mansion Fernando, Reynard duduk di sofa dengan ekspresi gelisah, matanya terpaku pada jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya. Sudah larut, namun Caitlin belum juga pulang.
“Sudah malam… kenapa gadis itu masih belum pulang?” gumam Reynard, nadanya terdengar tak sabar. Wajahnya tampak dingin, namun matanya menyiratkan kecemasan.
“Tuan, bagaimana kalau saya pergi mencarinya?” tanya Nico dengan hormat.
Reynard menyipitkan mata, menduga-duga kemungkinan yang terjadi. “Apakah pamanku yang ‘baik’ itu menahannya?” tukasnya dengan nada pahit, penuh kecurigaan. “Cari Caitlin sekarang juga!” perintahnya tegas, tak ingin membuang waktu lebih lama.
hikzz..
Reinhard knp gk cari caitlin sendiri sih mlh nyuruh nic segala 😌😌😌