Kimberly alias Kimi, seorang perempuan ber-niqab, menjalani hari tak terduga yang tiba-tiba mengharuskannya mengalami "petualangan absurd" dari Kemang ke Bantar Gebang, demi bertanggungjawab membantu seorang CEO, tetangga barunya, mencari sepatu berharga yang ia hilangkan. Habis itu Kimi kembali seraya membawa perubahan-perubahan besar bagi dirinya dan sekelilingnya. Bagaimana kisah selengkapnya? Selamat membaca...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Andi Budiman, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Menuju Gerbang
Kimi semakin waspada di dalam bajaj kuning yang ia tumpangi begitu semakin dekat ke TPST Bantar Gebang. Bajaj itu masih berhiaskan motif batik pada bagian atasnya, lengkap dengan boneka-boneka kecil dan bunga-bunga plastik yang tertempel di kain motif batik itu.
Setiap kali roda bajaj menghantam lubang di jalan, seluruh tubuh Kimi bergetar, membuatnya tidak nyaman. Namun, rasa tak nyaman itu bukan hanya berasal dari perjalanan yang kasar. Bau menyengat mulai tercium ketika mereka semakin mendekati TPST Bantar Gebang.
Kimi merapatkan niqab yang ia kenakan, namun aroma busuk tetap menyusup, membuat perut sedikit mual. Adi duduk di depannya, tetap tenang meski sesekali tampak menahan napas. Mata pria itu fokus menatap jalan. Sesekali melirik ke arah truk-truk besar yang keluar-masuk tempat pembuangan sampah itu.
“Pantau terus, Kimi,” ujar Adi tanpa menoleh, “Siapa tahu kita melihat truk dengan ciri-ciri itu. Lihat terus peleknya.”
Kimi mengangguk, meski hatinya mulai terselubung oleh perasaan tak menentu. Di depannya, pemandangan semakin suram.
Gunungan sampah seperti bukit-bukit kecil mulai terlihat. Para pemulung dengan tubuh kurus dan pakaian lusuh sibuk mengais-ngais tumpukan sampah. Beberapa dari mereka bekerja tanpa alas kaki, dengan tangan kotor dan penuh bekas luka.
Bajaj kuning mereka bergerak lambat, mencoba menembus kerumunan truk-truk yang mengantri. Suara bising mesin truk dan buldoser memenuhi udara, bercampur debu berterbangan.
Adi terlihat serius, matanya terus bergerak memindai setiap truk yang mereka lewati. Tapi di belakangnya Kimi mulai kehilangan fokus. Mata gadis itu terpaku pada anak-anak kecil yang berlari-larian di sekitar area pembuangan sampah, mencari sesuatu yang mungkin bernilai.
Satu adegan menyayat hati terlintas di depan matanya: seorang ibu muda dengan bayi di gendongannya, berdiri di dekat tumpukan sampah sambil mengais-ngais plastik bekas. Bayi itu tampak kurus, dengan wajah penuh debu, tapi matanya tetap ceria, seakan tidak peduli dengan kerasnya dunia di sekitarnya.
Kimi tak bisa menahan air mata yang mulai menggenang di pelupuk mata. Ia teringat kembali pada dirinya sendiri, pada ibunya, yang dulu juga berjuang keras bertahan hidup di Jakarta.
Kilas balik memori menyergapnya. Kehidupan keras bersama ibunya dulu, berpindah dari satu kontrakan ke kontrakan lain, kadang harus menahan lapar karena uang terbatas, tergambar lagi. Namun, Kimi sadar, kehidupan penuh perjuangan mereka itu tak ada apa-apanya dibandingkan dengan apa yang ia lihat di sini.
Kimi dan ibunya masih punya tempat berlindung cukup layak, meskipun hanya kontrakan murah di Kemang yang mereka dapatkan berkat kemurahan hati sang pemilik rumah. Di sini, di Bantar Gebang, orang-orang tinggal di gubuk-gubuk seadanya, tampak begitu jauh dari kesan layak.
“Kimi, fokus,” suara Adi menyadarkannya dari lamunan. “Lihat truk-truk itu. Jangan sampai kita lewatkan yang punya pelek depan silver, belakang hitam.”
Kimi segera mengusap air mata yang mulai jatuh. “Iya, maaf,” jawabnya pelan. Ia berusaha memusatkan perhatian kembali pada tugas mereka, memantau setiap truk yang lewat. Sementara itu, Adi berjuang mengarahkan bajaj mereka di antara truk-truk besar, mencoba menemukan celah di jalan yang sempit dan penuh sesak.
Kimi belum menemukan truk yang dimaksud. Baik di antrian maupun bengkel-bengkel yang ada di pinggir jalan. Dalam sapuan pandangnya, Gadis itu malah melihat ada beberapa warung di sekitar bengkel dan sebuah mesjid kecil.
Bajaj terus bergerak maju, seiring sisiran pandangan Kimi ke sekeliling. Kimi terus mencoba memperhatikan setiap truk meski perasaan Kimi masih berkecamuk.
Pengalaman ini telah membuka matanya lebih lebar lagi. Apa yang mereka lakukan di sini mungkin hanya bagian kecil dari misi mereka, tetapi bagi Kimi, ini adalah momen yang akan ia kenang selamanya—sebuah pengingat betapa kerasnya hidup ini, dan betapa ia masih memiliki banyak hal untuk disyukuri.
Suasana semakin ramai ketika mereka semakin mendekati gerbang masuk TPST Bantar Gebang. Truk-truk besar yang penuh muatan sampah mengantri panjang, dan Kimi bisa melihat ekspresi kelelahan dan kebingungan di wajah para pengemudi truk saat bajaj kuning mereka melintas.
Bajaj mereka memang masih tampak absurd dengan hiasan batik, boneka, dan bunga-bunga plastik yang bergoyang setiap kali melewati jalan tak rata. Seolah-olah, kendaraan kecil mereka sedang berpartisipasi dalam sebuah karnaval di tengah gunungan sampah. Suatu pemandangan yang memang sangat tidak masuk akal.
Beberapa orang di sekitar sana, termasuk para pemulung dan petugas kebersihan, juga menatap heran ke arah mereka. Kimi dan Adi merasa sedikit canggung, tetapi tidak ada pilihan lain selain berusaha bersikap acuh tak acuh sambil terus mencari truk yang mereka cari.
Semakin lama antrian truk semakin panjang, dan mereka harus bersabar, terkadang mengikuti alur antrian, terkadang menyusul truk di depan jika ada celah.
“Astaghfirulloohaladziim… banyak banget Di truknya,” keluh Kimi merasa sudah tak sanggup lagi memantau truk satu per satu sambil berusaha menyeimbangkan tubuh dalam guncangan. “Sebaiknya kita menghampiri petugas saja, Di. Aku capek, aku sudah tidak sanggup lagi,” keluh Kimi sambil merasakan campuran kepayahan situasi antara guncangan, udara panas dan bau menyengat.
Adi mengangguk pelan. “Baiklah, aku setuju,” sahut pria itu. “Kita sudah dekat dengan gerbang masuk TPST. Mungkin kita bisa bertanya kepada petugas di sana. Mereka mungkin tahu tentang truk itu.”
Kimi menghela napas lega. “Iya, semoga saja truk itu bisa segera kita temukan,” ucapnya.
Mereka melanjutkan perjalanan, kini dengan tujuan lebih jelas: gerbang masuk TPST Bantar Gebang. Di sana, setiap truk yang masuk dan keluar ditimbang menggunakan sistem penimbangan digital dengan sensor loadcell, yang datanya kemudian dicatat dan dipantau melalui aplikasi web-based.
Adi berpikir, jika ada truk dengan ciri-ciri yang mereka cari, petugas di gerbang mungkin bisa memberikan petunjuk.
Kimi menegakkan tubuhnya. Pandangannya terus disesaki oleh antrian truk yang seakan tak ada akhirnya. Belasan meter di depan mereka, sebuah sepeda motor melaju perlahan.
Di atas kendaraan itu ada dua orang vloger yang sempat mereka temui beberapa menit lalu di jalan. Si perempuan tampak bersemangat, memegang kamera sambil merekam suasana, sementara si laki-laki berkonsentrasi mengendarai motor di antara deretan truk yang berbaris.
“Lihat, Adi,” Kimi menunjuk ke arah mereka, “Itu vlogger yang tadi menemui kita di jalan. Ternyata mereka ke sini juga.”
Adi hanya melirik singkat sebelum kembali fokus pada jalan. “Masa sih? Kenapa mereka ke sini?” tanyanya sedikit heran, matanya masih tajam mengawasi truk-truk di depan mereka.
Kimi, yang terus memandangi vlogger itu, mencoba memberikan penjelasan dengan nada yang lebih ceria. “Tidak tahu, mungkin… meliput Bantar Gebang untuk dijadikan konten,” jawabnya setengah berteriak, suaranya harus bersaing dengan gemuruh mesin truk di sekitar mereka.
Adi mengernyitkan dahi, seperti masih bingung. “Kimi, ini hanya tempat sampah raksasa…” ujar Adi, seolah tidak bisa membayangkan ada yang tertarik dengan tempat pembuangan sampah akhir.
“Kamu ini… Banyak loh orang yang justru menemukan hal-hal menarik dari tempat-tempat yang tidak terduga. Bayangkan kalau kita bikin video tentang tempat ini, mungkin kita bisa jadi terkenal sebagai… penjelajah sampah!” kata Kimi, setengah bercanda.
Adi tertawa kecil, matanya bersinar dengan pemahaman. “Apa, penjelajah sampah? Enak saja!” sahut Adi. “Oke, aku mengerti. Jadi ini bukan cuma soal sampahnya saja. Tapi lebih ke kehidupan di baliknya, ya?”
Kimi mengangguk, senang melihat Adi mulai mengerti. “Ya, aku harap mereka meliput hal seperti itu di sini! Bagaimana orang-orang berjuang, bagaimana mereka tinggal dan mencari nafkah, yang mungkin tidak pernah bisa kita bayangkan sebelumnya. Jadi, ini bukan hanya tentang tempatnya, tapi tentang cerita yang ada di balik tempat ini.”
Adi mulai tampak lebih tertarik. “Dan sekarang kita menjadi bagian dari kehidupan di tempat ini,” katanya. Kimi, kalau petualangan kita ini dibuat vlog, apa kira-kira judul yang tepat?” tanya Adi, mencoba menantang kecerdasan Kimi.
Kimi berpikir sejenak, lalu menjawab dengan nada main-main, “Mmm, mungkin… ‘Petualangan Bajaj Kuning di Dunia Sampah’. Bagaimana, bagus tidak?”
Adi mengangkat alis, tertawa kecil. “Apa? Dunia Sampah?” sahutnya, dengan nada terkejut dan geli.
Kimi mengernyitkan dahi, berpikir sejenak. “Atau… ‘Bajaj Karnaval Tersesat ke Tempat Sampah’…”
Adi tertawa lepas. “Sama sekali tidak bagus,” komentarnya, disusul tawa kecil Kimi di balik niqab-nya.
“Ya, mungkin kita harus memikirkan judul yang lebih catchy,” ujar Kimi sambil tersenyum, merasakan suasana yang terasa lebih ringan di tengah perjalanan sulit mereka.
Bajaj kuning mereka perlahan mendekati gerbang. Usai candaan kecil itu Kimi merasa sedikit lebih tenang meskipun perasaan lelah masih menggelayut.
Setelah beberapa menit yang terasa berjam-jam, akhirnya mereka tiba di depan gerbang masuk TPST. Seorang petugas dengan seragam dinas berdiri di dekat alat penimbang, mengawasi setiap truk yang masuk.
Adi menghentikan bajaj, lalu menghela napas panjang. “Baiklah, sekarang kita coba bertanya pada petugas itu,” ujarnya sambil membuka pintu bajaj.
Kimi mengangguk dan mengikuti Adi keluar dari bajaj. Langkah mereka terasa berat, tetapi harapan untuk menemukan petunjuk membuat mereka terus maju.
Petugas di gerbang terusik, lalu menatap mereka dengan wajah terkejut dan heran. Selama bertahun-tahun menjalankan tugas mungkin si petugas belum pernah sekalipun melihat orang berdasi diikuti perempuan bercadar datang ke TPST mengendarai bajaj kuning berhias motof batik, boneka dan bunga-bunga plastik.
“Semoga dia bisa membantu kita,” gumam Kimi.
Mereka pun mendekati si petugas, siap untuk bertanya tentang truk yang mereka cari, berharap jawaban yang mereka dapatkan bisa membawa mereka lebih dekat pada tujuan mereka.
Terima kasih memberikan cerita tentang keteguhan seseorang dalam mempertahankan keyakinannya.
Bravo selamat berkarya, kuharap setiap hari up.