Di SMA Gemilang, geng syantik cemas dengan kedatangan Alya, siswi pindahan dari desa yang cantik alami. Ketakutan akan kehilangan perhatian Andre, kapten tim basket, mereka merancang rencana untuk menjatuhkannya. Alya harus memilih antara Andre, Bimo si pekerja keras, dan teman sekelasnya yang dijodohkan.
Menjadi cewek tegas, bukan berarti mudah menentukan pilihan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon El Nurcahyani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Terluka Tapi Bahagia
Barusan saja beberapa langkah Alya dan Faris bertolak dari toko itu, pegawai toko berteriak memanggil, rupanya mereka belum mengambil kembalian. Alya sedikit berlari kembali ke toko tersebut. Namun, saat mau kembali lagi ke tempat Faris masih berdiri di tempat semula, ada pemandangan yang kembali menggetarkan hatinya.
Alya berhenti sejenak, matanya terpaku pada pria yang tadi pergi, sekarang kembali lagi dengan membawa dua buah minuman. Dia merasa yakin bahwa itu adalah Bimo, meskipun penampilannya sedikit berubah. Pikirannya mulai berputar-putar, mengenang masa-masa mereka bersama dulu. Tanpa sadar, dia mengambil langkah maju, ingin memastikan apakah benar pria itu adalah Bimo.
Sementara itu, Bimo juga melihat ke arah Alya. Jantungnya berdegup kencang saat melihat sosok wanita yang sangat mirip dengan Alya. Dia merasa yakin tapi ragu-ragu, takut salah orang. Namun, rasa penasaran memaksanya untuk mendekat.
Keduanya semakin mendekat satu sama lain, pandangan mereka bertemu. Ada keheningan di antara keramaian pusat perbelanjaan. Mereka saling menatap, mencoba memastikan apakah benar mereka sedang melihat orang yang mereka kenal.
Saat sudah cukup dekat, Alya dan Bimo saling tersenyum. Senyum yang penuh keraguan tapi juga harapan. Namun, sebelum mereka sempat berbicara, wanita yang bersama Bimo mendahului langkah Alya dan mengajak Bimo pergi, mungkin wanita itu sudah selesai urusannya di toko. Bimo terpaksa berbalik lagi dan mengikuti, meski masih menoleh ke arah Alya dengan tatapan yang penuh penyesalan.
Alya terdiam sejenak, hatinya bergejolak. Dia merasa lega karena sudah bertemu Bimo, meskipun hanya sekilas. Mas Faris, yang tak menyadari pertemuan itu, kembali ke sisi Alya dengan kantong belanjaan di tangan.
“Sayang, sudah siap untuk berangkat?” tanyanya dengan senyum.
Alya mengangguk, berusaha menyembunyikan perasaan yang bergejolak di dalam hatinya. “Eh, i- iya, sudah siap.”
Mereka berjalan menuju pintu keberangkatan, Alya sesekali menoleh ke belakang, berharap bisa melihat Bimo sekali lagi. Namun, pria itu sudah menghilang di keramaian. Alya menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya.
Di dalam pesawat, saat mereka duduk dan bersiap untuk lepas landas, Alya menggenggam tangan Mas Faris dengan erat. Dia tahu bahwa masa lalunya dengan Bimo adalah bagian penting dari hidupnya, tapi sekarang dia harus fokus pada masa depannya bersama suaminya yang penuh cinta dan perhatian.
“Terima kasih, Sayang, untuk semuanya,” kata Alya dengan suara pelan.
Mas Faris tersenyum dan mengusap tangan Alya dengan lembut. “Aku akan selalu ada untukmu, Alya. Kita akan menghadapi segala sesuatu bersama-sama.”
Alya menatap keluar jendela, melihat awan yang berarak di langit. Meskipun hatinya masih sedikit terguncang, dia merasa lebih tenang. Dengan suaminya di sisinya, Alya siap menghadapi apapun yang akan datang di masa depan, dengan kenangan Bimo yang tersimpan rapi di dalam hatinya.
Saat Alya dan Mas Faris tiba di Indonesia, mereka disambut oleh kehangatan tropis dan hiruk-pikuk bandara yang ramai. Setelah mengambil barang-barang mereka, keduanya bergegas menuju mobil yang sudah menunggu di luar. Perjalanan pulang ke rumah mereka diiringi obrolan ringan dan canda tawa, berusaha mengabaikan perasaan gelisah yang masih menghantui pikiran Alya.
Ketika mereka tiba di rumah, Alya melihat sejumlah mobil keluarga terparkir di depan. Rumah yang biasanya tenang kini tampak ramai dengan kehadiran keluarga besar Mas Faris. Alya menarik napas panjang, berusaha menyiapkan dirinya untuk menghadapi semua orang.
Mereka masuk ke dalam rumah, dan segera disambut oleh sorak-sorai keluarga. Mas Faris memeluk orang tuanya, saudara-saudaranya, dan kerabat lainnya dengan penuh kehangatan. Alya tersenyum, berusaha menunjukkan rasa senangnya meskipun hatinya sedikit berdebar.
“Selamat datang kembali, anak-anak Ibu!” seru ibu mertua Alya dengan senyum lebar, memeluk Alya erat-erat. “Kami sangat merindukanmu.”
“Terima kasih, Bu,” balas Alya dengan tulus, berusaha nyaman dengan sambutan hangat tersebut.
Sementara itu, saudara-saudara ipar dan kerabat lainnya memandang Alya dengan tatapan yang penuh rasa ingin tahu dan, dalam beberapa kasus, iri. Mereka semua tahu bahwa Mas Faris adalah pengusaha sukses, dan banyak dari mereka merasa cemburu dengan perhatian dan cinta yang diberikan Faris kepada Alya.
Di ruang tamu, Alya dan Mas Faris duduk bersama keluarga besar. Obrolan ringan tentang perjalanan mereka di Eropa dan rencana masa depan mengisi ruangan. Namun, Alya bisa merasakan tatapan-tatapan tajam dan bisikan-bisikan yang mencoba merendahkannya.
“Bagaimana perjalanan bulan madunya?” tanya salah satu ipar perempuan Faris dengan nada yang terkesan ramah tapi menyindir. “Pasti Alya yang memilih tempatnya, ya? Begitu pandai mengatur Faris.”
Alya tersenyum tipis, berusaha menanggapi dengan tenang. “Kami memilih bersama-sama. Faris sangat mendukung pilihan-pilihan yang kuajukan.”
Mas Faris, yang duduk di samping Alya, meremas tangannya dengan lembut, memberikan dukungan. “Alya selalu punya ide bagus. Kami sangat menikmati perjalanan kami.”
Ibu mertua Alya yang duduk tak jauh dari mereka tersenyum manis. “Oh, tentu saja. Alya memang selalu punya ide-ide cemerlang. Kami sangat beruntung memilikinya dalam keluarga.”
Meskipun kata-katanya terdengar manis, Alya tahu bahwa itu hanyalah topeng. Di balik kata-kata baik itu, ada tindakan-tindakan yang sering kali membuat Alya merasa tidak nyaman dan direndahkan.
Setelah beberapa saat, Alya meminta izin untuk naik ke kamar, merasa butuh waktu sendiri. Di kamar, ia duduk di tepi ranjang, merasakan lelah yang menggelayuti tubuhnya. Matanya berkaca-kaca mengingat perlakuan keluarga Mas Faris yang tidak pernah sepenuhnya menerimanya.
Mas Faris menyusul Alya ke kamar, mengetuk pintu dengan pelan sebelum masuk. “Kamu baik-baik saja, Sayang?”
Alya tersenyum lemah dan mengangguk. “Iya, aku gak papa, aku hanya merasa ingin segera istirahat.”
Mas Faris duduk di sampingnya dan merangkul Alya. “Aku tahu. Kamu pasti kelelahan, istirahatlah.” Faris membaringkan Alya kemudian menyelimutinya. Tak lupa mencium kening Alya sebelum pergi.
Alya merasakan ketenangan dalam pelukan suaminya. Meskipun banyak tantangan yang harus dihadapi, dia tahu bahwa dengan cinta dan dukungan dari Mas Faris, mereka akan mampu melewati semua cobaan yang datang.
Malam itu, meskipun mereka berada di rumah yang ramai, Alya merasa lebih tenang. Bersama Mas Faris, dia tahu bahwa mereka akan bisa menghadapi apapun yang terjadi, bersama-sama.
Cuti pernikahan Alya dan Faris hampir usai. Mereka hanya memiliki dua hari lagi sebelum kembali ke rutinitas sehari-hari. Selama dua hari terakhir, rumah mereka tetap dipenuhi dengan kehadiran saudara-saudara Faris dan ibu mertuanya.
Saat sarapan pagi itu, Alya sibuk menyiapkan makanan di dapur. Aroma nasi goreng dan roti panggang memenuhi udara. Mas Faris duduk di meja makan, berbicara dengan saudara-saudaranya yang sedang menikmati kopi.
Ibu mertua Alya memasuki dapur, mengamati Alya dengan tatapan penuh perhatian. “Alya, sayang, cara kamu menyajikan nasi goreng ini sebaiknya ditata lebih rapi. Faris suka semuanya terlihat sempurna, kamu tahu kan?” ujarnya dengan senyum yang tampak manis tapi tersirat kritik.
Alya tersenyum dan mengangguk, berusaha untuk tetap tenang. “Baik, Bu. Saya akan memperbaikinya.”
Setelah selesai menata makanan di meja, Alya duduk di samping Faris. Namun, ia tidak sempat menikmati makanannya karena salah satu saudara Faris, yang duduk di seberang meja, memanggilnya. “Alya, bisa ambilkan jus jeruk di dapur? Aku agak sungkan kalau harus ambil sendiri.”
Bersambung....